PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH BANGSA INDONESIA
Oleh. Akh. Hasan Saleh, S.Pd.,MPI.
Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki keunikan dibanding
dengan negara lain di dunia. Keunikan tersebut terletak pada adat istiadat,
budaya dan religius masyarakat. Untuk memahami bangsa Indonesia yang nama
awalnya adalah nuswantara, tidak bisa dilihat hanya dari sejarah
munculnya Pancasila dan terbentuknya negara, tetapi harus mengetahui sejarah
perjuangan mempertahankan nuswantara, yaitu pada masa kerajaan. Masa ini
sebagai awal terbentuknya Pancasila yang memiliki nilai-nilai luhur dan
dipertahankan sampai sekarang. Tulisan ini mencoba menjelaskan secara singkat tentang
hal-hal yang dianggap penting dalam mengantarkan pada pokok pembahasan tentang
Pancasila dalam konteks sejarah bangsa Indonesia.
A.
Nilai-Nilai Adat, Budaya dan Religius sebagai ‘Rahim’ Pancasila
Pancasila sebelum menjadi dasar negara bangsa Indonesia dan sebelum
dirumuskan serta disahkan tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, telah ada
nilai-nilai luhur dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Nuswantara
yang kemudian berubah nama menjadi Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki budaya
yang berbeda dengan bangsa lain di dunia. Indonesia yang terdiri dari ribuan
pulau, bahasa, budaya memiliki keunikan tersendiri, karena perbedaan budaya
yang dimiliki bermuara pada nilai (value) yang sama yaitu kedamaian dan
kesejahteraan manusia. Nilai tersebut ada sejak pertama bangsa ini ada, yang
berupa nilai-nilai adat, kebudayaan dan nilai-nilai religius. nilai tersebut
tidak hanya sebagai slogan atau simbol namun melekat dan diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat pada waktu itu.
Nilai adat istiadat, nilai budaya dan nilai religius bersumber dari
bangsa Indonesia sendiri tidak dari bangsa lain yang dimana bangsa-bangsa saat
itu masih mengalami kegoncangan moralitas. Namun bangsa Indonesia telah
menemukan karakteristiknya yang luhur. Nilai adat istiadat merupakan nilai yang
melekat pada perilaku kebiasaan masyarakat nusantara dalam maksud mengatur tata
tertib, sehingga tidak terjadi penyimpangan terhadap norma masyarakat yang
berlaku. Adapun nilai yang terbina dalam masyarakat nusantara adalah cara
berpakaian, kesenian, pesta, hiburan dan sebagainya. Sedangkan nilai budaya
adalah nilai yang merupakan karakteristik berkaitan akal dan perilaku, seperti
gotong royong, kerjasama, kepatuhan pada guru, menghormati orang lain dan
sebagainya. Nilai religius merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kebertuhanan
masyarakat terhadap pencipta dan masalah peribadatan antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan manusia, serta manusia dengan lingkungannnya. Nilai
agama di nusantara sejak dulu sudah melekat dalam interaksi sosial, budaya dan
adat istiadat bahkan seluruh aspek kehidupan masyarakat nusantara, misalnya
gotong royong, tolong menolong dan lain-lain yang merupakan perintah agama,
membakar minyan atau dupa, menjaga pergaulan laki dan perempuan, toleransi pada
umat agama lain dan sebagainya. Agama memiliki nilai yang lebih luas dibanding
dengan nili-nilai adat istiadat dan kebudayaan. Nilai-nilai tersebut menjadi kausa
materials pancasila, yang kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal
oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat dan berdirinya
negara Indonesia.
Memahami pancasila secara lengkap dan utuh terutama dalam kaitannya
dengan jati diri bangsa Indonesia, mutalk diperlukan pemahaman sejarah
perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk suatu negara yang berdasarkan suatu
asas hidup bersama demi kesejahteraan bersama yang berdasarkan Pancasila.
Selain secara epistemologis sekaligus sebagai pertanggungjawaban ilmiah, bahwa
Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai perjanjian seluruh
bangsa Indonesia pada waktu mendirikan negara Indonesia.
Nilai-nilai luhur bangsa yang disarikan dari nilai adat istiadat,
nilai budaya dan nilai religius dirumuskan dalam ‘tubuh’ Pancasila secara utuh
dan bermakna. Nilai-nilai esensial yang terkandung tersebut: Ketuhanan, Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan, serta
Keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses pembentukan
negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu
sejak bangsa Indonesia melalui proses kerajaan pada abad IV sampai ke V,
kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VII,
yaitu ketika kerajaan Sriwijaya dilanjutkan Airlangga dan Majapahit.
B.
Pancasila Masa Kerajaan
Pada masa awal bangsa Indonesia masih diperintah dengan model
kepemimpinan kerajaan. Dalam banyak literatur sejarah bangsa Indonesia
menyatakan bahwa kerajaan pertama kali adalah kerajaan Kutai. Kerajaan Kutai adalah penganut agama Hindu dan Buddha, terbukti dengan
ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu) pada tahun 400 M. Berdasarkan
prasasti tersebutdapat diketahui raja Mulawarman keturunan raja Asmawarman
keturunan dari kudungga. Salah satu isi prasasti tersebut menceritakan tentang
nilai-nilai sosial yang dibangun oleh raja Mulawarman dengan kenduri dan
pemberian sedekah kepada para Brahmana, dan para brahmana membangun yupa itu
sebagi tanda terima kasih pada raja yang dermawan. Selain nilai sosial ada pula
nilai religius yang dibangun pada masa kerajaan kutai yaitu dengan menjadikan
agama hindu dan budha sebagai agama kerajaan.
Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja ini
tampak dalam kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian dijawa dan sumatera. Dalam
zaman kuno (400-1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai integrasi
dengan wilayah yang meliputi hampir separuh Indonesia dan seluruh wilayah
Indonesia sekarang, yaitu kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang berpusat di
jawa.[1]
Pada abad VII berdirilah sebuah kerajaan di Sumatera yaitu kerajaan
sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa syailendra. Hal ini terdapat pada prasasti Kedukan
buit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang yang bertarikh 605 caka atau 683 M
dalam bahasa melayu kuno dan huruf Pallawa. Kerajaan tersebut menguasai laut
nusantara, sehingga kerajaan sriwijaya lebih dikenal sebagai kerajaan maritim.
Wilayah yang dikuasainya meliputi Selat Sunda (686), Selat Malaka (775) yang
merupakan jalur laut internasional. Kerajaan Sriwijaya menganut agama Budha
yang sangat kuat dan merupakan kerajaan yang disegani di kawasan Asia selatan. Banyak
peziarah Cina belajar tentang agama Budha di wilayah kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke India. Kerajaan Sriwijaya
dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai
Ketuhanan.[2]
Selain kerajaan Sriwijaya di Sumatera, berdiri pula kerajaan dibeberapa
daerah di Nusantara, yaitu kerajaan Kalingga abad ke VII, Sanjaya abad ke VIII,
dan beberapa kerajaan di Jawa Tengah dengan bukti berdirinya candi-candi agama
Budha dan Hindu, semisal candi Borobudur pada abad IX dan candi Prambanan abad
X. Pada Abad IX berdiri kerajaan Isana, Darmawangsa pada abad X. Pada abad IX
berdiri kerajaan Airlangga yang memiliki sikap toleransi dalam beragama dengan
mengakui agama budha, agama wisnu dan agama syiwa yang hidup berdampingan
secara damai. Selain nilai toleransi–nilai kemanusiaan pun sudah mulai dibangun
dengan mengadakan hubungan dagang dan kerjasama dengan Banggala, Chola dan
Champa. Sedangkan nilai Musyawarah dilakukan ketika rakyat dan para Brahmana
bermusyawarah dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja dan
melanjutkan tradisi kerajaan.
Pada abad XIII berdiri kerajaan Singasari yang memiliki hubungan erat
dengan berdirinya kerajaan terbesar di Jawa yaitu kerajaan Majapahit yang terletak
di Jawa Timur. Majapahit sebagai kerajaan maritim yang juga berambisi menguasai
nusantara. Ia mencapai zaman keemasannya pada tahun 1293 yang diperintah oleh
Raja hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang dibantu oleh laksamana Nala
dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit
semasa jayanya itu membentang dari sepanjang melayu (Malaysia sekarang) sampai
Irian Barat melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan damai dalam
satu kerajaan. empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang artinya negara
dengan tradisi (Agama) yang suci. Kitab tersebut menceritakan tentang kekuasaan
Hayam Wuruk yang sangat luas dengan budaya keagamaan pada saat itu. Dalam kitab
tersebut telah terdapat istilah “Pancasila”, Empu Tantular mengarang buku
Sutasoma, yang didalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu
“Bhinika Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, yang artinya walaupun
berbeda, namun satu jua adanya sebab tida ada agama yang memiliki Tuhan yang
berbeda. Hal ini menunjukkan realitas kehidupan beragama dan kebertuhanan pada
masa kerajaan Majapahit. Bahkan salah satu bawahan kekuasaannya yaitu Pasai
justru telah memeluk agama Islam.
Keberagamaan, persatuan dan solidaritas sosial semakin diperkuat dengan
adanya sumpah palapa yang di ikrarkan oleh Majapahit Gajah Mada dalam sidang
ratu dan Menteri-menteri di Pasebahan Keprabuan Majapahit pada tahun 1331
dengan cita mempersatukan nusantara.[3] Adapun berbunyi
sumpah tersebut: “Lamun huwus
kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung
Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
samana isun amukti palapa”, Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan)
melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang,
Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan
puasa.[4]
Sumpah palapa tersebut mengantarkan kerajaan Majapahit pada puncak
kegemilangan pada tahun 1500an. Kemudian disebabkan oleh faktor dalam kerajaan
sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada permulaan abad XV, maka
sinar kejayaan Majapahit berangsur-angsur mulai memudar dan akhirnya mengalami
keruntuhan dengan “Sinar Hilang Kertaning Bumi” pada permulaan abad XVI (1520).
Runtuhnya Majapahit mulai berkembang agama Islam sebagai pengganti
peradaban nusantara pada masa itu. Kerajaan yang berkembang pada abad XVI
adalah kerajaan Demak dan mulailah orang-orang eropa ke nusantara untuk
berdagang dan melakukan pencarian
pusat-pusat rempah yang merupakan kebutuhan orang eropa berkebangsaan Portugis dan
Spanyol. Melihat sumber daya alam yang melimpah lama-kelamaan muncullah sifat
rakusnya dengan melakukan penjajahan, misalnya Malaka dikuasai sejak tahun 1511
oleh Portugis.
Penjajahan barat mulai berkembang di nusantara pada abad XVII
dengan menguasai beberapa wilayah rempah-rempah yang menjadi sumber penghasilan
masyarakat pada saat itu dengan ekpansi
militer. Namun perlawanan selalu dilakukan oleh kerajaan dan rakyat dengan
segala kekuatan yang dimilikinya. Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam yang
berkembang dan didukung oleh walisongo mampu menunjukkan perlawanannya walaupun
tidak seimbang dari segi persenjataan yang dimiliki oleh pihak kerajaan dan
rakyat. Namun demikian telah mampu memberikan pelajaran luar biasa pada
penjajah, bahwa rakyat Indonesia memiliki nilai-nilai yang tidak bisa
dihilangkan dari jiwanya, antara lain nilai keagamaan, nilai persatuan dan
nilai sosial yang tinggi, sehingga dengan nilai yang dimiliki menjadi kekuatan
untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pada masa kerajaan nilai-nilai
Pancasila sudah diamalkan oleh pemangku kekuasaan dan masyarakat. Nilai-nilai
kebertuhanan, nilai toleransi, nilai persatuan dan nilai musyawarah serta nilai
sosial lahir dari bangsa Indonesia sendiri jauh sebelum barat melakukan
penjajahan terhadap bangsa Indonesia, bahkan telah mendarah daging dan terjaga
sampai saat ini serta tersurat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
[1] Prof.Dr.Hamid Darmadi, Urgensi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal.
189-190
[2]
Prof.Dr.Hamid Darmadi, Urgensi
Pendidikan Pancasila......, baca juga Dr. Kabul Budiyono, Pendidikan
Pancasila untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal.11
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Palapa
diakses tanggal 7 Agustus 2015
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih telah membuka blog ini