PERSELISIHAN AKAL DAN RUH
Oleh.
Akh. Hasan Saleh
Manusia diciptakan dalam wujud yang dinamakan dengan jasad, yang pada
mulanya jasad ini tiada harganya dan tiada kemuliaannya. Jasad adalah lapisan
luar yang memiliki berbagai banyak bentuk, yang adakalanya ia menjadi rusak dan
tidak bertahan lama, ia pun bisa dapat berganti-ganti dengan bungkus yang lain,
adakalanya warna hitam, coklat dan putih. Jasad adalah wujud ciptaan yang
menandakan adanya pencipta. Ciptaan tidak menunjukkan kualitas Pencipta dan
tidak berpengaruh sama sekali terhadapNya. Berapapun jumlah ciptaan dan
bagaimanapun bentuknya hanyalah sebatas assesoris yang memperindah kehidupan.
Begitu pula manusia yang merupakan ciptaan dengan jasad yang berbagai macam
bentuk yang bukan merupakan standar kualitas dan kemuliaannya. Inilah alasan
Allah memberikan dua hal yang tak terlihat sebagai penggerak manusia untuk
menentukan sendiri kedudukannya dan kemuliaannya di hadapan Robbnya. Dua hal
itu pula yang menaikkan derajat dan kedudukannya dihadapan manusia atas izin
Robbnya. Dua hal itu tidak lain adalah Akal yang digunakan manusia untuk
menentukan dunianya dan Ruh yang menentukan akhiratnya. Keduanya tidak dapat
dipisahkan, beriringan berjalan dalam menentukan keimanan dan ketaqwaan
menemukan jalan kebenaran ilahiyah.
Sebelum membahas panjang lebar tentang keduanya, beberapa ahli
psikologi dan jiwa memberikan pengertian yang sama terhadap ruh dan akal,
tetapi adakalanya diberi pengertian yang dihubungkan dengan fungsinya[1].
Akal dalam simbolik biologisnya diperankan oleh otak dalam kepala manusia.
Otaklah yang berfikir melihat kenyataan dan empirisme kehidupan. Akal
menentukan dunianya karena ia bisa berfikir dalam melangkah menentukan sebuah
pilihan hidup, ia mencerna sesuatu yang telah diterangkan oleh ruh antara haq
dan bathil. Kesucian ruh pun tergantung pada penentuan akal dalam memilih yang
haq. Akal pun begitu, kebenaran jalan ditentukan oleh Ruh yang menafikan
kebathilan. Rabbul ‘alamin telah mentaqdirkan antara haq dan bathil dalam
kehidupan, “fujuraha wa taqwaaha” (.....). Sedangkan manusia memilih
antara keduanya dengan kecenderungan perilakunya (QS. Ar Ra’d: 1). Akallah yang
berfikir dan menentukan, ruhlah yang menuntun menemukan jalannya. Allah
menciptakan manusia dalam kesempurnaan bentuk beserta perangkat yang telah
dilengketkan pada jasad (QS. At Tin: 5).
Akal sebagai salah satu unsur dalam jasad berperan sebagai inovator
penggerak keinginan manusia. Menurut Ahmad Mubarok akal mengandung makna
mengerti, memahami dan berfikir. Dengan adanya akal manusia mampu memahami
hukum kausalitas, mampu memahami adanya sistem jagad raya, mampu berfikir
distinktif, mampu menyusun argumen logis, mampu berfikir kritis, mampu mengatur
taktik dan strategi dan mampu mengambil pelajaran dari pengalaman.[2]
Allah SWT sebelum menciptakan manusia, terlebih dahulu menciptakan akal
setelah ruh. Kisah tersebut tertera dalam kitab durratun nasihin
karangan Syeh Ustman bin Hasan as Syakir, dalam hadits qudsi di sebutkan, saat
Allah SWT menciptakan akal, Allah SWT mengajukan pertanyaan pada akal, Yaa
ayyuhal aqli, man anta wa man ana?, Wahai akal, siapakah kamu dan siapakah
Aku?, ketika menerima pertanyaan , “Siapa kamu dan siapa Aku?” akal menjawab “Ana
A’bdun wa anta Rabbun.” saya hambaMu Dan Engkau Tuhanku.[3]
Akal yang tidak terkuasai oleh ruh, maka ia dikuasai oleh nafsunya.
Sedangkan sifat nafsu dalam kitab yang sama disebutkan bahwa melakukan
pertentangan terhadap perintah Allah. Ketika Allah SWT mengajukan pertanyaan
pada nafsu, yaa ayyuhan nafs, man anta wa man ana?, maka nafsu pun
menjawab dengan sombongnya, “Ana ana wa anta anta, Aku ya aku, dan kamu
ya kamu, lantas Allah SWT memasukkan ke neraka panas selama 1000 tahun, setelah
itu nafsu di tanya lagi, namun tetap gak kapok juga dengan menjawab hal yang
sama, lantas di masukkan ke neraka dingin selama 1000 tahun, setelah itu di
tanya lagi, tetap juga sama jawabannya, lalu di masukkan ke neraka lapar selama
1000 tahun, lalu di angkat dan di tanya lagi, baru menjawab Ana abdun wa
Anta Robbun.[4]
Sedangkan ruh menjadi faktor penting dalam jasad ketika melaksanakan
aktivitas kehidupan dimuka bumi, sebab tanpa ruh manusia sebagai totalitas tidak
lagi bisa berfikir dan merasa bahkan ruh berhubungan dengan hidup dan matinya
manusia.[5]
Ruh dalam kaitannya dengan jiwa sebagai penentu dalam memahami dan mengakui
kebenaran Tuhan dan agama.
Siapapun manusia yang berakal tidak akan bisa menyangkal dan akan
mengakui, bahwa setiap diri manusia yang h idup terdapat sesuatu kekuatan yang
bisa membuat jasad manusia bisa bergerak. Mereka yang tidak percaya adanya ruh
pada setiap manusia yang hidup, pasti akan percaya bahwa mainan pun hanya akan
bisa bergerak kalau ada daya yang menggerakknanya, sudah pasti mereka tidak
akan menyangkal bahwa pada diri manusia yang hidup pasti ada daya yang
menggerakkan cuma mereka menyangkal tidak mau, angkuh, sombong, malu untuk
mengakui atau memang tidak tahu adanya ruh yang ditiupkan Allah kepada setiap
janin manusia ketika didalam rahim ibunya. Orang-orang kafir dan juga sebagian
kalangan sekuler tidak mau mengakui adanya ruh yang ditiupkan Allah kepada
janin sebagaimana wahyu Allah kepada Nabi-Nya, mereka menganggap semuanya
adalah ‘kehendak alam’. Sedangkan orang-orang musyrik menganggap pemberi hidup
itu adalah ‘Sesuatu’ yang bisa mereka ‘bujuk’ menurut keinginan mereka sendiri,
misalnya dengan sesajen, persembahan, bakar kemenyan, bakar hioh, ruatan, seren
tahun, seba laut, semedi, menyepi, pengorbanan kepala kerbau, dan sebagainya,
dengan pemberian itu mereka merasa ‘yang dituhankannya’ bisa memenuhi
keinginannya. Iman atau keyakinan itu diperankan oleh ruh. Pada dasarnya ruh
telah menentukan dirinya untuk terus melakukan pengabdian dirinya pada Allah
dan tidak melakukan keberTuhanan pada lainnya. KeberTuhanan tersebut telah
dilakukan ruh awal diciptakan sebagaimana ruh telah melakukan MOU (Memorandum
Of Understanding) dengan Allah yang diabadikan di dalam Al Qur’an Al A’raf:
172.
Ruh
merupakan wujud yang sir, tak berbentuk dan tak terlihat. Ruh menempati
ruang yang paling tinggi dalam diri manusia yang dinamakan dengan Qolbu. Ruh
mampu menembus batas dalam melihat segala sesuatu, sehingga ia pun tidak mudah
untuk diterjemahkan dengan bahasa. Maka banyak para ahli bahasa menyimpulkan
bahwa ruh dan qolbu tidak ada bedanya. Menurut Imam Al-ghozali bahwa pekerjaan
daripada ruh dalam menentukan kebenaran adalah dengan jalan perenungan, dilakukan
mulai dari qolbu yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui pemikiran (al-fikri)
dalam otak kepala. Sebagaimana Allah berfirman:
أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ
يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَـٰكِن تَعْمَىالْقُلُوبُ
الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka
bumi, lalu mereka mempunyai qolbu, dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qolbu yang di dalam dada” (QS. Al-hajj 22:46).
Oleh karena
itu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dalam diri manusia ada segumpal daging,
jika daging itu buruk (fasad) maka fasadlah seluruh tubuhnya,
jika daging itu baik (sholeh) maka sholehlah
seluruh tubuh itu, ketahuilah ia adalah hati (qolbu)”. Ruh yang
menempati qolbu menuntun sesuai fitrah ciptaannya sebagai penentu jalan
kebaikan dan kebenaran, sehingga manusia tidak tersesat dijalan kemaksiatan
untuk menemukan arah menuju perjumpaan dengan Robnya.
[1] H. Ibn Kutibin TadjudinSp.Kj., Psikotherapi Holistik Islami, (Bandung: Kutibin, 2007), hal.52
[2] Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal
109.
[3] Syeh Ustman bin Hasan As Syakir al Khaubawiy, Durratun Nasihin,
terjemah H.M. Fadli (Surabaya: al Hidayah)
[4] Syeh Ustman, Durratun Nasihin....
[5] Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al Qur’an......., hal 133.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih telah membuka blog ini