Jumat, 28 Agustus 2015

PERADABAN ARAB DAN DAKWAH TAUHID

PERADABAN ARAB DAN DAKWAH TAUHID
Oleh. Akhmad Hasan Saleh
A.   Sejarah Bangsa Arab
Arab pada mulanya adalah wilayah yang tandus, gersang yang menunjukkan ciri dan karakter penghuninya dengan pemikiran yang keras dan jahiliyah (berpengetahuan rendah). Wilayah Arab merupakan wilayah yang di kelilingi oleh peradaban yang besar di dunia saat itu, sebut saja Romawi, Yunani dan Persia. Walaupun Arab sebagai kawasan yang di kelilingi peradaban maju, namun karena karakternya yang keras sebagian penduduknya tidak mengalami kemajuan yang signifikan beberapa abad lamanya.
 Secara geografis Arab di bagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah tengah atau Arab Utara dan wilayah tepi atau Arab Selatan. Wilayah tengah merupakan daerah pedalaman yang kering, pegunungan, jarang turun hujan yang berpusat di Najd. Penduduknya adalah pengembara (berpindah-pindah), sehingga peradabannya pun tidak mengalami kemajuan, karena penduduk disibukkan untuk mencari penghidupan yang layak. Sedangkan bahasa yang digunakan masih menggunakan bahasa daerah Hijaz – mirip dengan bahasa Abariya dan Nabatiya (baca: bahasa kampung). Secara keilmuwan masih sangat rendah (jahiliyah) dan bukan menjadi prioritas utama, karena kesibukan ekonomi untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Yang termasuk dalam wilayah utara, antara lain adalah, Mekah, Madinah, Najd. Penduduk Arab utara biasa disebut Nizariyyin atau Ma’adyyin.
Sedangkan wilayah selatan adalah wilayah tepi yang dituruni hujan secara teratur, tanahnya lebih subur, sehingga penduduknya tidak berpindah-pindah (menetap). Secara keilmuan mereka lebih focus untuk mencari ilmu dan memajukan wilayah. Bahasa yang digunakan oleh penduduk telah tercampur dengan bahasa Habsyi (Ethiopia-akhadiyah) atau bahasa kota. Wilayah yang termasuk dalam wilayah selatan (tepi) yaitu, Hijaz, Hadramaut, Oman, Al Ahsa (Bahrain) dan Mahrah, bahkan kota yang sangat maju adalah Yaman. Salah satu negeri kaya yang juga pernah Allah hancurkan di Yaman adalah negeri Saba’. Penduduk Arab Selatan biasa disebut Yamaniyyin atau Qohtaniyyin.
Untuk melacak asal-usul orang Arab, secara geneaologis para sejarahwan merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Nabi Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Para sejarahwan juga membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah  (Arab al Arabiyah) serta Arab Mustaribah.[1]
Pertama, Arab Baydah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm, Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan.  Namun yang banyak dikenal dan diabadikan dalam Al Qur’an adalah kaum ‘Ad, Thamud (Tsamud) dan Madyan, ini yang akan dibahas selanjutnya. Menurut beberapa ahli tafsir menyatakan umat Nabi Hud yang hidup 800 tahun setelah Nabi Nuh dan tinggal di daerah Ahqaf (Hadramaut). Kaum ‘Ad adalah pemuja berhala dengan memberikan nama berhalanya adalah shamud, shada’ dan haba’. Allah menghancurkan kaum ‘Ad dengan menurunkan badai pasir terus-menerus selama tujuh hari delapan malam.[2]
Sedangkan kaum Tsamud hidup di daerah Al Hijr (antara Hijaz dan Syam), kaum Tsamud merupakan kaum dari Nabi Sholeh yang memiliki peradaban yang maju dalam bidang arsitektur. Kehancuran kaum Tsamud sebagaimana hancurnya kaum ‘Ad. Karena kaum Tsamud tidak mau mengikuti perintah Nabi Sholeh, bahkan unta yang menjadi simbol larangan Allah mereka bunuh tanpa perasaan dosa.[3]
Kaum Madyan bertempat di sebelah utara Hijaz sebelum Syam. Madyan keturunan Ibrahim dari Qathura, istri ke dua setelah sepeninggalan sarah. Mereka merupakan kaum Nabi Syuaib, kebiasaannya melakukan penipuan dalam perdagangan. Mereka juga dibinasakan oleh Allah karena penolakannya terhadap ketauhidan, lihat dalam al Qur’an surat Hud: 84; 94-95; 89; Al Hijr : 78-79.
Kedua, Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Nabi Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab.
B.    Agama Pra-Islam
Setelah agama tauhid yang dibawa para nabi tidak lagi dianut oleh penduduk arab, maka penduduk mencari tuhan-tuhan baru untuk disembah dan diagungkan, karena keringnya religiusitas yang sebelumnya telah dibutakan dengan kesibukan dunia dan peperangan. Akhirnya mereka kembali pada agama nenek moyang dan kepercayaan-kepercayaan mistis (kekuatan benda), walaupun sebelumnya telah ada agama ketauhidan (Islam) yang dibawa para Nabi. Kemudian dalam perkembangannya terjadi proses pembiasan yang mengakibatkan terjadinya pengingkaran prinsip tauhid.[4]
Pada awal abad ke 6 M atau menjelang Nabi Muhammad dilahirkan dengan membawa risalah Islam merupakan berkembangnya agama-agama dan kepercayaan secara pesat. Arab telah diliputi dengan berbagai agama dan aliran kepercayaan nenek moyang yang dihidupkan kembali oleh generasi-generasinya.  Menurut al Baghdadi menukil Sayyid Mahmud Syukri al Lusi menyatakan bahwa agama-agama yang pernah ada di Arab sebelum masuknya Islam antara lain al muwahhidun (Pengesaan Tuhan), Watsani (penyembah berhala), Yahudi, Nasrani, Penyembah matahari dan bulan, Dahriyun (Ateis), Shabi’in (Penyembah Bintang), Zindiq, Majusi (Penyembah Api), penyembah malaikat dan jin, kelompok yang mempercayai dua Tuhan, yaitu Tuhan Baik dan Tuhan Jahat.[5]
Selain agama-agama dan kepercayaan tersebut, ahli sejarah menyatakan bahwa ada salah satu corak beragama yang lain dari agama-agama pada masa itu yang disebut anīfīyah, yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhalam, juga tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah anīfīyah, sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu Yathrib, aif, dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin Abī al-alt, Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin Jash, Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muallib, ‘As’ad Abū Karb al-amīrī, Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-uwayrith. Aliran Hanifiyah menolak untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala, pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan ramaan dengan memperbanyak kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan ramaan, pemotongan tangan pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan beban-beban pendidikan mereka. Tradisi-tradisi tersebut yang kemudian masih dipertahankan oleh Islam, namun sesungguhnya hukum itu yang telah digunakan oleh para nabi-nabi.[6]
C.    Pencerahan Islam
Dalam perjalanan sejarah, Arab tengah menjadi alur lalu lintas perdagangan, khususnya mekah dan madinah. Para pedagang menganggap padang pasir dan pegunungan yang sepi merupakan tempat yang aman untuk menyimpan barang dagangan mereka, sehingga seringkali para pedagang memmbuat tenda-tenda penginapan di daerah tersebut. Seiring dengan waktu, Mekkah menjadi peradaban kecil diantara peradaban-peradaban besar masa itu, karena dijadikan sebagai pertemuan para pedagang-pedagang Persia dan Bizantium, yang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan bangsa Arab. Yang dulu awalnya tandus, kering, sunyi – telah berubah menjadi daerah yang ramai dikunjungi oleh pedangan dari penjuru jazirah arab. Peradaban jahiliyah (tidak berpengetahuan) telah ditinggalkan menjadi perdaban yang tinggi karena pengaruh dari luar mekah. Namun dengan demikian, tradisi perang, penindasan masih tidak tinggalkan bahkan semakin berkembang ajaran-ajaran menyembah berhala, bahkan patung-patung yang mereka sembah yang berjumlah mencapai 360 buah diletakkan di sekitar ka’bah.[7], Peperangan yang menjadi tradisi perebutan kekuasaan menjadi sangat tidak beradab, bagi kabilah yang menjadi pemenang maka mereka merampas seluruh kekayaan termasuk wanita dan anak gadis sebagai al Mal al Ghanimah, pemerkosaan terjadi dimana-mana, penipuan perdagangan menjadi tradisi masa itu, hal ini merebak keseluruh jazirah arab. Kondisi social, ekonomi, politik menjadi rapuh dan tidak bermoral.  Zaman ini yang kemudian dinamakan dengan zaman jahiliyah dalam arti kebodohan dalam bidang agama dan moral (bukan pengetahuan).
Dalam kondisi arab yang keterpurukan zaman, para kaum hanif berharap ada seorang yang mampu merubah kondisi kesemrawutan yang terjadi di jazirah arab. Oleh karena itu, dengan kehadiran sosok Muhammad sangat tepat dan sangat dinanti-nantikan kaum hanif.
Pada masa kehadiran Islam yang diamanahkan pada nabi pilihan sebagai pengganti nabi-nabi sebelumnya dan sekaligus sebagai penyempurna kenabian, telah banyak memberikan pengaruh luas dan perubahan moral, social, politik yang sangat besar. Bahkan dalam hal kepercayaan dan keagamaan dirombak secara besar-besaran,  sehingga membuat mereka mengucilkan dan membenci Nabi Muhammad, khususnya penduduk Mekah. Walaupun ada beberapa tradisi yang tidak ditinggalkan sebagaimana yang telah dipertahankan kaum hanif.
Dengan datangnya Islam, penduduk semakin beradab dan menjadi peradaban yang tinggi masa itu, karena penyebaran yang dilakukan oleh nabi Muhammad dilakukan dengan penuh kesabaran dan strategi. Islam memelihara, memperbaiki, dan mengembangkan serta menyempurnakan beberapa hal seperti system moral, tata pergaulan, strategi perang dan aturan perang serta hukum keluarga. Sedangkan agama dan kepercayaan nenek moyang semakin hari semakin ditinggalkan, sampai nabi hijrah ke Yastrib (madinah) untuk memenuhi undangan, bukan semata-mata siksaan kaum Quraisy, akan tetapi guna sebagai pendamai dan sekaligus atas perintah Allah untuk melakukan hijrah. Dalam perdamaian yang dilakukan menghasilkan konstitusi tertulis pertama sepanjang sejarah umat manusia, Piagam Madinah (The Chater of Madinah).[8] Keagamaan di Madinah setelah perdamaian tersebut berjalan dengan harmonis dan berkembang pesat hingga keluar kota. Al Qur’and dan sunnah memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang memeluk Islam tentang pandangan hidup, tujuan hidup, peribadatan, dan sebaginya. Hal ini kemudian menjadi bagian utama dari pemikiran dan peradaban Islam.  Ini semua didukung oleh kreativitas umat Islam sendiri yang memberikan ruang lingkup luas bagi umatnya. Hal ini berlanjut sampai akhir masa hidup nabi, bahkan dilanjutkan oleh sahabat-sahabat Rasulullah (abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Perkembangan pemikiran pada masa khulafaur rasyidin semakin meluas dan mengalami pasang surut yang disebabkan oleh perubahan dinasti-dinasti dan peta politik yang berkembang,[9] hingga menyangkut pada bidang keagamaan, yang kemudian memunculkan interpretasi-interpretasi baru dalam keagamaan.


[1] M. Abdul Karim, 2011, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Bagaskara, Yogyakarta. hal 50.
[2] Muhammad Nawawi Al Bantani, 2004, Marah Lubaid Tafsir An Nawawi, Vol I. Beirut: Dar al Kutub Al Islamiyah. hal 285-286, lihat dalam Kaisar ’08, 2008, Aliran-aliran Teologi Islam, PSA, Lirboyo.
[3] Ibid.
[4] Opcid. hal 59.
[5] Zainal Arifin Abbas, 1965, Peri Hidup Muhammad, vol IA, Pustaka Indonesia, medan, lihat dalam opcid. Hal 21
[6] Muḥammad usayn Haykal, 1996, Sejarah Hidup Muhammad: Litera Antar Nusa, Jakarta, hal. 9.
[7] M. Abdul Karim, 2011, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Bagaskara, Yogyakarta.
[8] Ibid.
[9] Seyyed Hossein Nasr, 2003, Islam: Agama, Sejarah dan Peradaban, Risalah Gusti, Surabaya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini