Selasa, 25 Agustus 2015

PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH BANGSA INDONESIA

 PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH BANGSA INDONESIA
Oleh. Akh. Hasan Saleh, S.Pd.,MPI.


 Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki keunikan dibanding dengan negara lain di dunia. Keunikan tersebut terletak pada adat istiadat, budaya dan religius masyarakat. Untuk memahami bangsa Indonesia yang nama awalnya adalah nuswantara, tidak bisa dilihat hanya dari sejarah munculnya Pancasila dan terbentuknya negara, tetapi harus mengetahui sejarah perjuangan mempertahankan nuswantara, yaitu pada masa kerajaan. Masa ini sebagai awal terbentuknya Pancasila yang memiliki nilai-nilai luhur dan dipertahankan sampai sekarang. Tulisan ini mencoba menjelaskan secara singkat tentang hal-hal yang dianggap penting dalam mengantarkan pada pokok pembahasan tentang Pancasila dalam konteks sejarah bangsa Indonesia.
A.  Nilai-Nilai Adat, Budaya dan Religius sebagai ‘Rahim’ Pancasila
Pancasila sebelum menjadi dasar negara bangsa Indonesia dan sebelum dirumuskan serta disahkan tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, telah ada nilai-nilai luhur dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Nuswantara yang kemudian berubah nama menjadi Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki budaya yang berbeda dengan bangsa lain di dunia. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, bahasa, budaya memiliki keunikan tersendiri, karena perbedaan budaya yang dimiliki bermuara pada nilai (value) yang sama yaitu kedamaian dan kesejahteraan manusia. Nilai tersebut ada sejak pertama bangsa ini ada, yang berupa nilai-nilai adat, kebudayaan dan nilai-nilai religius. nilai tersebut tidak hanya sebagai slogan atau simbol namun melekat dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat pada waktu itu.
Nilai adat istiadat, nilai budaya dan nilai religius bersumber dari bangsa Indonesia sendiri tidak dari bangsa lain yang dimana bangsa-bangsa saat itu masih mengalami kegoncangan moralitas. Namun bangsa Indonesia telah menemukan karakteristiknya yang luhur. Nilai adat istiadat merupakan nilai yang melekat pada perilaku kebiasaan masyarakat nusantara dalam maksud mengatur tata tertib, sehingga tidak terjadi penyimpangan terhadap norma masyarakat yang berlaku. Adapun nilai yang terbina dalam masyarakat nusantara adalah cara berpakaian, kesenian, pesta, hiburan dan sebagainya. Sedangkan nilai budaya adalah nilai yang merupakan karakteristik berkaitan akal dan perilaku, seperti gotong royong, kerjasama, kepatuhan pada guru, menghormati orang lain dan sebagainya. Nilai religius merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kebertuhanan masyarakat terhadap pencipta dan masalah peribadatan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, serta manusia dengan lingkungannnya. Nilai agama di nusantara sejak dulu sudah melekat dalam interaksi sosial, budaya dan adat istiadat bahkan seluruh aspek kehidupan masyarakat nusantara, misalnya gotong royong, tolong menolong dan lain-lain yang merupakan perintah agama, membakar minyan atau dupa, menjaga pergaulan laki dan perempuan, toleransi pada umat agama lain dan sebagainya. Agama memiliki nilai yang lebih luas dibanding dengan nili-nilai adat istiadat dan kebudayaan. Nilai-nilai tersebut menjadi kausa materials pancasila, yang kemudian diangkat dan dirumuskan secara formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat dan berdirinya negara Indonesia.
Memahami pancasila secara lengkap dan utuh terutama dalam kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia, mutalk diperlukan pemahaman sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk membentuk suatu negara yang berdasarkan suatu asas hidup bersama demi kesejahteraan bersama yang berdasarkan Pancasila. Selain secara epistemologis sekaligus sebagai pertanggungjawaban ilmiah, bahwa Pancasila selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai perjanjian seluruh bangsa Indonesia pada waktu mendirikan negara Indonesia.
Nilai-nilai luhur bangsa yang disarikan dari nilai adat istiadat, nilai budaya dan nilai religius dirumuskan dalam ‘tubuh’ Pancasila secara utuh dan bermakna. Nilai-nilai esensial yang terkandung tersebut: Ketuhanan,  Kemanusian, Persatuan, Kerakyatan, serta Keadilan, dalam kenyataannya secara objektif telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum mendirikan negara. Proses pembentukan negara dan bangsa Indonesia melalui suatu proses sejarah yang cukup panjang yaitu sejak bangsa Indonesia melalui proses kerajaan pada abad IV sampai ke V, kemudian dasar-dasar kebangsaan Indonesia telah mulai nampak pada abad ke VII, yaitu ketika kerajaan Sriwijaya dilanjutkan Airlangga dan Majapahit.
B.  Pancasila Masa Kerajaan
Pada masa awal bangsa Indonesia masih diperintah dengan model kepemimpinan kerajaan. Dalam banyak literatur sejarah bangsa Indonesia menyatakan bahwa kerajaan pertama kali adalah kerajaan Kutai. Kerajaan Kutai adalah penganut agama Hindu dan Buddha, terbukti dengan ditemukannya prasasti yang berupa 7 yupa (tiang batu) pada tahun 400 M. Berdasarkan prasasti tersebutdapat diketahui raja Mulawarman keturunan raja Asmawarman keturunan dari kudungga. Salah satu isi prasasti tersebut menceritakan tentang nilai-nilai sosial yang dibangun oleh raja Mulawarman dengan kenduri dan pemberian sedekah kepada para Brahmana, dan para brahmana membangun yupa itu sebagi tanda terima kasih pada raja yang dermawan. Selain nilai sosial ada pula nilai religius yang dibangun pada masa kerajaan kutai yaitu dengan menjadikan agama hindu dan budha sebagai agama kerajaan.
Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan raja ini tampak dalam kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian dijawa dan sumatera. Dalam zaman kuno (400-1500) terdapat dua kerajaan yang berhasil mencapai integrasi dengan wilayah yang meliputi hampir separuh Indonesia dan seluruh wilayah Indonesia sekarang, yaitu kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang berpusat di jawa.[1]
Pada abad VII berdirilah sebuah kerajaan di Sumatera yaitu kerajaan sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa syailendra. Hal ini terdapat pada prasasti Kedukan buit di kaki bukit Siguntang dekat Palembang yang bertarikh 605 caka atau 683 M dalam bahasa melayu kuno dan huruf Pallawa. Kerajaan tersebut menguasai laut nusantara, sehingga kerajaan sriwijaya lebih dikenal sebagai kerajaan maritim. Wilayah yang dikuasainya meliputi Selat Sunda (686), Selat Malaka (775) yang merupakan jalur laut internasional. Kerajaan Sriwijaya menganut agama Budha yang sangat kuat dan merupakan kerajaan yang disegani di kawasan Asia selatan. Banyak peziarah Cina belajar tentang agama Budha di wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke India. Kerajaan Sriwijaya dalam menjalankan sistem negaranya tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai Ketuhanan.[2]
Selain kerajaan Sriwijaya di Sumatera, berdiri pula kerajaan dibeberapa daerah di Nusantara, yaitu kerajaan Kalingga abad ke VII, Sanjaya abad ke VIII, dan beberapa kerajaan di Jawa Tengah dengan bukti berdirinya candi-candi agama Budha dan Hindu, semisal candi Borobudur pada abad IX dan candi Prambanan abad X. Pada Abad IX berdiri kerajaan Isana, Darmawangsa pada abad X. Pada abad IX berdiri kerajaan Airlangga yang memiliki sikap toleransi dalam beragama dengan mengakui agama budha, agama wisnu dan agama syiwa yang hidup berdampingan secara damai. Selain nilai toleransi–nilai kemanusiaan pun sudah mulai dibangun dengan mengadakan hubungan dagang dan kerjasama dengan Banggala, Chola dan Champa. Sedangkan nilai Musyawarah dilakukan ketika rakyat dan para Brahmana bermusyawarah dan memutuskan untuk memohon Airlangga bersedia menjadi raja dan melanjutkan tradisi kerajaan.
Pada abad XIII berdiri kerajaan Singasari yang memiliki hubungan erat dengan berdirinya kerajaan terbesar di Jawa yaitu kerajaan Majapahit yang terletak di Jawa Timur. Majapahit sebagai kerajaan maritim yang juga berambisi menguasai nusantara. Ia mencapai zaman keemasannya pada tahun 1293 yang diperintah oleh Raja hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang dibantu oleh laksamana Nala dalam memimpin armadanya untuk menguasai nusantara. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya itu membentang dari sepanjang melayu (Malaysia sekarang) sampai Irian Barat melalui Kalimantan Utara.
Pada waktu itu agama Hindu dan Budha hidup berdampingan dengan damai dalam satu kerajaan. empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang artinya negara dengan tradisi (Agama) yang suci. Kitab tersebut menceritakan tentang kekuasaan Hayam Wuruk yang sangat luas dengan budaya keagamaan pada saat itu. Dalam kitab tersebut telah terdapat istilah “Pancasila”, Empu Tantular mengarang buku Sutasoma, yang didalam buku itulah kita jumpai seloka persatuan nasional yaitu “Bhinika Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, yang artinya walaupun berbeda, namun satu jua adanya sebab tida ada agama yang memiliki Tuhan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas kehidupan beragama dan kebertuhanan pada masa kerajaan Majapahit. Bahkan salah satu bawahan kekuasaannya yaitu Pasai justru telah memeluk agama Islam.
Keberagamaan, persatuan dan solidaritas sosial semakin diperkuat dengan adanya sumpah palapa yang di ikrarkan oleh Majapahit Gajah Mada dalam sidang ratu dan Menteri-menteri di Pasebahan Keprabuan Majapahit pada tahun 1331 dengan cita mempersatukan nusantara.[3] Adapun berbunyi sumpah tersebut: “Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”, Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.[4]
Sumpah palapa tersebut mengantarkan kerajaan Majapahit pada puncak kegemilangan pada tahun 1500an. Kemudian disebabkan oleh faktor dalam kerajaan sendiri seperti perselisihan dan perang saudara pada permulaan abad XV, maka sinar kejayaan Majapahit berangsur-angsur mulai memudar dan akhirnya mengalami keruntuhan dengan “Sinar Hilang Kertaning Bumi” pada permulaan abad XVI (1520).
Runtuhnya Majapahit mulai berkembang agama Islam sebagai pengganti peradaban nusantara pada masa itu. Kerajaan yang berkembang pada abad XVI adalah kerajaan Demak dan mulailah orang-orang eropa ke nusantara untuk berdagang  dan melakukan pencarian pusat-pusat rempah yang merupakan kebutuhan orang eropa berkebangsaan Portugis dan Spanyol. Melihat sumber daya alam yang melimpah lama-kelamaan muncullah sifat rakusnya dengan melakukan penjajahan, misalnya Malaka dikuasai sejak tahun 1511 oleh Portugis.
Penjajahan barat mulai berkembang di nusantara pada abad XVII dengan menguasai beberapa wilayah rempah-rempah yang menjadi sumber penghasilan masyarakat pada saat itu dengan ekpansi militer. Namun perlawanan selalu dilakukan oleh kerajaan dan rakyat dengan segala kekuatan yang dimilikinya. Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam yang berkembang dan didukung oleh walisongo mampu menunjukkan perlawanannya walaupun tidak seimbang dari segi persenjataan yang dimiliki oleh pihak kerajaan dan rakyat. Namun demikian telah mampu memberikan pelajaran luar biasa pada penjajah, bahwa rakyat Indonesia memiliki nilai-nilai yang tidak bisa dihilangkan dari jiwanya, antara lain nilai keagamaan, nilai persatuan dan nilai sosial yang tinggi, sehingga dengan nilai yang dimiliki menjadi kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pada masa kerajaan nilai-nilai Pancasila sudah diamalkan oleh pemangku kekuasaan dan masyarakat. Nilai-nilai kebertuhanan, nilai toleransi, nilai persatuan dan nilai musyawarah serta nilai sosial lahir dari bangsa Indonesia sendiri jauh sebelum barat melakukan penjajahan terhadap bangsa Indonesia, bahkan telah mendarah daging dan terjaga sampai saat ini serta tersurat dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.


[1] Prof.Dr.Hamid Darmadi, Urgensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 189-190
[2] Prof.Dr.Hamid Darmadi, Urgensi Pendidikan Pancasila......, baca juga Dr. Kabul Budiyono, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal.11
[3] Prof.Dr.Hamid Darmadi, Urgensi Pendidikan Pancasila......hal 192.  
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Palapa diakses tanggal 7 Agustus 2015

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini