PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
Oleh. Akhmad
Hasan Saleh
Pembahasan
perjuangan bangsa Indonesia untuk merumuskan dasar negara dilalui dengan darah,
nyawa, tenaga dan fikiran. Dalam bab ini dibahas secara singkat perjuangan
rakyat dan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah, perjuangan merumuskan
pancasila dan pancasila sebagai dasar negara.
A.
Perjuangan Masa Kebangkitan Nasional
Perjuangan
melawan penjajah dari eropa (Portugis, Belanda, Inggris) yang telah berkuasa
tiga setengah abad menjadikan bangsa Indonesia semakin terpuruk. Perjuangan rakyat
tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga berjuang melalui jalur lain yaitu
pemikiran dengan terbentuknya organisasi sosial poitik dan keagamaan, misalkan:
Boedi Oetomo (20 Mei 1908), Sarekat Islam (1912), Indische Partij (1912), dan
beberapa pergerakan kepemudaan lainnya.[1]
Untuk menyatukan suara dalam perjuangan bangsa dilakukan kongres pemuda I tahun
1926. Pada tanggal 27-28 Oktober 1928 dilaksanakan kongres pemuda II yang
menghasilkan “Putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia”. Perjuangan rakyat untuk
membangun negara bebas dari penjajahan hanya janji bohong Belanda yang tak
pernah menjadi kenyataan.[2]
Penderitaan
rakyat dan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai pada penjajahan Belanda,
dilanjutkan dengan penjajahan Jepang yang sangat kejam terhadap rakyat selama
tiga setengah tahun. Bulan Maret 1942 pemerintah Belanda menyerah tanpa syarat.
Fasis Jepang masuk Indonesia dengan propaganda “Jepang pemimpin Asia, Jepang
saudara tua bangsa”. Akan tetapi dalam perang melawan sekutu-sekutu Barat yaitu
(Amerika, Inggris, Rusia, Prancis, Belanda dan negara Sekutu lainnya) nampaknya
Jepang semakin terdesak.[3]
Oleh karena itu, agar mendapat dukungan dari bangsa Indonesia, maka
pemerintahan jepang bersikap bermurah hati terhadap bangsa Indonesia, yaitu
menjajikan Indonesia merdeka dikemudian hari dalam lingkungan kemakmuran
bersama Asia Timur Raya, apabila perang dunia II berakhir dan kemenangan dipihak
Jepang. Janji tersebut diucapkan oleh Perdana Menteri jepang Jendral Kaiso pada
7 September 1944 di depan sidang Istimewa Dewan perwakilan Rakyat Jepang (Toikuhu
Gikai).[4]
Tepat
pada tanggal 29 April 1945, Seikoo Sikikan memenuhi janjinya dengan
membentuk Dokuritzu Zyumbi Tyoosakai atau Badan Penyelidikan Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 63 orang, yang
terdiri dari Ketua/Kaicoo: Dr.KRT. Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Muda/Fuku
Kaicoo: Ingbangase (orang Jepang), dan seorang ketua muda dari bangsa
Indonesia: RP. Soeroso.
B.
Perjuangan Merumuskan Pancasila
Sidang
pertama BPUPKI berlangsung mulai 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Pada sidang
BPUPKI I ini muncul beberapa tokoh yang menyampaikan usulan yang berupa gagasan
dasar Indonesia merdeka. Salah satu usulan Muhammad Yamin saat berpidato
tanggal 29 Mei 1945 di sidang BPUPKI I, secara berurutan yaitu 1. Peri
Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3.Peri Ketuhanan; 4. peri Kerakyatan (A.
Permusyawaratan, B. Perwakilan, C. Kebijaksanaan); 5. Kesejahteraan Rakyat
(Keadilan Sosial).
Pada sidang hari kedua tampil tokoh Islam
seperti K.H. Wahid hasyim, Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Kahar Muzakir, mereka
mnusulkan agar dasar negara yang disepakati nantinya adalah dasar Islam, mengingat
bahwa sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam. Bunyi usulan tersebut
adalah 1.Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya; 2. (menurut dasar) Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan; 5. (serta dengan mewujudkan suatu)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[5]
Namun
bung Hatta mengusulkan agar dibentuk negara Persatuan Nasional, yang memisahkan
urusan negara dengan urusan agama. Usulan tersebut juga disetujui oleh Supomo
yang juga ikut memberikan pidat, karena menurutnya tidak sesuai dengan
cita-cita negara persatuan yang diidam-idamkan, juga yang telah dianjurkan oleh
pemerintah balatentara Jepang.[6]
Menurut Mohammad Hatta “Pancasila lahir pada
tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, sebagai intisari pidato bung Karno
yang diucapkan sebagai jawaban atas pertanyaan ketua badan tersebut, yaitu Dr.
Radjiman Widiodiningrat. Pertanyaan tersebut adalah negara Indonesia merdeka
yang akan kita bentuk apa dasarnya?”[7] pernah
ada usulan untuk namanya panca dharma, tetapi dengan tegas Bung Karno
menyatakan bahwa pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas dasar
itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.[8]
Pidato inilah yang memacu Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk membentuk lagi suatu
panitia kecil yang terdiri dari sembilan (9) orang untuk mengembangkan berbagai
usulan yang masuk mengenai kemerdekaan Indonesia. Kesembilan orang itu
diantaranya: Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno
Tjokrosujoso (dari golongan Islam); Soekarno, Moh. Hatta, Muhammad Yamin,
Maramis, dan Subardjo (dari golongan nasionalis). Alasan mendasar dibentuknya
tim 9 yang diketuai oleh Soekarno itu adalah karena terjadi perbedaan pendapat
mengenai bahkan menimbulkan dua kubu atau faksi yang tetap bersitegang untuk
menginginkan prinsip kebangsaan sebagai dasar negara. Perbedaan ini bermuara
pada cara pandang dalam memposisikan hubungan negara dan agama. Menurut Prof.
Ahmad Syafii Maarif, dari 68 orang anggota BPUPKI, hanya 15 orang saja yang
benar-benar bisa mewakili aspirasi politik dan ideologi umat Islam. Anggota
BPUPKI diluar 15 orang itu dikatakan bersepakat untuk menolak Islam dijadikan
sebagai dasar negara Indonesia. Kebuntuan inilah yang sebetulnya melahirkan
panitian sembilan (tim 9) untuk mencari solusi soal dasar negara.
Pekerjaan panitia kecil inilah tersusun suatu
naskah pembukaan yang dikenal sebagai gentlement agreement diantara para
pendukung paham nasionalisme dan pendukung Islam. Kesepakatan inilah yang oleh
Moh. Yamin disebut sebagai Djakarta Charter yang selanjutanya
naskah tersebut dikenal sebagai Piagam Jakarta.[9] Isi
Piagam Jakarta adalah sebagai berikut:
Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan
perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Atas
berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan
ini menyatakan kemerdekaannya.
Kemudian
dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu hukum dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar pada: Ke-Tuhanan,
dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.[10]
Sebetulnya perdebatan seputar dasar negara
Indonesia yang merdeka itu, baik dalam BPUPKI maupun tim 9 bukan mengenai nama
dasar negaranya, sebab sudah disepakati bersama adalah pancasila.
Tetapi perdebatan justru terkait pada isi sila-silanya. Perdebatan tersebut
justru ditimbulkan oleh perbedaan pendapat dari golongan yang menginginkan agar
kelak negara Indonesia adalah negara Islam, tetapi disanggah oleh anggota lain
yang berpaham nasionalisme.
Perbedaan ini justru mendapat titik temu lewat
rancangan Pembukaan Hukum Dasar (preambule hukum dasar) yang kemudian
dilaporkan hasil kerjanya dan diterima secara aklamasi dalam sidang BPUPKI pada
tanggal 10 Juli 1945. Kemudian pada tanggal 22 Juli 1945 ditetapkan sebagai
hari terbentuknya Piagam Jakarta. Adapun naskah Piagam Jakarta yang termuat di
UUD 1945 sebagaimana yang telah diusulkan oleh tokoh islam diatas.
Sejak penetapannya telah disepakati oleh kelompok
Islam dan kelompok kebangsaan bahwa negara pancasila bukanlah negara agama,
juga bukan negara anti-agama, melainkan negara ketuhanan yang memelihara budi
pekerti, kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat.
Golongan Islam awalnya menolak, tidak senang dengan usul membangun Indonesia
merdeka atas dasar pancasila, tetapi akhirnya dapat menerimanya. Mereka menolak
negara anti agama, tetapi dapat menerima negara pancasila yang berketuhanan,
sedangkan golongan kebangsaan negara agama, tidak dapat menerima negara
ketuhanan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta
didatangi oleh seorang perwira angkatan laut yang mengaku membawa aspirasi
masyarakat Indonesia bagian timur (yang mayoritas Kristen dan katolik) yang
keberatan dengan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” selanjutnya dikatakan bahwa jika tidak dipertimbangkan
kembali, maka Indonesia bagian Timur tidak akan mau bergabung dengan negara
Indonesia. Sebetulnya desakan demikian pernah disampaikan oleh salah seorang
tokoh dari Maluku yaitu Mr. Latuharhary yang memprotes Piagam Jakarta dalam
sidang BPUPKI. Bahkan Soekarno dan Wachid Hasyim membela Piagam Jakarta.
Termasuk Ki Bagus Hadikusumo pun bersikeras untuk mempertahankan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta itu. Namun berkat upaya dari Kusman Singodimedjo yang mendekati
wakil-wakil Islam sajalah akhirnya kelompok Islam bisa menerima dihapusnya
tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.[11]
Setelah Soekarno membacakan pidatonya sekaligus
menyatakan kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945 maka perlu dilengkapi
dengan kepala negara/pemerintahan dan undang-undang dasar. Untuk itulah pada
tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkannya undang-undang dasar negara Indonesia yang
pembukaannya memuat pancasila dengan rumusan sebagai berikut:
1. Ketuhanan
yang Maha Esa
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dengan ditetapkannya Pancasila dengan rumusan
demikian seakan perdebatan mengenai dasar konstitusi negara terasa final.
Adapun beberapa pertimbangan yang dapat dikemukakan menyangkut rumusan
Pancasila dalam UUD 1945 dengan tidak menyertakan tujuah kata (dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya),[12] adalah: Pertama:
situasi politik dan keamanan dalam revolusi memang memerlukan persatuan dan
kesatuan bangsa; Kedua: sebagai golongan minoritas
mereka memang dapat melakukan politik ofensif bahkan disertasi dengan tekanan
politik (chantage) seolah-ola ditindas oleh golongan minoritas; Ketiga:
sebagai golongan yang paling berkepentingan tergalangnya persatuan dan kesatuan
dalam menghadapi Belanda yang masih mempunyai kaki tangan di mana-mana, para
pemimpin Islam dan nasionalis memenuhi tuntutan mereka. Dengan pengertian bahwa
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya akan dapat
ditampung dalam melaksanakan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 secara jujur yaitu ayat
yang berbunyi “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya”.[13]
C.
Pancasila Sebagai Dasar Negara Bukan Ideologi
Pancasila sebagai dasar
yang dimaksud adalah Pancasila sebagai ide awal atau yang mendasari
terbentuknya sebuah negara kesatuan yang memiliki jiwa nasionalisme yang
berbhineka tunggak ika. Dimana aturan-aturan atau perundang-undangannya
berdasarkan pada isi dari Pancasila yang telah dirumuskan bersama oleh tim
sembilan.
Istilah dasar
negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang
mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa
senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa.
Pancasila memiliki nilai-nilai kepribadian yang lahir dari kepribadian bangsa
Indonesia, antara lain:
1.
Nilai
Religius (Ketuhanan): Nilai religius adalah nilai yang berkaitan
dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan
sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup
adalah mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat
Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam
setiap perbuatan baik yang dilakukannya. Dari sudut pandang etis keagamaan,
negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah negara yang menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut
agama dan kepercayaan masing-masing. Dari dasar ini pula, bahwa suatu keharusan
bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan,
dan masyarakat yang beragama, apapun agama dan keyakinan mereka. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia menganut Ketuhanan Yang Esa (Tunggal), dengan kata lain,
Indonesia tidak mengakui banyak Tuhan, apalagi tidak berTuhan (ateis).
2.
Nilai Kemanusiaan (Moralitas):
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang
keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab setiap manusia mempunyai potensi
untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Manusia yang maju
peradabannya tentu lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, lebih mungkin
untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan
mengenal hukum universal. Kemanusiaan mengajarkan untuk toleransi dalam
keberagaman agama bukan toleransi agama dalam pengakuan Tuhan agama-agama,
karena toleransi tidak dapat dipaksakan untuk menyamakan apalagi mengakui Tuhan
agama lain dengan segala macam dan bentuk perbedaannya.
3.
Nilai Persatuan Kebangsaan Indonesia: Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian,
kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa.
Bangsa Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa
dari Sabang sampai Marauke. Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun
pandangan dogmatik dan sempit, namun harus menjadi upaya untuk melihat diri
sendiri secara lebih objektif dari dunia luar. Negara Kesatuan Republik Indonesia
terbentuk dalam proses sejarah perjuangan panjang dan terdiri dari
bermacam-macam kelompok suku bangsa, namun perbedaan tersebut tidak untuk
dipertentangkan tetapi justru dijadikan persatuan Indonesia.
4.
Nilai Permusyawaratan dan Perwakilan : Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan
dengan orang lain, dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling
menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama.
Prinsip-prinsip kerakyatan yang menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan
bangsa Indonesia, mengerahkan potensi mereka dalam dunia modern, yakni
kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada
dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan.
5.
Nilai Keadilan Sosial:
nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan,
keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan
berbangsa. Itu semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara
organik, dimana setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh
dan berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya. Segala usaha
diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas
rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata. Hikmah kebijaksanaan
adalah kondisi sosial yang menampilkan rakyat berpikir dalam tahap yang lebih
tinggi sebagai bangsa, dan membebaskan diri dari belenggu pemikiran berazaskan
kelompok dan aliran tertentu yang sempit.
Nilai-nilai
itulah yang mendadi karakter dasar bagi Indonesia yang digali dari kepribadian
bangsa Indonesia sendiri untuk membangun negara yang damai dan sejahtera.
Nilai-nilai tersebut telah dipalikasikan jauh sebelum Soekarno memproklamirkan
Pancasila. Berkat dasar itulah kemerdekaan Indonesia dapat dicapai dengan
semangat persatuan dan nasionalisme.
Sedangkan
istilah ideologi secara etimologi berasal dari kata idea yang berarti gagasan,
konsep, pengertian dasar, cita-cita, dan logos yang berarti Ilmu
dan kata idea berasal dari bahasa yunani eidos yang artinya bentuk.
Di samping itu ada kata idein yang artinya melihat. Maka secara harfiah,
ideologi adalah ilmu atau pengertian-pengertian dasar.
Istilah ideologi sendiri pertama kali
dilontarkan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754–1836), ketika bergejolaknya
Revolusi Prancis untuk mendefinisikan sains tentang ide. Jadi dapat disimpulkan
secara bahasa, ideologi adalah pengucapan atau pengutaraan terhadap sesuatu
yang terumus di dalam pikiran.Dalam tinjauan terminologis, ideology is Manner
or content of thinking characteristic of an individual or class (cara hidup/
tingkah laku atau hasil pemikiran yang menunjukan sifat-sifat tertentu dari
seorang individu atau suatu kelas).
Ideologi adalah ideas characteristic of a
school of thinkers a class of society, a plotitical party or the like
(watak/ ciri-ciri hasil pemikiran dari pemikiran suatu kelas di dalam
masyarakat atau partai politik atau pun lainnya). Ideologi ternyata memiliki
beberapa sifat, yaitu dia harus merupakan pemikiran mendasar dan rasional.
Kedua, dari pemikiran mendasar ini dia harus bisa memancarkan sistem untuk
mengatur kehidupan. Ketiga, selain kedua hal tadi, dia juga harus memiliki
metode praktis bagaimana ideologi tersebut bisa diterapkan, dijaga eksistesinya
dan disebarkan.
Sedangkan secara terminologi, menurut Soerjanto Poespowardjojo, ideologi
adalah suatu pilihan yang jelas dan membawa komitmen untuk mewujudkannya. Sejalan dengan itu, Sastrapratedja mengemukakan bahwa
ideologi memuat orientasi pada tindakan. Ia merupakan pedoman kegiatan untuk
mewujudkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Persepsi yang menyertai orientasi, pedoman dan komitmen berperan penting
sekali dalam mewarnai sikap dan tingkah laku ketika melakukan tindakan,
kegiatan atau perbuaan dalam rangka mewujudkan atau merealisasikan nilai-nilai
yang terkandung di dalam ideologi tersebut. Logikanya, suatu ideologi menuntut
kepada mereka yang meyakini kebenarannya untuk memiliki persepsi, sikap dan
tingkah laku yang sesuai, wajar dan sehat tentang dirinya, tidak lebih dan
tidak kurang. Karena, melalui itulah dapat diharapkan akan lahir dan berkembang
sikap dan tingkah laku yang pas dan tepat dalam proses perwujudannya dalam
berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ideologi merupakan sumber utama bagi manusia, ideologilah sebagai way of
life yang harus dilaksanakan, mengatur hal-hal yang rumit dalam kehidupan
bahkan yang tidak tercantum dalam dasar negara. Pancasila hanya mengaturrakyat
untuk menjadi warga negara yang baik tidak sampai pada bagaimana cara beriman
dan bertaqwa pada Tuhan. Ideologi sebagai pandangan hidup memiliki kompleksitas
aturan, baik aturan pada diri, keluarga, masyarakat bahkan bernegara. Pancasila
hanya cukup dijadikan sebagai pandangan hidup bernegara itupun masih
membutuhkan penafsiran atau diperkuat oleh kitab suci dalam masalah-masalah
tertentu yang belum diatur oleh Pancasila. Selain hal tersebut Pancasila bisa
berubah dalam waktu tertentu karena aturan yang dibuat dan disepakati adalah
buatan manusia. Sedangkan pedoman hidup yang berupa kitab suci langsung dibuat
oleh Tuhan, tujuannya pun untuk menambah keimanan dan ketaqwaan serta
menyadarkan pada makhluk bahwa dirinya sebagai ciptaan. Jika Pancasila menjadi way
of life, hal tersebut hanya berlaku pada rakyat Indonesia dan akan menjadi
sangat “rancu” pada masyarakat yang meyakini bahwa al Qur’an sebagai way of
life, karena tidak mungkin seseroang memiliki dua pandangan hidup. Namanya
padangan hidup tetap satu. Pancasila tidak bisa mengalahkan kitab suci yang
telah Tuhan turunkan untuk manusia sebagai pandangan hidupnya dan ada sebelum
manusia diciptakan.
D.
Pancasila Sudut Pandang Agama-agama
Pancasila yang
di dalamnya terkandung
dasar filsafat hubungan negara
dan agama merupakan
karya besar bangsa Indonesia melalui The
Founding Fathers Negara Republik
Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara
yang tertuang dalam
Pancasila merupakan karya khas yang secara antropologis
merupakan local genius bangsa Indonesia. Begitu pentingnya
memantapkan kedudukan Pancasila, maka Pancasila
pun mengisyaratkan bahwa
kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama.
Tuhan menurut terminologi
Pancasila adalah Tuhan
Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama Islam,
Kristen, Budha, Hindu
dan bahkan juga Animisme.
Kuatnya faham keagamaan dalam
formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak dapat
membayangkan ruang publik
hampa Tuhan. Sejak
dekade 1920-an, ketika Indonesia
mulai dibayangkan sebagai komunitas politik
bersama, mengatasi komunitas
kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas
dari Ketuhanan. Secara lengkap pentingnya dasar
Ketuhanan ketika dirumuskan
oleh founding fathers
negara kita dapat
dibaca pada pidato
Ir. Soekarno pada 1
Juni 1945, ketika
berbicara mengenai dasar negara (philosophische
grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia
ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.
Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk
Isa Al Masih,
yang Islam menurut petunjuk
Nabi Muhammad s.a.w,
orang Budha menjalankan ibadatnya
menurut kitabkitab yang
ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Hendaknya negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan.
Secara kebudayaan yakni dengan tiada
“egoisme agama”. Hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan”. Pernyataan ini
mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan akan eksistensi agama-agama di
Indonesia yang, menurut Ir. Soekarno,
“mendapat tempat yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi negara terhadap agama,
Ir. Soekarno menegaskan bahwa
“negara kita akan
berTuhan”. Bahkan dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno
mengatakan, “Hatiku akan
berpesta raya, jikalau
saudarasaudara menyetujui bahwa
Indonesia berasaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal
29 UUD 1945. Jelaslah bahwa ada
hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan
ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila
yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu (meskipun istilah prima causa
tidak selalu tepat, sebab Tuhan
terus-menerus mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran
tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al,
dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa
dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini
juga diterima oleh agama-agama lain
di Indonesia. Prinsip
ke-Tuhanan Ir. Soekarno
itu didapat dari -atau sekurang-kurangnya diilhami oleh
uraian-uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Ir. Soekarno
dalam Badan Penyelidik
itu, dikuatkan dengan keterangan Mohamad
Roem. Pemimpin Masyumi
yang terkenal ini menerangkan
bahwa dalam Badan
Penyelidik itu Ir. Soekarno
merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa
pikiranpikiran para anggota yang berbicara
sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya
itu, dan dengan
sendirinya perhatian tertuju kepada
(pidato) yang terpenting. Komentar Roem,
“Pidato penutup yang
bersifat menghimpun
pidato-pidato yang telah
diucapkansebelumnya”.[14]
Prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa mengandung makna bahwa
manusia Indonesia harus
mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau Tuhan-Tuhan lain
yang bisa mempersekutukannya. Dalam
bahasa formal yang
telah disepakati bersama sebagai
perjanjian bangsa sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan
selain Tuhan Yang Maha Esa”. Di mana
pengertian arti kata
Tuhan adalah sesuatu yang
kita taati perintahnya
dan kehendaknya.Prinsip dasar
pengabdian adalah tidak
boleh punya dua tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa. Jadi itulah yang menjadi
misi utama tugas
para pengemban risalah untuk
mengajak manusia mengabdi
kepada satu Tuan, yaitu
Tuhan Yang Maha
Esa .
Pada
saat kemerdekaan, sekularisme
dan pemisahan agama dari
negara didefinisikan melalui
Pancasila. Ini penting untuk dicatat
karena Pancasila tidak memasukkan kata sekularisme
yang secara jelas
menyerukan untuk memisahkan agama
dan politik atau
menegaskan bahwa negara harus
tidak memiliki agama.
Akan tetapi, hal-hal tersebut terlihat dari fakta bahwa
Pancasila tidak mengakui satu agama pun
sebagai agama yang
diistimewakan kedudukannya
oleh negara dan
dari komitmennya terhadap masyarakat
yang plural dan
egaliter. Namun, dengan hanya
mengakui lima agama
(sekarang menjadi 6 agama:
Islam, Kristen Katolik,
Kristen Protestan, Hindu, Budha
dan Konghucu) secara
resmi, negara Indonesia membatasi pilihan
identitas keagamaan yang
bisa dimiliki oleh warga
negara. Pandangan yang
dominan terhadap Pancasila
sebagai dasar negara
Indonesia secara jelas menyebutkan tempat
bagi orang yang
menganut agama tersebut, tetapi
tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman ini
juga memasukkan kalangan
sekuler yang menganut agama
tersebut, tapi tidak
memasukkan kalangan sekuler yang
tidak menganutnya. Seperti
yang telah ditelaah Madjid,
meskipun Pancasila berfungsi sebagai kerangka
yang mengatur masyarakat
di tingkat nasional maupun
lokal, sebagai individu
orang Indonesia bisa dan bahkan
didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama.[15]
Dalam hubungan
antara agama Islam
dan Pancasila, keduanya dapat
berjalan saling menunjang
dan saling mengokohkan. Keduanya
tidak bertentangan dan
tidak boleh dipertentangkan. Juga
tidak harus dipilih
salah satu dengan sekaligus
membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiai
Achamd Siddiq menyatakan bahwa
salah satu hambatan utama
bagi proporsionalisasi ini
berwujud hambatan
psikologis, yaitu kecurigaan
dan kekhawatiran yang datang
dari dua arah. Hubungan negara
dengan agama menurut NKRI
yang berdasarkan Pancasila
adalah sebagai berikut :[16]
a.
Negara adalah berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.
b.
Bangsa Indonesia
adalah sebagai bangsa
yang berKetuhanan yang Maha
Esa. Konsekuensinya setiap warga
memiliki hak asasi
untuk memeluk dan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama
masingmasing.
c.
Tidak ada tempat bagi atheisme dan
sekularisme karena hakikatnya
manusia berkedudukan kodrat
sebagai makhluk Tuhan.
d.
Tidak ada
tempat bagi pertentangan
agama, golongan agama, antar
dan inter pemeluk
agama serta antar pemeluk agama.
e.
Tidak ada
tempat bagi pemaksaan
agama karena ketakwaan itu bukan
hasil peksaan bagi siapapun juga.
f.
Memberikan toleransi
terhadap orang lain
dalam menjalankan agama dalam negara.
g.
Segala aspek
dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara
harus sesuai dengan
nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif
maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.
h.
Negara pada
hakikatnya adalah merupakan
“…berkat rahmat Allah yang Maha Esa”.
Berdasarkan kesimpulan Kongres
Pancasila, dijelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
religius. Religiusitas bangsa
Indonesia ini, secara filosofis
merupakan nilai fundamental
yang meneguhkan eksistensi negara
Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar
kerohanian bangsa dan
menjadi penopang utama bagi
persatuan dan kesatuan
bangsa dalam rangka menjamin
keutuhan NKRI. Karena
itu, agar terjalin hubungan
selaras dan harmonis antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar
Negara Pancasila wajib memberikan perlindungan
kepada agama-agama di Indonesia.
E. Pancasila dan Islam
Negara Indonesia
memiliki dasar negara Pancasila. Negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila
bukanlah negara sekuler atau negara yang memisahkan antara agama dengan negara.
Di sudut lain negara kebangsaan Indonesia yang berPancasila juga bukan negara
islam atau negara yang berdasarkan atas agama tertentu secara eksplisit. Negara
Pancasila pada hakekatnya adalah negara kebangsaan yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
Beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan keselarasan Pancasila dengan
ajaran Islam adalah sebagaimana uraian berikut.
1. Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama.
2. Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam.
3. Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.
Keterkaitan
hubungan antara rukun Islam sebagai landasan agama Isalam dan Pancasila sebagai
landasan negara Indonesia. Adapun hubungan itu yaitu pertama dari segi jumlah,
rukun Islam berjumlah lima begitupun pancasila. Kedua, dari segi makna yaitu:[17]
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini
kerat aitannya denagn rukun Islam yang pertama yaitu syahadat. Secara umum,
sila ini menerangkan tentang ketuhanan begitu pun syahadat yang mempunyai makna
pengakuan terhadap tuhan yaitu Allah SWT. Selain itu, kata Esa sendiri berarti
tunggal, yang sebagaimana yang kita ketahui bahwa Isalm sebagai agama mayoritas
penduduk negeri ini mempunyai tuhan tunggal Allah SWT.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
sila kedua pancasila, berkaitan dengan rukun Islam kedua yaitu Shalat. Shalat
dalam Islam selain sebagai ibadah wajib juga dilakukan untuk mendidik manusia
menjadi manusia yang beradab. Sholat adalah sebuah media untuk mencegah
perbuatan yang tidak terpuji, sebagai mana yang di firmankan oleh Allah bahwa Shalat
itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
3.
Persatuan Indonesia yang artinya
seluruh elemen rakyat yang ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam
suku dan adat bersatu dan membentuk kesatuan dalam wadah bangsa Indonesia.
Kaitannya dengan itu, persatuan terbentuk ketika jurang pemisah sudah tidak ada
lagi di masyarakat. salah satu jurang pemisah yang paling nyata yaitu jurang
antara yang miskin dan yang kaya. Untuk menyatukan jurang pemisah tersebut maka
di agama Islam diwajibkan membayar zakat bagi orang-orang kaya yang akan
disalurkan untuk kepentingan kaum miskin dan duafa. Zakat yang notabennya
adalah rukun Islam ketiga sangat erat kaitannya dengan poin pancasila ketiga
tersebut. Dengan zakat akan terbentuk rasa kasih sayang pada umat yang akan
menghasilkan persatuan yang di cita-citakan.
4.
Kerakyatan yang di pimpin oleh
hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sangat erat kaitannya
dengan rukun islam keempat yaitu puasa. Dengan pusas akan terbentuk sifat
bijaksana dan kepemimpinan. Ciri orang bijaksana, yaitu ia mampu merasakan dan
mempumnyuai rasa kasih sayang sesame, semua itu adalah hikmah dari puasa.
Selain itu, dalam menentukan waktu puasa, perlu dilakukan suatu musyawarah yang
dikenal dengan siding istbat.
5.
Keadialan sosial bagi seluruh rakyat
Indionesia. Pada rukun Islam, terdapat yang namanya haji. Haji adalah proses
sosial yang terbesar di dunia ini, dimana setiap orang datang dari berbagai negara
dengan berbagai bahasa dan kebiasaan bergabung menjadi satu dalam satu tempat
dan waktu dalam kedudukan yang sama. Di dalalam haji, tidak memandang itu siapa
dan siapa, semuanya sama, pakaiannya sama dan peraturan dan hukumnya sama.
Semua itu adalah cerminan dari keadilan tuhan.
Pancasila dan
agama dapat diaplikasikan
seiring sejalan dan saling
mendukung. Agama dapat
mendorong aplikasi
nilai-nilai Pancasila, begitu
pula Pancasila memberikan ruang
gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan
pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah
tidak relevan lagi untuk melihat
apakah nilai-nilai dasar
itu ditarik oleh Pancasila dari
agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, karena
ajaran agama-agama juga tetap
menjadi referensi umum
bagi Pancasila, dan
agama-agama harus memperhitungkan eksistensi
Pancasila sebagai “polisi lalu
lintas” yang akan
menjamin semua pihak dapat
menggunakan jalan raya
kehidupan bangsa tanpa
terkecuali.
Moral Pancasila
bersifat rasional, objektif
dan universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.
Moral Pancasila juga
dapat disebut otonom
karena nilainilainya tidak
mendapat pengaruh dari
luar hakikat manusia Indonesia,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis.
Tidak dapat pula
diletakkan adanya bantuan dari
nilai-nilai agama, adat,
dan budaya, karena secara de facto
nilai-nilai Pancasila berasal
dari agama agama serta budaya
manusia Indonesia. Hanya saja
nilai-nilai yang hidup
tersebut tidak menentukan
dasar-dasar Pancasila,
tetapi memberikan bantuan dan
memperkuat. [18]Sejalan dengan
pendapat tersebut, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) menyatakan
dalam Sambutan pada Peringatan
Hari Kesaktian Pancasila
pada 1 Oktober 2005.
“Bangsa kita
adalah bangsa yang
relijius; juga, bangsa yang
menjunjung tinggi, menghormati dan mengamalkan
ajaran agama masing-masing. Karena itu,
setiap umat beragama
hendaknya memahami falsafah Pancasila
itu sejalan dengan nilai-nilai ajaran
agamanya masing-masing. Dengan demikian,
kita akan menempatkan falsafah negara
di posisinya yang
wajar. Saya berkeyakinan dengan
sedalam-dalamnya bahwa lima sila
di dalam Pancasila
itu selaras dengan ajaran agama-agama yang hidup dan
berkembang di tanah air.
Dengan demikian, kita
dapat menghindari adanya perasaan
kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta
untuk menerima Pancasila
sebagai falsafah negara.[19]
Dengan penerimaan
Pancasila oleh hampir
seluruh kekuatan bangsa, sebenarnya
tidak ada alasan
lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai
Pancasila dengan agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar
ini memerlukan waktu lama, sebuah
pergulatan sengit yang
telah menguras energi kita
sebagai bangsa. Sebagai
buah dari pergumulan panjang itu,
sekarang secara teoretik
dari kelima nilai Pancasila tidak
satu pun lagi
yang dianggap berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci oleh sila
kelima.
[1]
Prof.Dr.H.
Tukiran Taniredja, dkk. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa,
(Bandung: Alfabeta, 2013), hal.27
[3]
Prof.Dr.Hamid Darmadi, Urgensi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, (Bandung:
Alfabeta, 2013), hal. 201
[4]
Prof.Dr.H.
Tukiran Taniredja, dkk. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila untuk Mahasiswa,
(Bandung: Alfabeta, 2013), hal.32
[5]
Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi yang Otentik dan
Rumusan Pancasila yang Otentik, Departemen Pertahanan Keamanan
Pusat Sejarah ABRI, 1971, hal. 9 dalam Drs. Safiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila, Proklamasi dan Konstitusi, Penerbit
Alumni Bandung, 1980, hal 8.
[6]
Prof.Dr.H.
Tukiran Taniredja, dkk. Paradigma Baru Pendidikan ........hal.34
[7]
Dr. Moh. Hatta, Menuju Negara Hukum, Penerbit
Yayasan Idayu, Jakarta 1975, hal 8. Dan dalam Drs. Safiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila...... hal. 8.
[8]
Drs. Safiyudin Sastrawijaya, Sekitar Pancasila...... hal. 10
[9]
John A. Titaley, Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
pembukaan UU 1945, diterbitkan oleh Fakultas Teologi UKSW-Salatiga,
1999, hal 2
[10]
Proklamasi kemerdekaan Indonesia: kami, bangsa Indonesia dengan ini menjatakan
kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan,d.l.l.,
diselenggarakan dengan tjara saksama, dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnja. Risalah Sidang BPUPKI, PPKI pada 28 Mei 1945-22 Agustus
1945, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hal. 408.
[11]
Tentang hal ini diakses dari http//ww.rumahkiri.net.
pada 10 Agustus 2015
[12]
Bahkan menurut Titatey dalam pembukaan UUD 1945, perubahan yang terjadi bukan
saja tidak mengikutsertakan tujuh kata, tetapi juga nampak perubahan dengan
menggantikan nama kata Allah dengan kata Tuhan. lihat John Titaley, Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, Penerbit:
Fakultas Teologi UKSW-Salatiga, 1999. Hal. 4 & 5
[13]
Andre Feilard, NU-Vis a Vis Negara, Penerbit LKiS,
Yogyakarta, 1999, hal. 40 & 41
[14]
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal
Mengenai Falsafah Pancasila
dengan Kelangsungan Agama,
Cet. 8. Jakarta: Pantjoran Tujuh.
[15]
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Agama.
Jakarta: PT. Gramedia.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih telah membuka blog ini