Rabu, 26 Agustus 2015

FILSAFAT DASAR BERFIKIR BARAT

FILSAFAT DASAR BERFIKIR BARAT
Oleh. Akhmad Hasan Saleh
         Berfikir adalah ciri khas manusia yang membedakan dengan makhluk ciptaan lainnya. Sebagai ciri utama dari manusia yang berfikir (kognisi), manusia juga masih mempunyai potensi lain yaitu perasaan (afeksi), kehendak (konasi), dan tindakan (aksi), atau sering disebut dengan cipta, rasa, karsa dan karya[1] . Dengan potensi yang dimiliki oleh manusia, dirinya dapat mengorganisir, mengelola, mencipta dan mengubah lingkungannya kearah yang lebih baik. Karenanya dengan segala potensi yang ada pada manusia, Tuhan memilih manusia sebagai wakil-Nya dimuka bumi (khalifatullah fil ardh).
         Menurut Francis Bacon (1210-1292 M), seorang filsuf renaissance, akal manusia mempunyai tiga macam daya, yaitu: (1) ingatan, (2) imajinasi, dan (3) pikiran. Daya ingatan menciptakan sejarah, daya imajinasi menciptakan puisi, dan daya berfikir menghasilkan filsafat. Filsafat terdiri atas tiga bagian, yaitu (1) filsafat tentang Tuhan atau teologi, (2) filsafat tentang alam atau kosmologi, dan (3) filsafat tentang manusia atau antropologi[2].
         Filsafat merupakan bagian dari proses berpikir manusia, dimana ketika kita berfilsafat berarti kita berfikir. Dalam hidupnya, manusia pasti akan selalu menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) yang ditemuinya[3].  Proses mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan.  Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis,  sistematis dan  koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggungjawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
         Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut [4].
         Sesuatu dikatakan ilmu pengetahuan karena mencangkup beberapa unsur yaitu (1) mengajarkan dengan sadar kebenaran, dengan sadar diusahakan untuk mengetahui sebenar-benarnya tentang suatu yang diketahui (objeknya). Dalam pencapaian kebenaran untuk mengetahui objek tersebut tentunya tidak terlepas dari kekeliruan, maka dengan kesadaran itulah kekeliruan dapat dilenyapkan dengan segala upayanya untuk mencapai kebenaran. (2) pengetahuan tentunya tidak hadir dengan segala kebetulan, tentunya ada jalan untuk mencapai sesuatu tujuan. Ia bekerja menurut hodos (jalan) atau hudan (petunjuk) tertentu, maka pengetahuan membutuhkan yang namanya metodos (metode). (3) manusia selalu waspada supaya pengetahuannya itu sesuai dengan objeknya dan hasil-hasilnya dikumpulkan dengan susunan tertentu, sehingga tersusun dengan teratur. Kerja berfikir seperti ini disebut dengan system. (4) putusan-putusan yang diambil dalam menilai sebuah objek diharapkan kebenarannya tidak hanya sekedar pada kegunaannya, tempat dan waktu, tetapi dapat berlaku untuk umum, sehingga pengetahuan dapat bermanfaat secara universal.[5]
         Maka ilmu pengetahuan merupakan suatu proses untuk menemukan kebenaran pada suatu objek (realita) yang dilakukan secara sadar dengan menggunakan metode yang disusun secara sistematis yang hasilnya dapat berlaku secara universal. Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
         Filsafat adalah pengetahuan tentang suatu kesadaran untuk mencapai kebenaran metodis, sistematis, koheren tentang seluruh kenyataan (realitas) yang dapat berguna secara universal. Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (dalam arti kebenaran) dan memperoleh hikmat (dalam arti kebijaksanaan)[6]. 
         Ketika seseorang memperoleh pengetahuan tentang wujud atau memetik pelajaran darinya, jika dia memahami sendiri gagasan-gagasan tentang wujud itu dengan inteleknya, dan pembenarannya atas gagasan tersebut dilakukan dengan bantuan demonstrasi tertentu, maka ilmu yang tersusun dari pengetahuan-pengetahuan ini disebut filsafat. Tetapi jika gagasan-gagasan itu diketahui dengan membayangkannya lewat kemiripan-kemiripan yang merupakan tiruan dari mereka, dan pembenaran terhadap apa yang dibayangkan atas mereka disebabkan oleh metode-metode persuasif, maka orang-orang terdahulu menyebut sesuatu yang membentuk pengetahan-pengetahuan ini agama. Jika pengetahuan-pengetahuan itu sendiri diadopsi, dan metode-metode persuasif digunakan, maka agama yang memuat mereka disebut filsafat populer, yang diterima secara umum, dan bersifat eksternal.  Demikian penjelasan al-Farabi dalam kitab Tahshîl al-Sa’afidah tentang sifat agama dan filsafat serta hubungan antara keduanya.[7]
         Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat[8]. 
         Manusia untuk mencapai tingkat kebenaran tidak dapat dilakukan sendiri–memerlukan sesuatu yang mampu menuntun untuk mendapatkan kebenaran. Ilmu pengetahuan sebagai objek yang menentukan sebuah kebenaran, saat ini tidak mampu lagi memberikan pencerahan dalam memberikan penilaian adil terhadap sebuah realita kehidupan. Karena dalam ilmu pengetahuan ada campur tangan ide-ide atau logika pelaku yang seringkali tidak rasional yang disebabkan oleh realita kehidupan yang mereka alami, sehingga ilmu pengetahuan sebagai penentu kebenaran hanya memihak pada sebagian mereka yang melakukannya atau ada sebuah pembenaran terhadap perilaku atau cara berfikir mereka–tidak lagi berlaku secara universal, baik kegunaannya maupun value yang ada didalamnya.
         Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
         Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity ”ketertarikan”. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.
         Karena filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang membentuk worldview seseorang dalam berfikir, maka perlu adanya suatu pemurnian paradigma manusia sebagai hamba dan manusia sebagai makhluk berfikir untuk mencapai kebenaran yang menghasilkan ketenangan hidup. Karena setiap apapun yang dilakukan oleh manusia, baik berfikir maupun sikap akan dimintai pertanggungjawaban kelak[9].


[1] Lihat Ali Maksum, Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hungga Postmodern, Jogjakarta, Ar Ruzz Media, 2008, hal 5.
[2] Lihat Ibid, hal 14.
[3] Kalau dalam akalnya manusia berfikir, maka dengan anugerah Allah yang lain: hati manusia merasa dan menghayati. Dengan akalnya manusia berfikir dan dengan hatinya manusia berdzikir untuk mencapai keyakinan sebuah kebenaran. Dalam Al Qur’an disebut Ulul Albab yang disebutkan dalam surat Ali Imran [3]: 190-194, yang dapat melihat dan mengambil pelajaran, dari ayat-ayat kauniahNya, adalah manusia yang senantiasa menfungsikan akan dan hatinya, berfikir dan berdzikir. Lihat Ali Maksum, Pengantar Filsafat....... ibid.
[4] Lihat Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science, London and New York: Mansell Publishing limited, 1989.
[5] Lihat Prof. Ir. Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat, Jakarta, PT. Pembangunan, 1980, hal. 4-5.
[6] Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah, Mesir, Maktabat al-Anjilu al-Misriyah, tth., hal 393-415
[7] Lihat Muhsin Hariyanto, AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU, e: Learning Community, Jumat, 27 Juli 2007.
[8] Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari  ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
[9] Lihat Al Qur’an; Al Zalzalah [99]: 7-8, “ Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. lihat Al Qur’an terjemahan DEPAG RI, 1989.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini