FILSAFAT DASAR
BERFIKIR BARAT
Oleh. Akhmad Hasan
Saleh
Berfikir adalah ciri khas manusia yang
membedakan dengan makhluk ciptaan lainnya. Sebagai ciri utama dari manusia yang
berfikir (kognisi), manusia juga masih mempunyai potensi lain yaitu
perasaan (afeksi), kehendak (konasi), dan tindakan (aksi),
atau sering disebut dengan cipta, rasa, karsa dan karya[1]
. Dengan potensi yang dimiliki oleh manusia, dirinya dapat mengorganisir,
mengelola, mencipta dan mengubah lingkungannya kearah yang lebih baik. Karenanya
dengan segala potensi yang ada pada manusia, Tuhan memilih manusia sebagai
wakil-Nya dimuka bumi (khalifatullah fil ardh).
Menurut Francis Bacon (1210-1292 M),
seorang filsuf renaissance, akal manusia mempunyai tiga macam daya, yaitu: (1)
ingatan, (2) imajinasi, dan (3) pikiran. Daya ingatan menciptakan sejarah, daya
imajinasi menciptakan puisi, dan daya berfikir menghasilkan filsafat. Filsafat
terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) filsafat tentang Tuhan atau teologi, (2)
filsafat tentang alam atau kosmologi, dan (3) filsafat tentang manusia atau
antropologi[2].
Filsafat merupakan bagian dari proses
berpikir manusia, dimana ketika kita berfilsafat berarti kita berfikir. Dalam
hidupnya, manusia pasti akan selalu menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa
sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) yang ditemuinya[3]. Proses mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri
metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat
dipertanggungjawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu
bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut [4].
Sesuatu dikatakan ilmu pengetahuan
karena mencangkup beberapa unsur yaitu (1) mengajarkan dengan sadar kebenaran, dengan sadar diusahakan untuk mengetahui
sebenar-benarnya tentang suatu yang diketahui (objeknya). Dalam pencapaian
kebenaran untuk mengetahui objek tersebut tentunya tidak terlepas dari
kekeliruan, maka dengan kesadaran itulah kekeliruan dapat dilenyapkan dengan
segala upayanya untuk mencapai kebenaran. (2) pengetahuan tentunya tidak hadir
dengan segala kebetulan, tentunya ada jalan untuk mencapai sesuatu tujuan. Ia
bekerja menurut hodos (jalan) atau hudan (petunjuk) tertentu,
maka pengetahuan membutuhkan yang namanya metodos (metode). (3) manusia
selalu waspada supaya pengetahuannya itu sesuai dengan objeknya dan
hasil-hasilnya dikumpulkan dengan susunan tertentu, sehingga tersusun dengan
teratur. Kerja berfikir seperti ini disebut dengan system. (4)
putusan-putusan yang diambil dalam menilai sebuah objek diharapkan kebenarannya
tidak hanya sekedar pada kegunaannya, tempat dan waktu, tetapi dapat berlaku
untuk umum, sehingga pengetahuan dapat bermanfaat secara universal.[5]
Maka
ilmu pengetahuan merupakan suatu proses untuk menemukan kebenaran pada suatu
objek (realita) yang dilakukan secara sadar dengan menggunakan metode yang
disusun secara sistematis yang hasilnya dapat berlaku secara universal. Makin
ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan
(realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh
kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan tentang
suatu kesadaran untuk mencapai kebenaran metodis, sistematis, koheren tentang
seluruh kenyataan (realitas) yang dapat berguna secara universal. Filsafat
merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai
hakikat (dalam arti kebenaran) dan memperoleh hikmat (dalam arti kebijaksanaan)[6].
Ketika
seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya,
jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya,
dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi
tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut
filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya
lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran
terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode
persuasif, maka orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk
pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pengetahuan itu sendiri
diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka
disebut filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat
eksternal. Demikian penjelasan al-Farabi
dalam kitab Tahshîl al-Sa’afidah tentang sifat agama dan filsafat serta
hubungan antara keduanya.[7]
Unsur
"rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat
mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara
mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat[8].
Manusia
untuk mencapai tingkat kebenaran tidak dapat dilakukan sendiri–memerlukan
sesuatu yang mampu menuntun untuk mendapatkan kebenaran. Ilmu pengetahuan
sebagai objek yang menentukan sebuah kebenaran, saat ini tidak mampu lagi
memberikan pencerahan dalam memberikan penilaian adil terhadap sebuah realita
kehidupan. Karena dalam ilmu pengetahuan ada campur tangan ide-ide atau logika
pelaku yang seringkali tidak rasional yang disebabkan oleh realita kehidupan
yang mereka alami, sehingga ilmu pengetahuan sebagai penentu kebenaran hanya
memihak pada sebagian mereka yang melakukannya atau ada sebuah pembenaran
terhadap perilaku atau cara berfikir mereka–tidak lagi berlaku secara
universal, baik kegunaannya maupun value yang ada didalamnya.
Definisi
kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi,
paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang
mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Hal
ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan
percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari
solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi
tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses
dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk
dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika
bahasa.
Logika
merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat.
Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu
berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity
”ketertarikan”. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang
paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain
dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
Karena
filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang membentuk worldview seseorang
dalam berfikir, maka perlu adanya suatu pemurnian paradigma manusia sebagai
hamba dan manusia sebagai makhluk berfikir untuk mencapai kebenaran yang
menghasilkan ketenangan hidup. Karena setiap apapun yang dilakukan oleh
manusia, baik berfikir maupun sikap akan dimintai pertanggungjawaban kelak[9].
[1] Lihat Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hungga
Postmodern, Jogjakarta, Ar Ruzz Media, 2008, hal 5.
[2] Lihat Ibid, hal 14.
[3] Kalau dalam akalnya manusia berfikir, maka dengan anugerah Allah yang
lain: hati manusia merasa dan menghayati. Dengan akalnya manusia berfikir dan
dengan hatinya manusia berdzikir untuk mencapai keyakinan sebuah kebenaran.
Dalam Al Qur’an disebut Ulul Albab yang disebutkan dalam surat Ali Imran [3]:
190-194, yang dapat melihat dan mengambil pelajaran, dari ayat-ayat kauniahNya,
adalah manusia yang senantiasa menfungsikan akan dan hatinya, berfikir dan
berdzikir. Lihat Ali Maksum, Pengantar Filsafat....... ibid.
[4] Lihat Ziauddin Sardar, Explorations
in Islamic Science, London and New York: Mansell Publishing limited, 1989.
[5] Lihat Prof. Ir. Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat,
Jakarta, PT. Pembangunan, 1980, hal. 4-5.
[6] Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Mesir, Maktabat al-Anjilu
al-Misriyah, tth., hal 393-415
[7] Lihat Muhsin Hariyanto, AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU, e: Learning
Community, Jumat, 27 Juli 2007.
[8] Disebut "secara
mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari
sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab
terdalam dari obyek yang dipelajari
("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam
mengembara menuju akhirat". Itulah scientia
rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan
sebab-musabab yang paling dalam.
[9] Lihat Al Qur’an; Al Zalzalah [99]: 7-8, “ Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrahpun, niscya dia akan melihat (balasan)nya, dan
barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula. lihat Al Qur’an terjemahan DEPAG RI, 1989.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih telah membuka blog ini