Selasa, 12 Januari 2016

PERSELISIHAN AKAL DAN RUH



PERSELISIHAN AKAL DAN RUH
Oleh. Akh. Hasan Saleh

Manusia diciptakan dalam wujud yang dinamakan dengan jasad, yang pada mulanya jasad ini tiada harganya dan tiada kemuliaannya. Jasad adalah lapisan luar yang memiliki berbagai banyak bentuk, yang adakalanya ia menjadi rusak dan tidak bertahan lama, ia pun bisa dapat berganti-ganti dengan bungkus yang lain, adakalanya warna hitam, coklat dan putih. Jasad adalah wujud ciptaan yang menandakan adanya pencipta. Ciptaan tidak menunjukkan kualitas Pencipta dan tidak berpengaruh sama sekali terhadapNya. Berapapun jumlah ciptaan dan bagaimanapun bentuknya hanyalah sebatas assesoris yang memperindah kehidupan. Begitu pula manusia yang merupakan ciptaan dengan jasad yang berbagai macam bentuk yang bukan merupakan standar kualitas dan kemuliaannya. Inilah alasan Allah memberikan dua hal yang tak terlihat sebagai penggerak manusia untuk menentukan sendiri kedudukannya dan kemuliaannya di hadapan Robbnya. Dua hal itu pula yang menaikkan derajat dan kedudukannya dihadapan manusia atas izin Robbnya. Dua hal itu tidak lain adalah Akal yang digunakan manusia untuk menentukan dunianya dan Ruh yang menentukan akhiratnya. Keduanya tidak dapat dipisahkan, beriringan berjalan dalam menentukan keimanan dan ketaqwaan menemukan jalan kebenaran ilahiyah.
Sebelum membahas panjang lebar tentang keduanya, beberapa ahli psikologi dan jiwa memberikan pengertian yang sama terhadap ruh dan akal, tetapi adakalanya diberi pengertian yang dihubungkan dengan fungsinya[1]. Akal dalam simbolik biologisnya diperankan oleh otak dalam kepala manusia. Otaklah yang berfikir melihat kenyataan dan empirisme kehidupan. Akal menentukan dunianya karena ia bisa berfikir dalam melangkah menentukan sebuah pilihan hidup, ia mencerna sesuatu yang telah diterangkan oleh ruh antara haq dan bathil. Kesucian ruh pun tergantung pada penentuan akal dalam memilih yang haq. Akal pun begitu, kebenaran jalan ditentukan oleh Ruh yang menafikan kebathilan. Rabbul ‘alamin telah mentaqdirkan antara haq dan bathil dalam kehidupan, “fujuraha wa taqwaaha” (.....). Sedangkan manusia memilih antara keduanya dengan kecenderungan perilakunya (QS. Ar Ra’d: 1). Akallah yang berfikir dan menentukan, ruhlah yang menuntun menemukan jalannya. Allah menciptakan manusia dalam kesempurnaan bentuk beserta perangkat yang telah dilengketkan pada jasad (QS. At Tin: 5).
Akal sebagai salah satu unsur dalam jasad berperan sebagai inovator penggerak keinginan manusia. Menurut Ahmad Mubarok akal mengandung makna mengerti, memahami dan berfikir. Dengan adanya akal manusia mampu memahami hukum kausalitas, mampu memahami adanya sistem jagad raya, mampu berfikir distinktif, mampu menyusun argumen logis, mampu berfikir kritis, mampu mengatur taktik dan strategi dan mampu mengambil pelajaran dari pengalaman.[2]
Allah SWT sebelum menciptakan manusia, terlebih dahulu menciptakan akal setelah ruh. Kisah tersebut tertera dalam kitab durratun nasihin karangan Syeh Ustman bin Hasan as Syakir, dalam hadits qudsi di sebutkan, saat Allah SWT menciptakan akal, Allah SWT mengajukan pertanyaan pada akal, Yaa ayyuhal aqli, man anta wa man ana?, Wahai akal, siapakah kamu dan siapakah Aku?, ketika menerima pertanyaan , “Siapa kamu dan siapa Aku?” akal menjawab “Ana A’bdun wa anta Rabbun.” saya hambaMu Dan Engkau Tuhanku.[3]
Akal yang tidak terkuasai oleh ruh, maka ia dikuasai oleh nafsunya. Sedangkan sifat nafsu dalam kitab yang sama disebutkan bahwa melakukan pertentangan terhadap perintah Allah. Ketika Allah SWT mengajukan pertanyaan pada nafsu, yaa ayyuhan nafs, man anta wa man ana?, maka nafsu pun menjawab dengan sombongnya, “Ana ana wa anta anta, Aku ya aku, dan kamu ya kamu, lantas Allah SWT memasukkan ke neraka panas selama 1000 tahun, setelah itu nafsu di tanya lagi, namun tetap gak kapok juga dengan menjawab hal yang sama, lantas di masukkan ke neraka dingin selama 1000 tahun, setelah itu di tanya lagi, tetap juga sama jawabannya, lalu di masukkan ke neraka lapar selama 1000 tahun, lalu di angkat dan di tanya lagi, baru menjawab Ana abdun wa Anta Robbun.[4]
Sedangkan ruh menjadi faktor penting dalam jasad ketika melaksanakan aktivitas kehidupan dimuka bumi, sebab tanpa ruh manusia sebagai totalitas tidak lagi bisa berfikir dan merasa bahkan ruh berhubungan dengan hidup dan matinya manusia.[5] Ruh dalam kaitannya dengan jiwa sebagai penentu dalam memahami dan mengakui kebenaran Tuhan dan agama.
Siapapun manusia yang berakal tidak akan bisa menyangkal dan akan mengakui, bahwa setiap diri manusia yang h idup terdapat sesuatu kekuatan yang bisa membuat jasad manusia bisa bergerak. Mereka yang tidak percaya adanya ruh pada setiap manusia yang hidup, pasti akan percaya bahwa mainan pun hanya akan bisa bergerak kalau ada daya yang menggerakknanya, sudah pasti mereka tidak akan menyangkal bahwa pada diri manusia yang hidup pasti ada daya yang menggerakkan cuma mereka menyangkal tidak mau, angkuh, sombong, malu untuk mengakui atau memang tidak tahu adanya ruh yang ditiupkan Allah kepada setiap janin manusia ketika didalam rahim ibunya. Orang-orang kafir dan juga sebagian kalangan sekuler tidak mau mengakui adanya ruh yang ditiupkan Allah kepada janin sebagaimana wahyu Allah kepada Nabi-Nya, mereka menganggap semuanya adalah ‘kehendak alam’. Sedangkan orang-orang musyrik menganggap pemberi hidup itu adalah ‘Sesuatu’ yang bisa mereka ‘bujuk’ menurut keinginan mereka sendiri, misalnya dengan sesajen, persembahan, bakar kemenyan, bakar hioh, ruatan, seren tahun, seba laut, semedi, menyepi, pengorbanan kepala kerbau, dan sebagainya, dengan pemberian itu mereka merasa ‘yang dituhankannya’ bisa memenuhi keinginannya. Iman atau keyakinan itu diperankan oleh ruh. Pada dasarnya ruh telah menentukan dirinya untuk terus melakukan pengabdian dirinya pada Allah dan tidak melakukan keberTuhanan pada lainnya. KeberTuhanan tersebut telah dilakukan ruh awal diciptakan sebagaimana ruh telah melakukan MOU (Memorandum Of Understanding) dengan Allah yang diabadikan di dalam Al Qur’an Al A’raf: 172.
Ruh merupakan wujud yang sir, tak berbentuk dan tak terlihat. Ruh menempati ruang yang paling tinggi dalam diri manusia yang dinamakan dengan Qolbu. Ruh mampu menembus batas dalam melihat segala sesuatu, sehingga ia pun tidak mudah untuk diterjemahkan dengan bahasa. Maka banyak para ahli bahasa menyimpulkan bahwa ruh dan qolbu tidak ada bedanya. Menurut Imam Al-ghozali bahwa pekerjaan daripada ruh dalam menentukan kebenaran adalah dengan jalan perenungan, dilakukan mulai dari qolbu yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui pemikiran (al-fikri) dalam otak kepala. Sebagaimana Allah berfirman:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَـٰكِن تَعْمَىالْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
 “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qolbu, dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah qolbu yang di dalam dada (QS. Al-hajj 22:46).
Oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dalam diri manusia ada segumpal daging, jika daging itu buruk (fasad) maka fasadlah seluruh tubuhnya, jika daging itu baik (sholeh) maka sholehlah seluruh tubuh itu, ketahuilah ia adalah hati (qolbu)”. Ruh yang menempati qolbu menuntun sesuai fitrah ciptaannya sebagai penentu jalan kebaikan dan kebenaran, sehingga manusia tidak tersesat dijalan kemaksiatan untuk menemukan arah menuju perjumpaan dengan Robnya.


[1] H. Ibn Kutibin TadjudinSp.Kj., Psikotherapi Holistik Islami,  (Bandung: Kutibin, 2007), hal.52
[2] Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal 109.
[3] Syeh Ustman bin Hasan As Syakir al Khaubawiy, Durratun Nasihin, terjemah H.M. Fadli (Surabaya: al Hidayah)
[4] Syeh Ustman, Durratun Nasihin....
[5] Ahmad Mubarok, Jiwa Dalam Al Qur’an......., hal 133.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini