Selasa, 26 Januari 2016

HAKIKAT MANUSIA DAN INDERA SPIRITUAL





HAKIKAT MANUSIA DAN INDERA SPIRITUAL
Oleh. Akhmad Hasan Saleh

“Kasihan manusia telah puas dengan makanan yang dimaksudkan untuk keledai”
(Jalaluddin Rumi – dalam Fih-i-Mafih)

Barat memandang manusia tak ubahnya seperti kera berjalan (homo sapien) sebagaimana teori evolusi Darwin. Walau sudah banyak yang melakukan kritisasi terhadap teori yang banyak melahirkan kontroversi terhadap para ilmuwan Barat. Berbeda dengan ilmuwan muslim dalam memandang manusia. Teori penciptaan manusia dalam Islam telah memberikan fakta ilmiah dalam dunia kedokteran dan psikologi.
Sehingga, ketika teori Darwin menjadi pembenaran atas penciptaan manusia, maka perkataan Rumi diatas yang dimaksud dengan “….makanan yang dimaksudkan untuk keledai”[1] adalah bahwa jika makan, minum dan seks adalah satu-satunya tujuan manusia maka manusia tidak lebih baik dari binatang yang artinya sama dengan binatang keledai atau yang lainnya.
Islam memandang manusia memang diciptakan dari materi yang bau, namun tidak saja berhenti pada materi tetapi dilengkapi dengan ruh. Manusia dalam penciptaanya melalui beberapa fase setelah turab, yaitu menjadi tanah, kemudian menjadi lumpur hitam yang diberi bentuk, kemudian menjadi tanah kering seperti tembikar[2], Allah kemudian meniupkan ruh kepadanya sehingga tercipta Adam as.
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan  kepadanya Ruh (ciptaan)Ku, kaka hendaklah kamu bersujud kepadaNya” (QS.Shad,38:71-72)[3]
Manusia diciptakan Allah dalam dua unsur, yaitu materi dari tanah (berbentuk tubuh) dan ruh. Materi tanah yang dapat dibentuk dengan berbagai macam bentuk dan rupa, sehingga hasilnya pun berbeda-beda ada yang besar-kecil, tinggi-pendek, putih-hitam, tampan-jelek dan sebagainya, namun pada intinya materi yang digunakan adalah sama yaitu tanah yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (min sholsholin min hamaaim masnuun). Sedangkan ruh yang ditiupkan dalam tubuh manusia tidak ada perbedaan sedikitpun. Setiap ruh yang ditiupkan pada dasarnya adalah ciptaan yang padanya mempunyai sifat-sifat yang luhur dan mengikuti kebenaran[4]. Ruh adalah unsure tinggi yang didalamnya terkandung kesiapan manusia untuk merealisasikan hal-hal yang  paling luhur dan sifat-sifat yang paling suci. Ialah yang membeuat manusia siap untuk membumbung tinggi melampaui peringkat hewan. pun menetapkan baginya tujuan tertinggi dalam hidup, emrancangkan garis-garis metode yang harus diikutinya, dan menyempurnakan kemanusiaannya dengan kecenderungan pada sumber nilai dan pengetahuan yang membuatnya menjadi manusia yang hakiki[5]. Ruh telah mengambil bagiannya untuk melakukan perjanjian dengan Penciptanya ketika masih berada di alam ruh sebelum diciptakan di alam dunia, “….. Alastu birabbikum, qooluu balaa syahidnaa…..” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?,Mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi). Ketika terjadi kesepakatan dan kemudian ditiupkan dalam materi tanah, maka hiduplah ia dalam wujud manusia. Dengan kata lain bahwa manusia dilahirkan dengan memiliki kesiapan secara fitrah untuk mengenal Tuhannya (Allah swt), beriman, mentauhidkan-Nya[6].
Pada hakikatnya dinamakan manusia karena terdapat dua unsure dalam dirinya, walaupun dua unsure tersebut sejatinya berbeda yaitu jasad yang berbentuk (hai’at jasadiyah) dengan segala macam fungsi dan kegunaannya yang berbeda-beda, ia merupakan zat terendah (materi) yang sering dipengaruhi serta juga mampu mempengaruhi[7]. Sedangkan ruh adalah independen dalam sifat-sifat suci dan luhurnya atas kebenaran, walaupun ruh juga bisa dipengaruhi yang lainnya juga, sedangkan yang mempengaruhinya itu adalah satu jua[8]. Namun dalam diri manusia keduanya terpadu dalam suatu kesatuan yang komplementer dan serasi. Dari paduan yang komplementer dan serasi ini terbentuklah diri dan kepribadian manusia.
Unsure keduanya memiliki kebutuhan yang berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan kebutuhan merupakan sunnatullah atas dasar ciptaan yang berbeda. Pemenuhan kebutuhan sudah menjadi naluri (gharizah) kehidupan manusia. Tubuh manusia yang tercipta dari materi kecenderungan untuk memenuhi kebutuhannya dengan makanan materi, minum dan biologis (seks). Kebutuhan ruh berbeda dengan kebutuhan jasad, ruh memilih kebutuhannya dalam bentuk spiritual – kebutuhan keberagamaan (gharizah tadayyun) yang menyebabkan menjadi manusia sempurna dan membuatnya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan semua makhluk ciptaan. Pemenuhan kebutuhan ruh ini menjadikan manusia mengenal hakikat alam semesta, dimana hakikat ini mengantarkan pada hakikat penciptaan, sehingga manusia akan tahu siapa dirinya dan mengenal siapa Tuhannya, “man arafa nafasahu faqat arafa robbahu” (barangsiapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya).
Pengenalan dan penelitian terhadap Tuhan tidak bisa dilakukan dengan kesadaran  indera yang tercipta dari materi : penglihatan, pendengaran, sentuhan, pengecapan, penciuman, tetapi hanya bisa dilakukan dengan indera keenam dari manusia, karena hakikatnya Tuhan tidak sama dengan ciptaanNya (mukholafatu lil hawadits). Indera keenam manusia sangatlah tersembunyi, ia perlu diriyadhai untuk merasakan dan menghadirkannya.
Memahami sesuatu yang transenden (immateri) harus melalui spiritual sebagai konsekuensi logis dari sesuatu yang tidak bisa dipahami melalui panca indera (materi). Oleh karena itu, spiritual menjadi kebutuhan manusia untuk mencapai tingkat kesempurnaan ciptaan.
Dalam kajian ilmu tasawuf ada enam indera kesadaran spiritual untuk memahami hakikat-hakikat spiritual yang lebih tinggi dan jauh diluar jangkauan fisik. Indera-indera ini dikenal sebagai lataif sitta[9]. Lataif adalah jamak dari latifa yang berarti perasaan yang halus dan sitta artinya enam, yaitu[10]:
1.    Latifa Nafs (Hawa nafsu) terletak di bawah pusar dan memancarkan aura (nur) berwarna kuning
2.    Latifa Qalb (Hati) terletak di dada sebelah kiri dan memancarkan aura (nur) berwarna merah
3.    Latifa Ruh (Jiwa) terletak di dada sebelah kanan dan memancarkan aura (nur) berwarna hijau
4.    Latifa Sirr (Rahasia) terletak di antara Latifa Qalb dan Latifa Ruh dan memancarkan aura (nur) berwarna putih
5.    Latifa Khafi (Tersembunyi) terletak ditengah-tengah dahi dan memancarkan aura (nur) berwarna biru
6.    Latifa Akhfa (Paling tersembunyi) terletak di puncak kepala dan memancarkan aura (nur) berwarna hitam.
Dalam alam fikiran sufi untuk memahami lataif sitta tidak melepaskan diri dari dasar-dasar pencapaian tingkatan sufi, yaitu syariat sebagai pondasi utama memahami tarekat, yang kemudian mampu masuk pada alam hakikat, sehingga akan sampai pada kesempurnaan pengenalan diri mengetahui zat ilahiyah (makrifat) atau dalam keadaan fana yang mampu menyerap sifat-sifat ilahiyah. Maka gelar yang akan disandangnya adalah al Insan al Kamil (manusia sempurna). Wallahu ‘alam bis shawaf.


[1] Capt. Wahid Bakhsh Rabbani, Sufisme Islam, (Jakarta: Sahara Publisher, 2004) hlm.68
[2] Di berbagai tempat dalam Al Qur’a, Allah mengemukakan berbgai fase penciptaan Adam as. Mengenai hal ini, lihat Abu al Qasim al Hasan ibn Muhammad al Mufadhdhal al Raqib al Assfahani, Kitab Tafshil al Nasy’atain wa Tahshil al-Sa’adatain, (Beirut:t.p.,1319H) dan Muhammad Mutawalli as Sya’rawi, Mu’jizad al Qur’an, Vol.1 (Kairo: Kitan al Yaum:, 1980), lihat dalam Dr. M. Utsman Najati, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, terjemah. Ahmad Rofi’ ‘Usmani, (Bandung: Pustaka, 1997) hlm.242-243,.
[3] Al Qur’anul karim, lihat juga al Hijr, 15:28-29
[4] Al Bahi al Khuli, Adam as: Falsafah Taqwim al Insan wa Khilafatih, cet ketiga (Kairo: Maktabah Wahbah, 1974), hlm.22--- lihat dalam Dr. M. Utsman Najati, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, terjemah. Ahmad Rofi’ ‘Usmani, (Bandung: Pustaka, 1997) hlm. 243
[5] Dr. M. Utsman Najati, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, terjemah. Ahmad Rofi’ ‘Usmani, (Bandung: Pustaka, 1997) hlm. 243
[6] Dr. M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi, terjemah. Wawan Djunaedi Soffandi, S.Ag, (Jakarta: Mustaqiim, 2000) hlm. 37
[7] Imam ar Razi, Ruh dan Jiwa: Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam, terjemah. H.Mochtar Zoerni, Joko S.Kahhar (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), hlm. 69
[8] Imam ar Razi, Ruh dan Jiwa ………
[9] Capt. Wahid Bakhsh Rabbani, Sufisme Islam, (Jakarta: Sahara Publisher, 2004) hlm.70
[10] Capt. Wahid , Sufisme Islam ……..

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini