Selasa, 25 Agustus 2015

BUDAYA PATRIARKI, FEMINISME DAN EKOFEMINISME

BUDAYA PATRIARKI, FEMINISME DAN EKOFEMINISME
Akhmad Hasan Saleh
Rancangan UU pornografi membuat aktivis feminisme berteriak keras, karena UU pornografi telah dianggap sebagai bentuk legitimasi dan penyuburan budaya patriarki. Masyarakat yang menganut budaya patriarki memposisikan perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya dan laki-laki lebih mendominasi dalam segala lini aktivitas humanistis. secara ontology “Patriarchy (from Greek: Patria meaning father and arche’ meaning rule) is the anthropological term used to define  the sociological condition where male members of a society tend to predominate in position of power; with the more powerful the position, the more likely it  is that a male will hold that position”[1]
Dalam sejarah patriarki bahwa perbedaan biologis laki-laki dan perempuan sebagai pemicu pembentukan budaya patriarki, sehingga keduanya tidak setara. Dalam pandangan patriarki jahat (evil patriarki) bahwa perempuan lebih di anggap manusia yang lemah (inferior). Sejak awal telah membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki adalah manusia paling kuat (superior) dan perempuan dianggap berada dalam penjara keluarga, masyarakat dan Negara, karena tidak adanya kebebasan berfikir dan bergerak.
Hélène Cixous menyebut sejarah filsafat sebagai suatu “rantai ayah-ayah.” Perempuan, seperti halnya penderitaan, selalu absen dari hal tersebut, dan tentunya (mereka: penderitaan dan perempuan) adalah saudara dekat.
Seperti Camille Paglia, seorang pemikir anti-feminis, ketika ia merenungi peradaban dan perempuan:
“Ketika Aku melihat seekor burung bangau besar melewati sebuah truk panjang, sejenak Aku terdiam dan tertunduk, seperti yang akan dilakukan orang-orang ketika sedang berada dalam ibadah gereja. Konsepsi kekuatan macam apa: kebesaran macam apa: yang dihubungkan oleh bangau-bangau ini dengan peradaban Mesir kuno, ketika arsitektur monumental pertama kali dibayangkan dan dicapai. Apabila peradaban diserahkan ke tangan perempuan, mestilah kita masih tinggal di dalam gubuk-gubuk  jerami.”[2]
Penolakan para feminis pada sistem patriaki telah mewarnai gerakannya. Feminisme terlahir atas antitesis terhadap fenomena patriarki yang sulit dihapuskan karena merupakan sistem yang kultur turun temurun. Reaksi feminisme dalam meruntuhkan struktur patriarki dilakukan dengan dua pola[3] yaitu melakukan transformasi social dengan perubahan eksternal yang revolusioner. Dalam kelompok ini perempuan memaksakan dirinya untuk masuk ke dalam dunia laki-laki dengan harapan kedudukan dan statusnya sama dengan laki-laki. Untuk itu mereka mengadopsi kualitas maskulin, agar mampu berkompetisi dengan laki-laki. Filsafat Eksistensialisme telah diaplikasikan untuk membenarkan premis bahwa tidak ada perbedaan fitrah antara laki-laki dan perempuan, dimana stereotip gender yang ada selama ini adalah konstruksi sosial budaya. Sehingga yang banyak disosialisasikan karakter wanita yang kelaki-lakian. Secara teoritis telah banyak dikembangkan dalam feminisme modern[4] (feminisme liberal, Marxis, sosialis dan radikal).
Fenomena feminisme modern[5] telah memunculkan ekofiminisme sebagai jawaban dari permasalahan yang dihadapi kaum feminisme. Ekofeminisme salah satu cabang feminis gelombang ketiga yang mencoba menjelaskan keterkaitan alam dan perempuan terutama yang menjadi titik fokusnya adalah kerusakan alam yang mempunyai keterkaitan langsung dengan penindasan perempuan. Dalam Ekofeminisme perempuan ditempatkan sebagai “sosok yang lain” sejajar dengan sosok yang lainnya yang diabaikan dalam patriarkhi seperti kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam[6]. Budaya Patriarki menyebabkan adanya dominasi terhadap perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin dan alam, dan menempatkan mereka sebagai subordinate dibawah laki-laki yang mempunyai sifat yang unggul, netral, pengelola “sah” bumi dan seisinya.
Dalam menggali keterkaitan antara penindasan “sosok yang lain” (perempuan, kelompok ras berwarna, anak-anak, kelompok miskin), kerusakan alam dan dominasi patriarkhi, ekofeminisme menggunakan pendekatan analisis gender dan lebih memfokuskan keterkaitan ini pada penindasan perempuan, kerusakan alam serta dominasi patriarki sebagai penyebabnya. Hal tersebut disebabkan Pertama, Ekofeminis melihat yang paling dirugikan dari kerusakan alam adalah perempuan. Kedua, Peranan gender perempuan (sebagai pengatur dari economi domestik) bertindihan (overlap) dengan permasalahan kerusakan alam dan lingkungan. Ketiga, beberapa ideologi barat berisikan konsep-konsep pendominasian alam oleh gender laki-laki[7].
Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedangakn teori ekofeminisme adalah teori yang melihat individu secara komprehensif, yaitu sebagai makhluk yan terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Ekofeminsme mempunyai manifesto yang disebut A Declaration of Independence, yang isinya adalah sebagai berikut:
“When in the cource human events, it become necessary to create a new bond among people of earth, connecting each to the other, undertaking equal responsibilies under the lows of nature, a decent respect for the welfare of humankind and all life on earth requires us to Declare our independence….that humankind has not woven the web of life; we are but one thread within it. Whatever we do  to the web, we do to ourselves”[8]


[2] Ratna Megawangi, Ph.D, dkk, Memboncang Feminisme, Surabaya, Risalah Gusti, 2008, hlm 210
[3] Ratna Megawangi, Ph.D, dkk, Memboncang Feminisme, Surabaya, Risalah Gusti, 2008, hlm 209.s
[4] Feminisme dengan segala macam teorinya mendapatkan momentumnya di Barat pada kurun waktu 1960-an sampai 1970-an, dipengaruhi oleh paham materialisme yang menganggap sikap dasar manusia adalah semata-mata untuk memenuhi kepentingan pribadinya (konsep Hobbesian, homo homini lupus). Karenanya kehiupan perempuan masa itu diwarai dengan pola relasi dominasi, penindasan, dan konflik kepentingan yang berkepanjangan. Karl Marx mengatakan bahwa basis kehidupan masyarakat berdasarkan pola relasi material dan ekonomi yang selalu menimbulkan konflik. Fiendrich Engels dalam bukunya Origins of the Family, Private Property, and the State (1884) yang menyatakan bahwa suami adalah cerminan dari kaum borjuis, dan istri sebagai kaum proletar yang tertindas. “……the wife became the head servant, excluded from all participation in social production.” Dan dalam halaman yang lain dikatakan pula, “The individual family is founded on the open or concealed domestic slavery of the wife….”, lihat  ibid. hlm 223.
[5] Pada tahun 1980-an terjadi banyak kritikan dalam diskusi-diskusi yang terfokus pada feminine yang cenderung menerima perbedaan perempuan dan laki-laki. Mereka mulai percaya bahwa perbedaan gender bukan semata-mata konstruksi social budaya tetapi juga instrinsic. Teori-teori feminisme modern berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Dari berbagai banyak pengalaman Barat dalam sosialisasi perempuan muncul feminisme Marxisme, sosialis dan radikal yang menyatakan bahwa sikap feminin pada perempuan diakibatkan oleh adanya sosialisasi, bukan karena fitrah. Sehingga kaum feminis menginginkan para perempuan mengadopsi kualitas maskulin dengan cara “mendewi-tololkan” perempuan yang berperan sebagai ibu. Lihat ibid, hlm. 214.
[6] Nature is Feminist Isu. Hal.1
[7] ibid hal.2
[8] “A Declaration of Independence”, Ecofeminist Newslatter 1, no. 1 (Sring 1990): p.7

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini