Rabu, 13 Januari 2016

FILSAFAT KETUHANAN AL FARABI



FILSAFAT KETUHANAN AL FARABI
(TINJAUAN KRITIS Al GHAZALI dan SYEID M. NAQUIB AL ATTAS)
Akhmad Hasan Saleh, MPI.


A.    Biografi Singkat Al Farabi
Al Farabi yang kita kenal memiliki nama Abu Nasr Muhammad Al Farabi (870-950 M), beliau merupakan keturunan Parsi. Nama al Farabi diambil dari nama kota Farab tempat ia dilahirkan tahun 257 H (870 M). Ayahnya adalah seorang Iran yang bernama Muhammad Ibn Auzalgh, kawin dengan seorang wanita berkenbangsaan Turkestan, kemudian ia menjadi tentara Turkestan dan juga seorang panglima perang Parsi dan kemudian berdiam di Damsyik. Karena itu. Al Farabi dikatan berasal dari keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga dikatakan dari keturunan Iran.
Dalam menuntut ilmu Al Farabi belajar kebeberapa daerah tetangga, seperti Baghdad dan Harran, kemudian ia pergi ke Suria dan Mesir.[1] Sejak kecil Al Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain adalah Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Siriani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengatahuan dan filsafat pada waktu itu.
Setelah beranjak dewasa, Al Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika. Pada waktu pertama datang ke Baghdad hanya sedikit saja bahasa Arab yang dikuasainya. Al Farabi sendiri mengatakan bahwa belajar ilmu nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar As Saraj, sebagai imbalannya Al farabi mengajarkan ilmu logika kepadanya.[2]
Setelah dari Baghdad, ia pergi ke Harran salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru pada Yuhanna bin Jilan. sejak itu ia bersentuhan langsung dengan bahasa Yunani. Tetapi tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu untuk kembali ke Baghdad dan untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Baghdad ia tinggal selama 30 tahun. Selama itu ia gunakan waktunya untuk menulis dan memberikan pelajaran dan mengulas-buku-buku filsafat. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Yahya bin Ady.
Pada tahun 330 H (941 M), Al Farabi pindah ke Damsyik dan di kota ini ia mendapatkan kedudukan yang baik dari Saifudaulah, khalifah dinasti Hamdan di Halab (Aleppo), sehingga ia diajak turut serta dalam suatu pertempuran untuk merebut kota Damsyik, kemudian ia menetap di kota Damsyik sampai wafat pada tahun 337 H (950 M) pada usia 80 tahun.[3]
Seiring dengan keilmuwan yang dimilikinya ia juga ahli dibidang bahasa Yunani, Arab, Parsi, Suria dan Turki. Beliau melebihi Al kindi baik memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menyusun kembali dari sisi kitab-kitab filsafat. Ia banyak mengomentari karya-karya Aristoteles, Plato dan Galenus dalam bidang logika, fisik dan metafisika. Ia lebih dikenal sebagai pengulas Aristoteles.
Ibnu Sina pernah mempelajari buku metafisika karangan Aristoteles dari empat kali, tetapi belum juga mengerti maksudnya. Setelah ia membaca karangan Al Farabi yang berjudul Aghradlu Kitabi Ma Ba’da at-Thabi’ah (Intisari Buku Metafisika). Baru ia mengerti apa yang selama ini dirasakan sukar.
Karangan Al Farabi tidak kurang dari 128 buah kitab[4] dan yang paling banyak menerangkan tentang filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsan ul Ulum (Ecyclopaedia of Science) beliau memberikan  tinjauan umum dari segala sains, kitab ini terkenal di Barat sebagai De Scientiis dari terjemahan latin oleh Gerard Cremona.[5] Diantara karangan-karangannya antara lain:[6]
1.    Aghradlu Kitabi Ma Ba’da at-Thabi’ah
2.    Al Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof (Plato dan Aristoteles)
3.    Al-Tanbih ‘ala al-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan)[7]
4.    Ara’u[8]
5.    Kitab al-Millah[9]
6.    Al-Samrah al Mardiyyah fi Ba’d al-Risalah al-Farabiyyah[10]
7.    ‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan)
8.    Ara-u Ahl-il Madinah al Fadilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota Utama Negeri Utama)
9.    Ih-Sha’u al Ulum (Statistik Ilmu)
Dalam kitab Ih-Sha’u al Ulum, Al Farabi membicarakan macam-macam ilmu dan bagian-bagianya, yaitu ilmu-ilmu bahasa (Ilm al-Lisan), ilmu mantik, ilmu matematika (at Taalim) ilmu fisika (al-Ilm at-Tabi’i), ilmu ketuhanan (al-Ilm al-Ilahi), ilmu kekotaan dan politik (al-Ilm al-Madani), ilmu fiqh, dan ilmu kalam.

B.     Konsep Ketuhanan Al Farabi
            Al Farabi cenderung mengikuti aliran filsafat Aristoteles yang rasional, temasuk pula dalam membahas konsep ketuhanan secara hakikat dan sifat-sifat Tuhan. Dalam konsep ketuhanan, al Farabi terlebih dahulu memberi wujud yang ada kepada dua bagian, yaitu :[11]
1.      Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul wujud lighairihi), maksudnya sesuatu ada (mumkin) tersebut membuktikan adanya sebab yang pertama (Tuhan), misalkan adanya cahaya karena adanya matahari, maka cahaya tersebut adalah suatu yang mumkin. Bagaimanapun panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.
2.      Wujud Yang Nyata dengan sendirinya (wajibul wujud li dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudNya, yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakanTuhan (Allah).
Al Farabi pada titik kesimpulan berpendapat bahwa Allah Esa tak berbilang, sama sekali tidak ada yang menyamai wujudnya, maka wujudnya tak mungkin terdapat pada selain Tuhan, tak ada yang seperti wujudnya (tidak menyamai makhlukNya), kekal tak akan fana[12], oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang azali.[13] Ia adalah Yang Esa dengan sendirinya, karena tidak mengambil ke-EsaanNya dari selain diri-Nya. Dan Esa karena bilangan yang tidak bisa menerima berapa dan bagaimana, dan bersama-sama entitas-entitas (yang lain) tidak masuk ke dalam klasifikasi genus dan spesies. Ia adalah penggerak pertama yang tidak bergerak, sebab pertama yang tak bersebab dan “Eksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan Ia selalu ada”.[14] Jadi dalam hal ini Tuhan mempunyai sifat-sifat zat, af’al dan negasi, seperti yang disebutkan asar kelompok Mu’tazila, tetapi ia mengembalikan kepada zat yang menggemakan ide monoteisme, karena sifat-sifat itu bukan suatu yang bisa dibedakan dan dipisahkan dari zat. Dalam konsepsi ini kita bisa melihat pengaruh Aristotelianisme, namun tidak sampai mengeluarkan dari prinsip-prinsip aqidah Islam.
Menurut al Farabi pula bahwa wujud-Nya merupakan zat yang harus ada karena diri-Nya sendiri (wajib al-Wujud bi zatih) dan merupakan sebab pertama bagi segala entitas. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, maha suci dari segala kuasa seperti materi, bentuk aksi dan efisiensi.[15] Ia dengan substansiNya, merupakan akal aktual (aql bi al-fi’l), karena ia suci dari materi. Dengan substansiNya, Ia juga ma’qul (kategori, objek pengetahuan), karena Ia mengetahui ZatNya; jadi Ia adalah akal sekaligus ma’qul. Ia maha mengetahui, karena Ia megetahui ZatNya dan tidak membutuhkan kepada zat lain untuk mendapatkan ilmu, paahal ilmu yang paling utama ialah ilmu yang langgeng dan tidak mungkin hilang serta itu adalah ilmuNya melalui ZatNya.[16]
Dengan demikian Al Farabi telah berpendapat bahwa secara substansi kekuatan Allah terletak pada akal yang murni dari zat apapun, sehingga tidak terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran salah (kesalahpahaman). Dengan kata lain pemurnian Allah terletak pada Akal manusia, bukan berarti Allah memiliki akal, tetapi manusia dalam berfikir akan keagungan dan keesaan Allah tergantung pada akal. Disinilah letak pemikiran ketuhaan Al Farabi terhadap pengagungan akal sebagai pusat pemikiran. Namun bukan berarti al Farabi tidak percaya kepada Allah, namun begitu besar pemurnian akal (rasio) dalam konsep ketuhanan Al Farabi. Akan tetapi perlu dicatat bahwa konsepsi ini bisa diterima dalam kalangan khusus, namun bagi masyarakat awam akan membingungkan dan membuat rancu. Sehingga banyak kalangan filsog mengkritik pemikiran Al Farabi dari segala arah, salah satu pengkritik keras konsep ketuhanan Al Farabi adalah Al Ghazali.
C.    Telaah Kritis Al Ghazali Terhadap Ketuhanan Al Farabi
      Al Ghazali yang memiliki nama  Abu hamid Muhammad Al Ghazali lahir pada tahun 1059 M di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat Thus di Khurasan (iran), ia bergelar Hujjatul Islam. Ia seorang ahli hukum, teolog, filosof, dan sufi, namun pertama-tama Al-Ghazali memusatkan perhatiannya pada pelajaran fiqh (yurisprudensi).
Zaman Al Gazali memang terkenal dengan zaman yang penuh pertikaian dan pertentangan. Namun dengan keilmuwannya beliau mampu menyelesaikan masalah dengan menyusun beberapa kitab yang kemudian dijaikan pegangan oleh ulama setelahnya, salah satu kitab yang ditulisnya adalah Tahafutul Falasifah, al Munqizminadl Dlalal, ihya ulumuddin, mantiq, fiqh dan ushul fiqh, tafsir, akhlaq, dan adab kesopanan.
Dalam konsep ketuhanan Al Ghazali menelaah konsep ketuhanan Al Farabi yang me-Mahasuci-kan dan me-Mahaabstrak-kan Tuhan dibandingkan dengan yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, menjauhkan Tuhan secara total dari segala yang memiliki cela indrawi dan materi. Dalam kitab Tahafutul Falasifah, Al Ghazali membicarakan bahwa para filsof tidak mampu menetapkan adanya pencipta, maupun mendatangkan bukti atas kemustahilan adanya dua Tuhan. Al Ghazali menggugurkan pendapat yang mengatakan Zat Yang Pertama tidak bisa dibagi-bagi secara genus dan spesies, dan Ia adalah wujud sederhana tanpa substansi. Al Ghazali mengkritik keras tentang ilmu Tuhan, Al Ghazali menganggap bahwa penafsiran tersebut memberikan kesan bahwa Ia lebih dekat kepada tidak tahu dibandingkan dengan tahu. Karena menurut Al Ghazali dalam dua konsep ketuhanan Al Farabi yang pertama, mencukupkan diri dengan teori penciptaan , yang ini tidak lain sekedar pancaran atau emanasi ala Platinus, dan pendapat ini tidak bisa merealisir penciptaan yang dimaksudkan oleh Al Qur’an maupun penciptaan yang berlandaskan pada kemampuan dan hendak al Bari’ (SWT). Kedua, membatasi pengetahuan Allah (ilmu Ilahi) hanya pada universalia-universalia saja. Konsep semacam ini tidak bisa merealisir apa yang dikukuhkan oleh Al Quran bahwa Allah mengetahui segala sesuatu.[17]
Dalam kitab Tahafutul Falasifah, Al Ghazali mengungkap permasalahan sekaligus menyerang para filsof termasuk Al Farabi dalam konsep ketuhanan yang meliputi dua puluh masalah, antara lain :[18]
1.      Al Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Al Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
2.      Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan.
3.      Al Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal yang kecil-kecil (juz iyat).
yAl Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas Al Ghazali menyokong pendapat Ijraul ‘adat dari Al Asy’ari.
D.    Pandangan Syeid M. N. Al Attas Terhadap Konsep Ketuhanan Al Ghazali
Al Attas yang memiliki nama lengkap Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin al Attas, yang lahir tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat adalah salah satu ilmuan muslim yang ada pada abad 20an. Dalam pemikirannya masalah ketuhanan ia banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al Ghazali, Fanshuri dan Al Raniri. Hal ini dapat dilihat pada salah satu karya besarnya yaitu PrC`olegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (1995). Konsep ketuhanan Al Attas lebih dikenal dengan konsep Metafisika yang berlandaskan pada Al Qur’an, sunnah Nabi Saw, dan doktrin-doktrin yang oleh Iqbal disebut dengan “doktrin tasawuf yang asli” atau doktrin cendikiawan sufi. Pemahaman Al Attas mengenai kedua sumber utama Islam tersebut didasarkan pada metode tafsir dan takwil tradisional.
Menurut Al Attas dalam konsep ketuhanan membedakan antara ide dan ajaran cendikiawan sufi dari ide dan ajaran para pseudo-sufi, seperti para sofis (shufastha’iyyah) dan kelompok wujudiyyah (wujudiyyah mulhidah) yang sesat atau kelompo sufi yang jahil, yang ajaran-ajarannya banyak yang keliru. Ide dan praktek kelompok sofis terutama berakar pada pengetahuan yang bersumber dari pengalaman intuitif. Sedangkan kelompok wujudiyyah berkeyakinan bahwa Tuhan adalah sama atau berinkarnasi dalam ciptaanNya; bahwa dunia ini termasuk manusia, hanya ilusi; bahwa keragaman bentuk yang partikular (particular forms) dalam maujud hanyalah sesuatu yang subjektif dan mental; bahwa tidak satupun yang maujud, melainkan Allah swt; dan bahwasanya roh berinkarnasi. Secara etimologis, sikap atau kepercayaan tersebut mengindikasikan bahwasanya mereka tidak percaya terhadap kemungkinan adanya ilmu pengetahuan mengenai realitas tertentu. Sebagian dari mereka menolak hukum-hukum agama dan mengaku mendapat pengecualian, karenanya menolak perintah sholat dengan beranggapan bahwa kontemplasi saja sudah cukup memadai.[19]
Metafisika Islam menurut Al Attas hanya mengakui perbedaan antara esensi dan eksistensi pada tataran rasional, sedangkan pada hakekatnya “eksistensi” (wujud) itulah yang menjadi “esensi” segala sesuatu dan bahwa apa yang secara rasional atau konseptual disebut sebagai “esensi” atau “quiditas” (mahiyyah) pada hakekatnya hanya merupakan sejumlah akibat (a’rad) dari eksistensi. Realitas adalah eksistensi mutlak yang tidak lain adalah kebenaran (al Haq, truth), salah satu aspek Allah swt. Disini Al Attas menjelaskan:[20]
Sufi mengatakan bahwa kebenaran yaitu salah satu nama Tuhan yang merupakan realitas sebenarnya dari wujud, mereka berbicara dalam konteks metafisika dan merujuk pada Zat Absolut yang memanifestasikan dirinya dalam semua tingkat wujud. Dengan ini mereka tidaklah memaksudkan Tuhan sebagai Zat yang tidak memiliki individualitas atau sebagai suatu wujud yang beragam, kabur, perfasiv, dan dinamis, sebagaimana halnya pandangan teologi mengenai Tuhan. Sebaliknya, mereka mengafermasikan individualitas Tuhan; sebab, tidak konsisten jika yang absolut mengindividualisasikan diriNya sebagai Tuhan dengan cara mendeskripsikan diriNya sesuai dengan nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang maha suci. Individuasi yang seperti ini terjadi pada tingkat keesaan Tuhan (diviene oneness), ketika penampakan dirinya ditentukan oleh nama-nama dan sifat ketuhanan.
Sebagaimana pemikiran al Ghazali, Aliran wahdah al wujud (kesatuan eksistensi) menurut Al Attas bahwa Allah swt adalah satu-satunya Realitas Mutlak. Al Attas mengafirmasikan bahwa keragaman wujud yang partikular juga merupakan sesuatu yang nyata, bukan sekedar imajinasi, meskipun masa kehidupannya tidak lebih dari dua atom perjalanan waktu karena keberadaan mereka yang senantiasa hancur (fana). Realitas wujud yang partikular senantiasa ada disebabkan oleh dinamika Tuhan yang selalu berkesinambungan dan aktifitas Tuhan yang senantiasa menciptakan kembali sesuatu yang serupa (bukan sesuatu yang sama) dengan sesuatu itu setiap kali dihancurkan. Karakter realitas wujud partikular yang sepserti ini sangat berbeda dengan karakter Eksistensi Mutlak yang selamanya qadim, yang oleh al Attas diistilahkan sebagai kepermanenan yang terus-menerus dan baqa’, yaitu kepermanenan yang tidak berkesudahan.[21]
Dengan demikian bahwa pemahaman tentang konsep Tuhan tidak bisa dipisah dari Esensi (Zat) atau hakekat diriNya, karena itu sama dengan Eksistensi diriNya. Dalam tingkat wujudNya, yaitu ketika Dia berada dalam DiriNya sendiri, Esensi Tuhan merupakan sesuatu yang transenden secara mutlak, tidak dapat diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali oleh DiriNya sendiri. Oleh karena itu, kemampuan rasio tidak akan dapat menjangkau akan Esensi (Zat) Tuhan, akan tetapi hanya sekedar mengetahui bahwa Tuhan memiliki Eksistensi yang dapat dirasakan secara intuisi dan pancaindra dengan menganalisa segala ciptaannya dalam pikiran sehat manusia yang penuh dengan keterbatasan akalnya.



[1] Mr. H. Abdullah Siddiq, Islam dan Filsafat, hlm 89.
[2] Drs. Sudarsono, Filsafat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. hlm. 30
[3] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm 81.
[4] Opcit. hlm.31
[5] Mr. H. Abdullah Siddiq, Islam dan Filsafat, hlm 89.
[6] Opcit. hlm.33
[7] Dr. Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz’al-Sani, penerjemah Drs. Yudian W. Asmin:  Aliran dan Teori Filsafat Islam,Bumi Aksara, Jakarta, 2004.hlm.231
[8] Ibid.hlm .232
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Drs. Sudarsono, Filsafat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. hlm. 30
[12] Opcid, hlm.122.
[13] Opcid, hlm. 35
[14] Al Farabi,Talkhis Ma Ba’da al Tabi’ah, Kairo,1988, lihat Dr. Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz’al-Sani, penerjemah Drs. Yudian W. Asmin:  Aliran dan Teori Filsafat Islam,Bumi Aksara, Jakarta, 2004.hlm.122
[15] Al Farabi, Al Samrah, Liden, 1895, hal.57, lihat Dr. Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz’al-Sani, penerjemah Drs. Yudian W. Asmin:  Aliran dan Teori Filsafat Islam,Bumi Aksara, Jakarta, 2004.hlm.123.
[16] Ibid.
[17] Dr. Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz’al-Sani, penerjemah Drs. Yudian W. Asmin:  Aliran dan Teori Filsafat Islam,Bumi Aksara, Jakarta, 2004. hlm.126.
[18] Drs. Sudarsono, Filsafat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. hlm.70-71.

[19] Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, Mizan, Bandung, 2003, hlm.81
[20] Ibid. hlm.84
[21] Ibid.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini