Rabu, 19 Agustus 2015

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA



PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Oleh. Akhmad Hasan Saleh

Pembahasan perjuangan bangsa Indonesia untuk merumuskan dasar negara dilalui dengan darah, nyawa, tenaga dan fikiran. Dalam bab ini dibahas secara singkat perjuangan rakyat dan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah, perjuangan merumuskan pancasila dan pancasila sebagai dasar negara.
A.      Perjuangan Masa Kebangkitan Nasional
Perjuangan melawan penjajah dari eropa (Portugis, Belanda, Inggris) yang telah berkuasa tiga setengah abad menjadikan bangsa Indonesia semakin terpuruk. Perjuangan rakyat tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga berjuang melalui jalur lain yaitu pemikiran dengan terbentuknya organisasi sosial poitik dan keagamaan, misalkan: Boedi Oetomo (20 Mei 1908), Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), dan beberapa pergerakan kepemudaan lainnya.[1] Untuk menyatukan suara dalam perjuangan bangsa dilakukan kongres pemuda I tahun 1926. Pada tanggal 27-28 Oktober 1928 dilaksanakan kongres pemuda II yang menghasilkan “Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia”. Perjuangan rakyat untuk membangun negara bebas dari penjajahan hanya janji bohong Belanda yang tak pernah menjadi kenyataan.[2]
Penderitaan rakyat dan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai pada penjajahan Belanda, dilanjutkan dengan penjajahan Jepang yang sangat kejam terhadap rakyat selama tiga setengah tahun. Bulan Maret 1942 pemerintah Belanda menyerah tanpa syarat. Fasis Jepang masuk Indonesia dengan propaganda “Jepang pemimpin Asia, Jepang saudara tua bangsa”. Akan tetapi dalam perang melawan sekutu-sekutu Barat yaitu (Amerika, Inggris, Rusia, Prancis, Belanda dan negara Sekutu lainnya) nampaknya Jepang semakin terdesak.[3] Oleh karena itu, agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka pemerintahan jepang bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia, yaitu menjajikan Indonesia merdeka dikemudian hari dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya, apabila perang dunia II berakhir dan kemenangan dipihak Jepang. Janji tersebut diucapkan oleh Perdana Menteri jepang Jendral Kaiso pada 7 September 1944 di depan sidang Istimewa Dewan perwakilan Rakyat Jepang (Toikuhu Gikai).[4]
Tepat pada tanggal 29 April 1945, Seikoo Sikikan memenuhi janjinya dengan membentuk Dokuritzu Zyumbi Tyoosakai atau Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 63 orang, yang terdiri dari Ketua/Kaicoo: Dr.KRT. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Muda/Fuku Kaicoo: Ingbangase (orang Jepang), dan seorang ketua muda dari bangsa Indonesia: RP. Soeroso.

B.       Perjuangan Merumuskan Pancasila
Sidang pertama BPUPKI berlangsung mulai 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Pada sidang BPUPKI I ini muncul beberapa tokoh yang menyampaikan usulan yang berupa gagasan dasar Indonesia merdeka. Salah satu usulan Muhammad Yamin saat berpidato tanggal 29 Mei 1945 di sidang BPUPKI I, secara berurutan yaitu 1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3.Peri Ketuhanan; 4. peri Kerakyatan (A. Permusyawaratan, B. Perwakilan, C. Kebijaksanaan); 5. Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial).
Pada sidang hari kedua tampil tokoh Islam seperti K.H. Wahid hasyim, Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Kahar Muzakir, mereka mnusulkan agar dasar negara yang disepakati nantinya adalah dasar Islam, mengingat bahwa sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam. Bunyi usulan tersebut adalah 1.Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2. (menurut dasar) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5. (serta dengan mewujudkan suatu) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[5]
Namun bung Hatta mengusulkan agar dibentuk negara Persatuan Nasional, yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama. Usulan tersebut juga disetujui oleh Supomo yang juga ikut memberikan pidat, karena menurutnya tidak sesuai dengan cita-cita negara persatuan yang diidam-idamkan, juga yang telah dianjurkan oleh pemerintah balatentara Jepang.[6]
Menurut Mohammad Hatta “Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, sebagai intisari pidato bung Karno yang diucapkan sebagai jawaban atas pertanyaan ketua badan tersebut, yaitu Dr. Radjiman Widiodiningrat. Pertanyaan tersebut adalah negara Indonesia merdeka yang akan kita bentuk apa dasarnya?”[7] pernah ada usulan untuk namanya panca dharma, tetapi dengan tegas Bung Karno menyatakan bahwa pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.[8]
Pidato inilah yang memacu Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk membentuk lagi suatu panitia kecil yang terdiri dari sembilan (9) orang untuk mengembangkan berbagai usulan yang masuk mengenai kemerdekaan Indonesia. Kesembilan orang itu diantaranya: Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno Tjokrosujoso (dari golongan Islam); Soekarno, Moh. Hatta, Muhammad Yamin, Maramis, dan Subardjo (dari golongan nasionalis). Alasan mendasar dibentuknya tim 9 yang diketuai oleh Soekarno itu adalah karena terjadi perbedaan pendapat mengenai bahkan menimbulkan dua kubu atau faksi yang tetap bersitegang untuk menginginkan prinsip kebangsaan sebagai dasar negara. Perbedaan ini bermuara pada cara pandang dalam memposisikan hubungan negara dan agama. Menurut Prof. Ahmad Syafii Maarif, dari 68 orang anggota BPUPKI, hanya 15 orang saja yang benar-benar bisa mewakili aspirasi politik dan ideologi umat Islam. Anggota BPUPKI diluar 15 orang itu dikatakan bersepakat untuk menolak Islam dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Kebuntuan inilah yang sebetulnya melahirkan panitian sembilan (tim 9) untuk mencari solusi soal dasar negara.
Pekerjaan panitia kecil inilah tersusun suatu naskah pembukaan yang dikenal sebagai gentlement agreement diantara para pendukung paham nasionalisme dan pendukung Islam. Kesepakatan inilah yang oleh Moh. Yamin disebut sebagai Djakarta Charter yang selanjutanya naskah tersebut dikenal sebagai Piagam Jakarta.[9] Isi Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar pada: Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[10]

Sebetulnya perdebatan seputar dasar negara Indonesia yang merdeka itu, baik dalam BPUPKI maupun tim 9 bukan mengenai nama dasar negaranya, sebab sudah disepakati bersama adalah pancasila. Tetapi perdebatan justru terkait pada isi sila-silanya. Perdebatan tersebut justru ditimbulkan oleh perbedaan pendapat dari golongan yang menginginkan agar kelak negara Indonesia adalah negara Islam, tetapi disanggah oleh anggota lain yang berpaham nasionalisme.
Perbedaan ini justru mendapat titik temu lewat rancangan Pembukaan Hukum Dasar (preambule hukum dasar) yang kemudian dilaporkan hasil kerjanya dan diterima secara aklamasi dalam sidang BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945. Kemudian pada tanggal 22 Juli 1945 ditetapkan sebagai hari terbentuknya Piagam Jakarta. Adapun naskah Piagam Jakarta yang termuat di UUD 1945 sebagaimana yang telah diusulkan oleh tokoh islam diatas.
Sejak penetapannya telah disepakati oleh kelompok Islam dan kelompok kebangsaan bahwa negara pancasila bukanlah negara agama, juga bukan negara anti-agama, melainkan negara ketuhanan yang memelihara budi pekerti, kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat. Golongan Islam awalnya menolak, tidak senang dengan usul membangun Indonesia merdeka atas dasar pancasila, tetapi akhirnya dapat menerimanya. Mereka menolak negara anti agama, tetapi dapat menerima negara pancasila yang berketuhanan, sedangkan golongan kebangsaan negara agama, tidak dapat menerima negara ketuhanan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta didatangi oleh seorang perwira angkatan laut yang mengaku membawa aspirasi masyarakat Indonesia bagian timur (yang mayoritas Kristen dan katolik) yang keberatan dengan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” selanjutnya dikatakan bahwa jika tidak dipertimbangkan kembali, maka Indonesia bagian Timur tidak akan mau bergabung dengan negara Indonesia. Sebetulnya desakan demikian pernah disampaikan oleh salah seorang tokoh dari Maluku yaitu Mr. Latuharhary yang memprotes Piagam Jakarta dalam sidang BPUPKI. Bahkan Soekarno dan Wachid Hasyim membela Piagam Jakarta. Termasuk Ki Bagus Hadikusumo pun bersikeras untuk mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu. Namun berkat upaya dari Kusman Singodimedjo yang mendekati wakil-wakil Islam sajalah akhirnya kelompok Islam bisa menerima dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.[11]
Setelah Soekarno membacakan pidatonya sekaligus menyatakan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945 maka perlu dilengkapi dengan kepala negara/pemerintahan dan undang-undang dasar. Untuk itulah pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkannya undang-undang dasar negara Indonesia yang pembukaannya memuat pancasila dengan rumusan sebagai berikut:
1.   Ketuhanan yang Maha Esa
2.   Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.   Persatuan Indonesia
4.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.   Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dengan ditetapkannya Pancasila dengan rumusan demikian seakan perdebatan mengenai dasar konstitusi negara terasa final. Adapun beberapa pertimbangan yang dapat dikemukakan menyangkut rumusan Pancasila dalam UUD 1945 dengan tidak menyertakan tujuah kata (dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya),[12] adalah: Pertama: situasi politik dan keamanan dalam revolusi memang memerlukan persatuan dan kesatuan bangsa; Kedua: sebagai golongan minoritas mereka memang dapat melakukan politik ofensif bahkan disertasi dengan tekanan politik (chantage) seolah-ola ditindas oleh golongan minoritas; Ketiga: sebagai golongan yang paling berkepentingan tergalangnya persatuan dan kesatuan dalam menghadapi Belanda yang masih mempunyai kaki tangan di mana-mana, para pemimpin Islam dan nasionalis memenuhi tuntutan mereka. Dengan pengertian bahwa kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya akan dapat ditampung dalam melaksanakan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 secara jujur yaitu ayat yang berbunyi “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya”.[13]

C.      Pancasila Sebagai Dasar Negara Bukan Ideologi
Pancasila sebagai dasar yang dimaksud adalah Pancasila sebagai ide awal atau yang mendasari terbentuknya sebuah negara kesatuan yang memiliki jiwa nasionalisme yang berbhineka tunggak ika. Dimana aturan-aturan atau perundang-undangannya berdasarkan pada isi dari Pancasila yang telah dirumuskan bersama oleh tim sembilan.
Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Pancasila memiliki nilai-nilai kepribadian yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia, antara lain:
1.        Nilai Religius (Ketuhanan): Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya. Dari sudut pandang etis keagamaan, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari dasar ini pula, bahwa suatu keharusan bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan, dan masyarakat yang beragama, apapun agama dan keyakinan mereka. Oleh karena itu, bangsa Indonesia menganut Ketuhanan Yang Esa (Tunggal), dengan kata lain, Indonesia tidak mengakui banyak Tuhan, apalagi tidak berTuhan (ateis).
2.        Nilai Kemanusiaan (Moralitas): Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Manusia yang maju peradabannya tentu lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal. Kemanusiaan mengajarkan untuk toleransi dalam keberagaman agama bukan toleransi agama dalam pengakuan Tuhan agama-agama, karena toleransi tidak dapat dipaksakan untuk menyamakan apalagi mengakui Tuhan agama lain dengan segala macam dan bentuk perbedaannya.
3.        Nilai Persatuan Kebangsaan Indonesia: Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian, kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari Sabang sampai Marauke. Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun pandangan dogmatik dan sempit, namun harus menjadi upaya untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif dari dunia luar. Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dalam proses sejarah perjuangan panjang dan terdiri dari bermacam-macam kelompok suku bangsa, namun perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan tetapi justru dijadikan persatuan Indonesia.
4.        Nilai Permusyawaratan dan Perwakilan : Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan dengan orang lain, dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama. Prinsip-prinsip kerakyatan yang menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia, mengerahkan potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan.
5.        Nilai Keadilan Sosial: nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan, keseimbangan,  serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa. Itu semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik, dimana setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata. Hikmah kebijaksanaan adalah kondisi sosial yang menampilkan rakyat berpikir dalam tahap yang lebih tinggi sebagai bangsa, dan membebaskan diri dari belenggu pemikiran berazaskan kelompok dan aliran tertentu yang sempit.
Nilai-nilai itulah yang mendadi karakter dasar bagi Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri untuk membangun negara yang damai dan sejahtera. Nilai-nilai tersebut telah dipalikasikan jauh sebelum Soekarno memproklamirkan Pancasila. Berkat dasar itulah kemerdekaan Indonesia dapat dicapai dengan semangat persatuan dan nasionalisme.
Sedangkan istilah ideologi secara etimologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang berarti Ilmu dan kata idea berasal dari bahasa yunani eidos yang artinya bentuk. Di samping itu ada kata idein yang artinya melihat. Maka secara harfiah, ideologi adalah ilmu atau pengertian-pengertian dasar.
Istilah ideologi sendiri pertama kali dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754–1836), ketika bergejolaknya Revolusi Prancis untuk mendefinisikan sains tentang ide. Jadi dapat disimpulkan secara bahasa, ideologi adalah pengucapan atau pengutaraan terhadap sesuatu yang terumus di dalam pikiran.Dalam tinjauan terminologis, ideology is Manner or content of thinking characteristic of an individual or class (cara hidup/ tingkah laku atau hasil pemikiran yang menunjukan sifat-sifat tertentu dari seorang individu atau suatu kelas).
Ideologi adalah ideas characteristic of a school of thinkers a class of society, a plotitical party or the like (watak/ ciri-ciri hasil pemikiran dari pemikiran suatu kelas di dalam masyarakat atau partai politik atau pun lainnya). Ideologi ternyata memiliki beberapa sifat, yaitu dia harus merupakan pemikiran mendasar dan rasional. Kedua, dari pemikiran mendasar ini dia harus bisa memancarkan sistem untuk mengatur kehidupan. Ketiga, selain kedua hal tadi, dia juga harus memiliki metode praktis bagaimana ideologi tersebut bisa diterapkan, dijaga eksistesinya dan disebarkan.
Sedangkan secara terminologi, menurut Soerjanto Poespowardjojo, ideologi adalah suatu pilihan yang jelas dan membawa komitmen untuk mewujudkannya. Sejalan dengan itu, Sastrapratedja mengemukakan bahwa ideologi memuat orientasi pada tindakan. Ia merupakan pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Persepsi yang menyertai orientasi, pedoman dan komitmen berperan penting sekali dalam mewarnai sikap dan tingkah laku ketika melakukan tindakan, kegiatan atau perbuaan dalam rangka mewujudkan atau merealisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi tersebut. Logikanya, suatu ideologi menuntut kepada mereka yang meyakini kebenarannya untuk memiliki persepsi, sikap dan tingkah laku yang sesuai, wajar dan sehat tentang dirinya, tidak lebih dan tidak kurang. Karena, melalui itulah dapat diharapkan akan lahir dan berkembang sikap dan tingkah laku yang pas dan tepat dalam proses perwujudannya dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ideologi merupakan sumber utama bagi manusia, ideologilah sebagai way of life yang harus dilaksanakan, mengatur hal-hal yang rumit dalam kehidupan bahkan yang tidak tercantum dalam dasar negara. Pancasila hanya mengaturrakyat untuk menjadi warga negara yang baik tidak sampai pada bagaimana cara beriman dan bertaqwa pada Tuhan. Ideologi sebagai pandangan hidup memiliki kompleksitas aturan, baik aturan pada diri, keluarga, masyarakat bahkan bernegara. Pancasila hanya cukup dijadikan sebagai pandangan hidup bernegara itupun masih membutuhkan penafsiran atau diperkuat oleh kitab suci dalam masalah-masalah tertentu yang belum diatur oleh Pancasila. Selain hal tersebut Pancasila bisa berubah dalam waktu tertentu karena aturan yang dibuat dan disepakati adalah buatan manusia. Sedangkan pedoman hidup yang berupa kitab suci langsung dibuat oleh Tuhan, tujuannya pun untuk menambah keimanan dan ketaqwaan serta menyadarkan pada makhluk bahwa dirinya sebagai ciptaan. Jika Pancasila menjadi way of life, hal tersebut hanya berlaku pada rakyat Indonesia dan akan menjadi sangat “rancu” pada masyarakat yang meyakini bahwa al Qur’an sebagai way of life, karena tidak mungkin seseroang memiliki dua pandangan hidup. Namanya padangan hidup tetap satu. Pancasila tidak bisa mengalahkan kitab suci yang telah Tuhan turunkan untuk manusia sebagai pandangan hidupnya dan ada sebelum manusia diciptakan.

D.      Pancasila Sudut Pandang Agama-agama
Pancasila  yang  di  dalamnya  terkandung  dasar filsafat  hubungan  negara  dan  agama  merupakan  karya besar bangsa  Indonesia  melalui The  Founding  Fathers Negara Republik Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara  yang  tertuang  dalam  Pancasila  merupakan  karya khas yang secara  antropologis  merupakan local  genius bangsa  Indonesia. Begitu  pentingnya  memantapkan  kedudukan  Pancasila, maka  Pancasila  pun  mengisyaratkan  bahwa  kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan  menurut  terminologi  Pancasila  adalah  Tuhan  Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama  Islam,  Kristen,  Budha,  Hindu  dan  bahkan  juga Animisme.
Kuatnya faham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak dapat membayangkan  ruang  publik  hampa  Tuhan.  Sejak  dekade 1920-an,  ketika  Indonesia  mulai  dibayangkan  sebagai komunitas  politik  bersama,  mengatasi  komunitas  kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari  Ketuhanan. Secara  lengkap pentingnya  dasar  Ketuhanan  ketika  dirumuskan  oleh founding  fathers negara  kita  dapat  dibaca  pada  pidato  Ir. Soekarno  pada  1  Juni  1945,  ketika  berbicara  mengenai dasar negara (philosophische grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan,  tetapi  masing-masing  orang Indonesia  hendaknya  ber-Tuhan.  Tuhannya sendiri.  Yang  Kristen  menyembah  Tuhan menurut  petunjuk  Isa  Al  Masih,  yang  Islam menurut  petunjuk  Nabi  Muhammad  s.a.w,  orang Budha  menjalankan  ibadatnya  menurut  kitabkitab  yang  ada  padanya.  Tetapi  marilah  kita semuanya  ber-Tuhan.  Hendaknya  negara Indonesia  ialah  negara  yang  tiap-tiap  orangnya dapat  menyembah  Tuhannya  dengan  leluasa. Segenap  rakyat  hendaknya  ber-Tuhan.
Secara kebudayaan yakni dengan tiada “egoisme agama”. Hendaknya  Negara  Indonesia satu  negara yang ber-Tuhan”. Pernyataan ini mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan akan eksistensi agama-agama di Indonesia yang, menurut Ir. Soekarno,  “mendapat tempat yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi negara terhadap  agama,  Ir. Soekarno  menegaskan  bahwa  “negara  kita  akan  berTuhan”. Bahkan dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno mengatakan,  “Hatiku  akan  berpesta  raya,  jikalau  saudarasaudara  menyetujui  bahwa  Indonesia  berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
 Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal 29 UUD 1945. Jelaslah  bahwa  ada  hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan  terus-menerus  mengurus  makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa  dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran  ini  juga  diterima  oleh agama-agama  lain  di Indonesia. Prinsip  ke-Tuhanan  Ir.  Soekarno  itu  didapat  dari -atau sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian  dari para  pemimpin Islam yang berbicara mendahului  Ir. Soekarno  dalam  Badan  Penyelidik  itu,  dikuatkan  dengan keterangan  Mohamad  Roem.  Pemimpin  Masyumi  yang terkenal  ini  menerangkan  bahwa  dalam  Badan  Penyelidik itu  Ir. Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran  para anggota yang berbicara sebelumnya  telah tercakup di dalam  pidatonya  itu,  dan  dengan  sendirinya perhatian  tertuju  kepada  (pidato)  yang  terpenting. Komentar  Roem,  “Pidato  penutup  yang  bersifat menghimpun  pidato-pidato  yang  telah  diucapkansebelumnya”.[14] Prinsip  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  mengandung makna  bahwa  manusia  Indonesia  harus  mengabdi  kepada satu  Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan  mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain yang bisa mempersekutukannya. Dalam  bahasa  formal  yang  telah disepakati  bersama  sebagai  perjanjian  bangsa  sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha  Esa”.  Di  mana  pengertian  arti  kata  Tuhan  adalah sesuatu  yang  kita  taati  perintahnya  dan  kehendaknya.Prinsip  dasar  pengabdian  adalah  tidak  boleh  punya  dua tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi itulah  yang  menjadi  misi  utama  tugas  para  pengemban risalah  untuk  mengajak  manusia  mengabdi  kepada  satu Tuan,  yaitu  Tuhan  Yang  Maha  Esa  .
Pada  saat  kemerdekaan,  sekularisme  dan  pemisahan agama  dari  negara  didefinisikan  melalui  Pancasila.  Ini penting untuk dicatat karena  Pancasila tidak  memasukkan kata  sekularisme  yang  secara  jelas  menyerukan  untuk memisahkan  agama  dan  politik  atau  menegaskan  bahwa negara  harus  tidak  memiliki  agama.  Akan  tetapi,  hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu  agama  pun  sebagai  agama  yang  diistimewakan kedudukannya  oleh  negara  dan  dari  komitmennya terhadap  masyarakat  yang  plural  dan  egaliter.  Namun, dengan  hanya  mengakui  lima  agama  (sekarang  menjadi  6 agama:  Islam,  Kristen  Katolik,  Kristen  Protestan,  Hindu, Budha  dan  Konghucu)  secara  resmi,  negara  Indonesia membatasi  pilihan  identitas  keagamaan  yang  bisa  dimiliki oleh  warga  negara.  Pandangan  yang  dominan  terhadap  Pancasila  sebagai  dasar  negara  Indonesia  secara  jelas menyebutkan  tempat  bagi  orang  yang  menganut  agama tersebut, tetapi tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman  ini  juga  memasukkan  kalangan  sekuler  yang menganut  agama  tersebut,  tapi  tidak  memasukkan kalangan  sekuler  yang  tidak  menganutnya.  Seperti  yang telah  ditelaah  Madjid,  meskipun  Pancasila  berfungsi sebagai  kerangka  yang  mengatur  masyarakat  di  tingkat nasional  maupun  lokal,  sebagai  individu  orang  Indonesia bisa dan bahkan didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama.[15]
Dalam  hubungan  antara  agama  Islam  dan  Pancasila, keduanya  dapat  berjalan  saling  menunjang  dan  saling mengokohkan.  Keduanya  tidak  bertentangan  dan  tidak boleh  dipertentangkan.  Juga  tidak  harus  dipilih  salah  satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya  Kiai  Achamd Siddiq  menyatakan  bahwa  salah satu  hambatan  utama  bagi  proporsionalisasi  ini  berwujud hambatan  psikologis,  yaitu  kecurigaan  dan  kekhawatiran yang  datang  dari  dua  arah. Hubungan  negara  dengan agama  menurut  NKRI  yang  berdasarkan  Pancasila  adalah sebagai berikut :[16]
a.    Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.    Bangsa  Indonesia  adalah  sebagai  bangsa  yang berKetuhanan  yang  Maha  Esa.  Konsekuensinya  setiap warga  memiliki  hak  asasi  untuk  memeluk  dan menjalankan  ibadah  sesuai  dengan  agama  masingmasing.
c.    Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya  manusia  berkedudukan  kodrat  sebagai makhluk Tuhan.
d.   Tidak  ada  tempat  bagi  pertentangan  agama,  golongan agama,  antar  dan  inter  pemeluk  agama  serta  antar pemeluk agama.
e.    Tidak  ada  tempat  bagi  pemaksaan  agama  karena ketakwaan itu bukan hasil peksaan bagi siapapun juga.
f.     Memberikan  toleransi  terhadap  orang  lain  dalam menjalankan agama dalam negara.
g.    Segala  aspek  dalam  melaksanakan  dan menyelenggatakan  negara  harus  sesuai  dengan  nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.
h.    Negara  pada  hakikatnya  adalah  merupakan  “…berkat rahmat Allah yang Maha Esa”.
Berdasarkan kesimpulan Kongres Pancasila, dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa  yang  religius.  Religiusitas  bangsa  Indonesia  ini, secara  filosofis  merupakan  nilai  fundamental  yang meneguhkan  eksistensi  negara  Indonesia  sebagai  negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa  merupakan  dasar  kerohanian  bangsa  dan  menjadi penopang  utama  bagi  persatuan  dan  kesatuan  bangsa dalam  rangka  menjamin  keutuhan  NKRI.  Karena  itu,  agar terjalin hubungan selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila wajib  memberikan  perlindungan  kepada agama-agama  di Indonesia.


E.       Pancasila dan Islam
Negara Indonesia memiliki dasar negara Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama dengan negara. Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila juga bukan negara islam atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu secara eksplisit. Negara Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut.
1.    Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.
2.    Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.
3.    Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.
Keterkaitan hubungan antara rukun Islam sebagai landasan agama Isalam dan Pancasila sebagai landasan negara Indonesia. Adapun hubungan itu yaitu pertama dari segi jumlah, rukun Islam berjumlah lima begitupun pancasila. Kedua, dari segi makna yaitu:[17]
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini kerat aitannya denagn rukun Islam yang pertama yaitu syahadat. Secara umum, sila ini menerangkan tentang ketuhanan begitu pun syahadat yang mempunyai makna pengakuan terhadap tuhan yaitu Allah SWT. Selain itu, kata Esa sendiri berarti tunggal, yang sebagaimana yang kita ketahui bahwa Isalm sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini mempunyai tuhan tunggal Allah SWT.  
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab sila kedua pancasila, berkaitan dengan rukun Islam kedua yaitu Shalat. Shalat dalam Islam selain sebagai ibadah wajib juga dilakukan untuk mendidik manusia menjadi manusia yang beradab. Sholat adalah sebuah media untuk mencegah perbuatan yang tidak terpuji, sebagai mana yang di firmankan oleh Allah bahwa Shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
3.      Persatuan Indonesia yang artinya seluruh elemen rakyat yang ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan adat bersatu dan membentuk kesatuan dalam wadah bangsa Indonesia. Kaitannya dengan itu, persatuan terbentuk ketika jurang pemisah sudah tidak ada lagi di masyarakat. salah satu jurang pemisah yang paling nyata yaitu jurang antara yang miskin dan yang kaya. Untuk menyatukan jurang pemisah tersebut maka di agama Islam diwajibkan membayar zakat bagi orang-orang kaya yang akan disalurkan untuk kepentingan kaum miskin dan duafa. Zakat yang notabennya adalah rukun Islam ketiga sangat erat kaitannya dengan poin pancasila ketiga tersebut. Dengan zakat akan terbentuk rasa kasih sayang pada umat yang akan menghasilkan persatuan yang di cita-citakan.
4.      Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sangat erat kaitannya dengan rukun islam keempat yaitu puasa. Dengan pusas akan terbentuk sifat bijaksana dan kepemimpinan. Ciri orang bijaksana, yaitu ia mampu merasakan dan mempumnyuai rasa kasih sayang sesame, semua itu adalah hikmah dari puasa. Selain itu, dalam menentukan waktu puasa, perlu dilakukan suatu musyawarah yang dikenal dengan siding istbat.
5.      Keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indionesia. Pada rukun Islam, terdapat yang namanya haji. Haji adalah proses sosial yang terbesar di dunia ini, dimana setiap orang datang dari berbagai negara dengan berbagai bahasa dan kebiasaan bergabung menjadi satu dalam satu tempat dan waktu dalam kedudukan yang sama. Di dalalam haji, tidak memandang itu siapa dan siapa, semuanya sama, pakaiannya sama dan peraturan dan hukumnya sama. Semua itu adalah cerminan dari keadilan tuhan.
Pancasila  dan  agama  dapat  diaplikasikan  seiring sejalan  dan  saling  mendukung.  Agama  dapat  mendorong aplikasi  nilai-nilai  Pancasila,  begitu  pula  Pancasila memberikan  ruang  gerak  yang  seluas-luasnya  terhadap usaha-usaha  peningkatan  pemahaman,  penghayatan  dan pengamalan  agama. Abdurrahman  Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak  relevan lagi untuk  melihat  apakah  nilai-nilai  dasar  itu  ditarik  oleh Pancasila  dari  agama-agama  dan kepercayaan  terhadap Tuhan  Yang  Maha  Esa,  karena  ajaran  agama-agama  juga tetap  menjadi  referensi  umum  bagi  Pancasila,  dan  agama-agama  harus  memperhitungkan  eksistensi  Pancasila sebagai  “polisi  lalu  lintas”  yang  akan  menjamin  semua pihak  dapat  menggunakan  jalan  raya  kehidupan  bangsa tanpa terkecuali.
Moral  Pancasila  bersifat  rasional,  objektif  dan universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Moral  Pancasila  juga  dapat  disebut  otonom  karena  nilainilainya  tidak  mendapat  pengaruh  dari  luar  hakikat manusia  Indonesia,  dan  dapat  dipertanggungjawabkan secara  filosofis.  Tidak  dapat  pula  diletakkan  adanya bantuan  dari  nilai-nilai  agama,  adat,  dan  budaya,  karena secara de  facto  nilai-nilai  Pancasila  berasal  dari agama agama  serta  budaya  manusia  Indonesia. Hanya  saja  nilai-nilai  yang  hidup  tersebut  tidak  menentukan  dasar-dasar Pancasila,  tetapi  memberikan  bantuan  dan  memperkuat. [18]Sejalan  dengan  pendapat  tersebut,  Presiden  Susilo Bambang  Yudhoyono  (SBY)  menyatakan  dalam  Sambutan pada  Peringatan  Hari  Kesaktian  Pancasila  pada  1  Oktober 2005.
“Bangsa  kita  adalah  bangsa  yang  relijius;  juga, bangsa  yang  menjunjung  tinggi,  menghormati dan  mengamalkan  ajaran  agama  masing-masing. Karena  itu,  setiap  umat  beragama  hendaknya memahami  falsafah  Pancasila  itu  sejalan  dengan nilai-nilai  ajaran  agamanya  masing-masing. Dengan  demikian,  kita  akan  menempatkan falsafah  negara  di  posisinya  yang  wajar.  Saya berkeyakinan  dengan  sedalam-dalamnya  bahwa lima  sila  di  dalam  Pancasila  itu  selaras  dengan ajaran agama-agama yang hidup dan berkembang di  tanah  air.  Dengan  demikian,  kita  dapat menghindari  adanya  perasaan  kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran agama,  serta  untuk  menerima  Pancasila  sebagai falsafah  negara.[19]
Dengan  penerimaan  Pancasila  oleh  hampir  seluruh kekuatan  bangsa,  sebenarnya  tidak  ada  alasan  lagi  untuk mempertentangkan  nilai-nilai  Pancasila  dengan  agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar ini memerlukan waktu lama, sebuah  pergulatan  sengit  yang  telah  menguras energi  kita  sebagai  bangsa.  Sebagai  buah  dari  pergumulan panjang  itu,  sekarang  secara  teoretik  dari  kelima  nilai Pancasila  tidak  satu  pun  lagi  yang  dianggap  berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa “Ketuhanan Yang Maha Esa”  dikunci oleh  sila  kelima.



[1] Prof.Dr.H. Tukiran Taniredja, dkk. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal.27
[2] Prof.Dr.H. Tukiran Taniredja, dkk. Paradigma Baru Pendidikan ........hal.28
[3] Prof.Dr.Hamid Darmadi, Urgensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 201
[4] Prof.Dr.H. Tukiran Taniredja, dkk. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa, (Bandung: Alfabeta, 2013), hal.32

[5] Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik, Departemen Pertahanan Keamanan Pusat Sejarah ABRI, 1971, hal. 9 dalam Drs. Safiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila, Proklamasi dan Konstitusi, Penerbit Alumni Bandung, 1980, hal 8.
[6] Prof.Dr.H. Tukiran Taniredja, dkk. Paradigma Baru Pendidikan ........hal.34
[7] Dr. Moh. Hatta, Menuju Negara Hukum, Penerbit Yayasan Idayu, Jakarta 1975, hal 8. Dan dalam Drs. Safiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila...... hal. 8.
[8] Drs. Safiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila...... hal. 10

[9] John A. Titaley, Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembukaan UU 1945, diterbitkan oleh Fakultas Teologi UKSW-Salatiga, 1999, hal 2
[10] Proklamasi kemerdekaan Indonesia: kami, bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal  jang mengenai pemindahan kekuasaan,d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnja. Risalah Sidang BPUPKI, PPKI pada 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hal. 408.
[11] Tentang hal ini diakses dari http//ww.rumahkiri.net. pada 10 Agustus 2015
[12] Bahkan menurut Titatey dalam pembukaan UUD 1945, perubahan yang terjadi bukan saja tidak mengikutsertakan tujuh kata, tetapi juga nampak perubahan dengan menggantikan nama kata Allah dengan kata Tuhan. lihat John Titaley, Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, Penerbit: Fakultas Teologi UKSW-Salatiga, 1999. Hal. 4 & 5
[13] Andre Feilard, NU-Vis a Vis Negara, Penerbit LKiS, Yogyakarta, 1999, hal. 40 & 41
[14] Notonagoro.  1980.  Beberapa  Hal  Mengenai  Falsafah  Pancasila  dengan  Kelangsungan Agama, Cet. 8. Jakarta: Pantjoran Tujuh.
[15] Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Agama. Jakarta: PT. Gramedia.
[16] Notonagoro.  Beberapa  Hal  Mengenai.......
[17] Notonagoro.  Beberapa  Hal  Mengenai.......
[18] Notonagoro.  Beberapa  Hal  Mengenai.......
[19] Nopirin.  1980.  Beberapa  Hal  Mengenai  Falsafah  Pancasila,  Cet.  9.  Jakarta: Pancoran Tujuh.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini