FILSAFAT KETUHANAN AL FARABI
(TINJAUAN KRITIS Al GHAZALI dan SYEID M.
NAQUIB AL ATTAS)
Akhmad Hasan Saleh, MPI.
A. Biografi Singkat
Al Farabi
Al
Farabi yang kita kenal memiliki nama Abu Nasr Muhammad Al Farabi (870-950 M),
beliau merupakan keturunan Parsi. Nama al Farabi diambil dari nama kota Farab
tempat ia dilahirkan tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang Iran yang
bernama Muhammad Ibn Auzalgh, kawin dengan seorang wanita berkenbangsaan
Turkestan, kemudian ia menjadi tentara Turkestan dan juga seorang panglima
perang Parsi dan kemudian berdiam di Damsyik. Karena itu. Al Farabi dikatan
berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari
keturunan Iran.
Dalam
menuntut ilmu Al Farabi belajar kebeberapa daerah tetangga, seperti Baghdad dan
Harran, kemudian ia pergi ke Suria dan Mesir.[1] Sejak kecil Al Farabi suka
belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa.
Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain adalah Iran, Turkestan, dan
Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu
bahasa-bahasa ilmu pengatahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah
beranjak dewasa, Al Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju Baghdad, pusat
pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada
Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya
kepada ilmu logika. Pada waktu pertama datang ke Baghdad hanya sedikit saja
bahasa Arab yang dikuasainya. Al Farabi sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu
nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar As Saraj, sebagai imbalannya Al farabi
mengajarkan ilmu logika kepadanya.[2]
Setelah
dari Baghdad, ia pergi ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia
kecil untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. sejak itu ia bersentuhan langsung dengan
bahasa Yunani. Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu untuk
kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu
mantik (logika), dan di Baghdad ia tinggal selama 30 tahun. Selama itu ia
gunakan waktunya untuk menulis dan memberikan pelajaran dan mengulas-buku-buku
filsafat. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Yahya bin Ady.
Pada
tahun 330 H (941 M), Al Farabi pindah ke Damsyik dan di kota ini ia mendapatkan
kedudukan yang baik dari Saifudaulah, khalifah dinasti Hamdan di Halab
(Aleppo), sehingga ia diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut
kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota Damsyik sampai wafat pada tahun 337 H
(950 M) pada usia 80 tahun.[3]
Seiring
dengan keilmuwan yang dimilikinya ia juga ahli dibidang bahasa Yunani, Arab,
Parsi, Suria dan Turki. Beliau melebihi Al kindi baik memberi penjelasan dan
tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menyusun kembali dari sisi
kitab-kitab filsafat. Ia banyak mengomentari karya-karya Aristoteles, Plato dan
Galenus dalam bidang logika, fisik dan metafisika. Ia lebih dikenal sebagai
pengulas Aristoteles.
Ibnu
Sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles dari empat kali,
tetapi belum juga mengerti maksudnya. Setelah ia membaca karangan Al Farabi
yang berjudul Aghradlu Kitabi Ma Ba’da
at-Thabi’ah (Intisari Buku Metafisika). Baru ia mengerti apa yang selama
ini dirasakan sukar.
Karangan
Al Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab[4] dan yang paling banyak
menerangkan tentang filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul Ulum (Ecyclopaedia
of Science) beliau memberikan
tinjauan umum dari segala sains, kitab ini terkenal di Barat sebagai De Scientiis dari terjemahan latin oleh
Gerard Cremona.[5]
Diantara karangan-karangannya antara lain:[6]
1.
Aghradlu Kitabi Ma Ba’da
at-Thabi’ah
2.
Al Jam’u baina Ra’yai
al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof (Plato dan Aristoteles)
3.
Al-Tanbih ‘ala
al-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)[7]
4.
Ara’u[8]
5.
Kitab al-Millah[9]
6.
Al-Samrah al Mardiyyah
fi Ba’d al-Risalah al-Farabiyyah[10]
7.
‘Uyun ul-Masail
(Pokok-pokok Persoalan)
8.
Ara-u Ahl-il Madinah al
Fadilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama)
9.
Ih-Sha’u al Ulum
(Statistik Ilmu)
Dalam
kitab Ih-Sha’u al Ulum, Al Farabi
membicarakan macam-macam ilmu dan bagian-bagianya, yaitu ilmu-ilmu bahasa (Ilm al-Lisan), ilmu mantik, ilmu
matematika (at Taalim) ilmu fisika (al-Ilm at-Tabi’i), ilmu ketuhanan (al-Ilm al-Ilahi), ilmu kekotaan dan
politik (al-Ilm al-Madani), ilmu
fiqh, dan ilmu kalam.
B. Konsep Ketuhanan
Al Farabi
Al Farabi cenderung mengikuti
aliran filsafat Aristoteles yang rasional, temasuk pula dalam membahas konsep
ketuhanan secara hakikat dan sifat-sifat Tuhan. Dalam konsep ketuhanan, al
Farabi terlebih dahulu memberi wujud yang ada kepada dua bagian, yaitu :[11]
1.
Wujud yang mumkin, atau
wujud yang nyata karena lainnya (wajibul
wujud lighairihi), maksudnya sesuatu ada (mumkin) tersebut membuktikan
adanya sebab yang pertama (Tuhan), misalkan adanya cahaya karena adanya
matahari, maka cahaya tersebut adalah suatu yang mumkin. Bagaimanapun
panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada
sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa
memberi wujud kepada dirinya sendiri.
2.
Wujud Yang Nyata dengan
sendirinya (wajibul wujud li dzatihi).
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudNya, yaitu
wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama
sekali. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib
tersebut dinamakanTuhan (Allah).
Al
Farabi pada titik kesimpulan berpendapat bahwa Allah Esa tak berbilang, sama
sekali tidak ada yang menyamai wujudnya, maka wujudnya tak mungkin terdapat
pada selain Tuhan, tak ada yang seperti wujudnya (tidak menyamai makhlukNya),
kekal tak akan fana[12], oleh karena itu Tuhan
adalah substansi yang azali.[13] Ia adalah Yang Esa dengan
sendirinya, karena tidak mengambil ke-EsaanNya dari selain diri-Nya. Dan Esa
karena bilangan yang tidak bisa menerima berapa dan bagaimana, dan bersama-sama
entitas-entitas (yang lain) tidak masuk ke dalam klasifikasi genus dan spesies.
Ia adalah penggerak pertama yang tidak bergerak, sebab pertama yang tak
bersebab dan “Eksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk
selamanya, bahkan Ia selalu ada”.[14] Jadi dalam hal ini Tuhan
mempunyai sifat-sifat zat, af’al dan negasi, seperti yang disebutkan asar
kelompok Mu’tazila, tetapi ia mengembalikan kepada zat yang menggemakan ide
monoteisme, karena sifat-sifat itu bukan suatu yang bisa dibedakan dan
dipisahkan dari zat. Dalam konsepsi ini kita bisa melihat pengaruh
Aristotelianisme, namun tidak sampai mengeluarkan dari prinsip-prinsip aqidah
Islam.
Menurut
al Farabi pula bahwa wujud-Nya merupakan zat yang harus ada karena diri-Nya
sendiri (wajib al-Wujud bi zatih) dan merupakan sebab pertama bagi
segala entitas. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, maha suci dari
segala kuasa seperti materi, bentuk aksi dan efisiensi.[15] Ia dengan substansiNya,
merupakan akal aktual (aql bi al-fi’l), karena ia suci dari materi. Dengan
substansiNya, Ia juga ma’qul (kategori, objek pengetahuan), karena Ia
mengetahui ZatNya; jadi Ia adalah akal sekaligus ma’qul. Ia maha mengetahui,
karena Ia megetahui ZatNya dan tidak membutuhkan kepada zat lain untuk
mendapatkan ilmu, paahal ilmu yang paling utama ialah ilmu yang langgeng dan
tidak mungkin hilang serta itu adalah ilmuNya melalui ZatNya.[16]
Dengan
demikian Al Farabi telah berpendapat bahwa secara substansi kekuatan Allah
terletak pada akal yang murni dari zat apapun, sehingga tidak terkontaminasi
dengan pemikiran-pemikiran salah (kesalahpahaman). Dengan kata lain pemurnian
Allah terletak pada Akal manusia, bukan berarti Allah memiliki akal, tetapi
manusia dalam berfikir akan keagungan dan keesaan Allah tergantung pada akal.
Disinilah letak pemikiran ketuhaan Al Farabi terhadap pengagungan akal sebagai
pusat pemikiran. Namun bukan berarti al Farabi tidak percaya kepada Allah,
namun begitu besar pemurnian akal (rasio) dalam konsep ketuhanan Al Farabi.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa konsepsi ini bisa diterima dalam kalangan
khusus, namun bagi masyarakat awam akan membingungkan dan membuat rancu.
Sehingga banyak kalangan filsog mengkritik pemikiran Al Farabi dari segala
arah, salah satu pengkritik keras konsep ketuhanan Al Farabi adalah Al Ghazali.
C. Telaah Kritis Al
Ghazali Terhadap Ketuhanan Al Farabi
Al Ghazali yang memiliki nama Abu hamid Muhammad Al Ghazali lahir pada
tahun 1059 M di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat Thus di
Khurasan (iran), ia bergelar Hujjatul Islam. Ia seorang ahli hukum, teolog,
filosof, dan sufi, namun pertama-tama Al-Ghazali memusatkan perhatiannya pada
pelajaran fiqh (yurisprudensi).
Zaman Al Gazali
memang terkenal dengan zaman yang penuh pertikaian dan pertentangan. Namun
dengan keilmuwannya beliau mampu menyelesaikan masalah dengan menyusun beberapa
kitab yang kemudian dijaikan pegangan oleh ulama setelahnya, salah satu kitab
yang ditulisnya adalah Tahafutul Falasifah, al Munqizminadl Dlalal, ihya
ulumuddin, mantiq, fiqh dan ushul fiqh, tafsir, akhlaq, dan adab kesopanan.
Dalam konsep
ketuhanan Al Ghazali menelaah konsep ketuhanan Al Farabi yang me-Mahasuci-kan
dan me-Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang dikembangkan oleh kaum
Mu’tazilah, menjauhkan Tuhan secara total dari segala yang memiliki cela
indrawi dan materi. Dalam kitab Tahafutul Falasifah, Al Ghazali membicarakan
bahwa para filsof tidak mampu menetapkan adanya pencipta, maupun mendatangkan
bukti atas kemustahilan adanya dua Tuhan. Al Ghazali menggugurkan pendapat yang
mengatakan Zat Yang Pertama tidak bisa dibagi-bagi secara genus dan spesies,
dan Ia adalah wujud sederhana tanpa substansi. Al Ghazali mengkritik keras
tentang ilmu Tuhan, Al Ghazali menganggap bahwa penafsiran tersebut memberikan
kesan bahwa Ia lebih dekat kepada tidak tahu dibandingkan dengan tahu. Karena
menurut Al Ghazali dalam dua konsep ketuhanan Al Farabi yang pertama,
mencukupkan diri dengan teori penciptaan , yang ini tidak lain sekedar pancaran
atau emanasi ala Platinus, dan pendapat ini tidak bisa merealisir penciptaan
yang dimaksudkan oleh Al Qur’an maupun penciptaan yang berlandaskan pada
kemampuan dan hendak al Bari’ (SWT). Kedua, membatasi pengetahuan Allah (ilmu
Ilahi) hanya pada universalia-universalia saja. Konsep semacam ini tidak bisa
merealisir apa yang dikukuhkan oleh Al Quran bahwa Allah mengetahui segala sesuatu.[17]
Dalam kitab
Tahafutul Falasifah, Al Ghazali mengungkap permasalahan sekaligus menyerang
para filsof termasuk Al Farabi dalam konsep ketuhanan yang meliputi dua puluh
masalah, antara lain :[18]
1.
Al Ghazali menyerang
dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Al Ghazali
berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab
diciptakan oleh Tuhan.
2.
Al Ghazali menyerang
pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia
berpendapat bahwa soal keabadian alam terserah kepada Tuhan semata-mata.
Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya.
Akan tetapi bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan
oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan.
3.
Al Ghazali menyerang
pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja,
tetapi tidak mengetahui soal yang kecil-kecil (juz iyat).
yAl
Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan
kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan
dari hukum itu. Bagi Al Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab
akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian.
Dalam hal ini jelas Al Ghazali menyokong pendapat Ijraul ‘adat dari Al Asy’ari.
D. Pandangan Syeid M.
N. Al Attas Terhadap Konsep Ketuhanan Al Ghazali
Al Attas yang memiliki nama lengkap Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn
Abdullah ibn Muhsin al Attas, yang lahir tanggal 5 September 1931 di Bogor,
Jawa Barat adalah salah satu ilmuan muslim yang ada pada abad 20an. Dalam
pemikirannya masalah ketuhanan ia banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al Ghazali,
Fanshuri dan Al Raniri. Hal ini dapat dilihat pada salah satu karya besarnya
yaitu PrC`olegomena to the Metaphysics of Islam: An
Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995). Konsep ketuhanan Al Attas lebih
dikenal dengan konsep Metafisika yang berlandaskan pada Al Qur’an, sunnah Nabi
Saw, dan doktrin-doktrin yang oleh Iqbal disebut dengan “doktrin tasawuf yang
asli” atau doktrin cendikiawan sufi. Pemahaman Al Attas mengenai kedua sumber
utama Islam tersebut didasarkan pada metode tafsir dan takwil tradisional.
Menurut Al
Attas dalam konsep ketuhanan membedakan antara ide dan ajaran cendikiawan sufi
dari ide dan ajaran para pseudo-sufi, seperti para sofis (shufastha’iyyah)
dan kelompok wujudiyyah (wujudiyyah mulhidah) yang sesat atau kelompo
sufi yang jahil, yang ajaran-ajarannya banyak yang keliru. Ide dan praktek
kelompok sofis terutama berakar pada pengetahuan yang bersumber dari pengalaman
intuitif. Sedangkan kelompok wujudiyyah berkeyakinan bahwa Tuhan adalah sama
atau berinkarnasi dalam ciptaanNya; bahwa dunia ini termasuk manusia, hanya
ilusi; bahwa keragaman bentuk yang partikular (particular forms) dalam
maujud hanyalah sesuatu yang subjektif dan mental; bahwa tidak satupun yang
maujud, melainkan Allah swt; dan bahwasanya roh berinkarnasi. Secara
etimologis, sikap atau kepercayaan tersebut mengindikasikan bahwasanya mereka
tidak percaya terhadap kemungkinan adanya ilmu pengetahuan mengenai realitas
tertentu. Sebagian dari mereka menolak hukum-hukum agama dan mengaku mendapat
pengecualian, karenanya menolak perintah sholat dengan beranggapan bahwa
kontemplasi saja sudah cukup memadai.[19]
Metafisika
Islam menurut Al Attas hanya mengakui perbedaan antara esensi dan eksistensi
pada tataran rasional, sedangkan pada hakekatnya “eksistensi” (wujud) itulah
yang menjadi “esensi” segala sesuatu dan bahwa apa yang secara rasional atau
konseptual disebut sebagai “esensi” atau “quiditas” (mahiyyah) pada hakekatnya
hanya merupakan sejumlah akibat (a’rad) dari eksistensi. Realitas adalah
eksistensi mutlak yang tidak lain adalah kebenaran (al Haq, truth), salah satu
aspek Allah swt. Disini Al Attas menjelaskan:[20]
Sufi mengatakan bahwa kebenaran yaitu salah satu
nama Tuhan yang merupakan realitas sebenarnya dari wujud, mereka berbicara
dalam konteks metafisika dan merujuk pada Zat Absolut yang memanifestasikan
dirinya dalam semua tingkat wujud. Dengan ini mereka tidaklah memaksudkan Tuhan
sebagai Zat yang tidak memiliki individualitas atau sebagai suatu wujud yang
beragam, kabur, perfasiv, dan dinamis, sebagaimana halnya pandangan teologi
mengenai Tuhan. Sebaliknya, mereka mengafermasikan individualitas Tuhan; sebab,
tidak konsisten jika yang absolut mengindividualisasikan diriNya sebagai Tuhan
dengan cara mendeskripsikan diriNya sesuai dengan nama-namaNya yang indah dan
sifat-sifatNya yang maha suci. Individuasi yang seperti ini terjadi pada
tingkat keesaan Tuhan (diviene oneness), ketika penampakan dirinya ditentukan
oleh nama-nama dan sifat ketuhanan.
Sebagaimana pemikiran al Ghazali, Aliran wahdah al wujud (kesatuan
eksistensi) menurut Al Attas bahwa Allah swt adalah satu-satunya Realitas
Mutlak. Al Attas mengafirmasikan bahwa keragaman wujud yang partikular juga
merupakan sesuatu yang nyata, bukan sekedar imajinasi, meskipun masa
kehidupannya tidak lebih dari dua atom perjalanan waktu karena keberadaan
mereka yang senantiasa hancur (fana). Realitas wujud yang partikular
senantiasa ada disebabkan oleh dinamika Tuhan yang selalu berkesinambungan dan
aktifitas Tuhan yang senantiasa menciptakan kembali sesuatu yang serupa (bukan
sesuatu yang sama) dengan sesuatu itu setiap kali dihancurkan. Karakter realitas
wujud partikular yang sepserti ini sangat berbeda dengan karakter Eksistensi
Mutlak yang selamanya qadim, yang oleh al Attas diistilahkan sebagai
kepermanenan yang terus-menerus dan baqa’, yaitu kepermanenan yang tidak
berkesudahan.[21]
Dengan demikian bahwa pemahaman tentang konsep Tuhan tidak bisa dipisah
dari Esensi (Zat) atau hakekat diriNya, karena itu sama dengan Eksistensi
diriNya. Dalam tingkat wujudNya, yaitu ketika Dia berada dalam DiriNya sendiri,
Esensi Tuhan merupakan sesuatu yang transenden secara mutlak, tidak dapat
diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali oleh DiriNya sendiri. Oleh karena
itu, kemampuan rasio tidak akan dapat menjangkau akan Esensi (Zat) Tuhan, akan
tetapi hanya sekedar mengetahui bahwa Tuhan memiliki Eksistensi yang dapat dirasakan
secara intuisi dan pancaindra dengan menganalisa segala ciptaannya dalam
pikiran sehat manusia yang penuh dengan keterbatasan akalnya.
[2] Drs. Sudarsono, Filsafat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
hlm. 30
[4] Opcit. hlm.31
[5] Mr. H. Abdullah Siddiq, Islam dan Filsafat, hlm 89.
[6] Opcit. hlm.33
[7] Dr. Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa
Tatbiqub al-Juz’al-Sani, penerjemah Drs. Yudian W. Asmin: Aliran
dan Teori Filsafat Islam,Bumi Aksara, Jakarta, 2004.hlm.231
[8] Ibid.hlm .232
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Drs. Sudarsono, Filsafat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
hlm. 30
[12] Opcid, hlm.122.
[13] Opcid, hlm. 35
[14] Al Farabi,Talkhis Ma Ba’da al Tabi’ah, Kairo,1988, lihat Dr. Ibrahim Madkour,
Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa
Tatbiqub al-Juz’al-Sani, penerjemah Drs. Yudian W. Asmin: Aliran
dan Teori Filsafat Islam,Bumi Aksara, Jakarta, 2004.hlm.122
[15] Al Farabi, Al Samrah, Liden, 1895,
hal.57, lihat Dr. Ibrahim Madkour, Fi
al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz’al-Sani, penerjemah
Drs. Yudian W. Asmin: Aliran dan Teori Filsafat Islam,Bumi
Aksara, Jakarta, 2004.hlm.123.
[16] Ibid.
[17] Dr. Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa
Tatbiqub al-Juz’al-Sani, penerjemah Drs. Yudian W. Asmin: Aliran
dan Teori Filsafat Islam,Bumi Aksara, Jakarta, 2004. hlm.126.
[18] Drs. Sudarsono, Filsafat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. hlm.70-71.
[19] Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, Mizan, Bandung, 2003,
hlm.81
[20] Ibid.
hlm.84
[21] Ibid.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih telah membuka blog ini