HAKIKAT MANUSIA DAN INDERA SPIRITUAL
Oleh. Akhmad Hasan Saleh
“Kasihan manusia telah puas dengan makanan yang dimaksudkan untuk
keledai”
(Jalaluddin Rumi – dalam Fih-i-Mafih)
Barat memandang manusia tak ubahnya seperti
kera berjalan (homo sapien) sebagaimana teori evolusi Darwin. Walau sudah
banyak yang melakukan kritisasi terhadap teori yang banyak melahirkan
kontroversi terhadap para ilmuwan Barat. Berbeda dengan ilmuwan muslim dalam
memandang manusia. Teori penciptaan manusia dalam Islam telah memberikan fakta
ilmiah dalam dunia kedokteran dan psikologi.
Sehingga, ketika teori Darwin menjadi
pembenaran atas penciptaan manusia, maka perkataan Rumi diatas yang dimaksud
dengan “….makanan yang dimaksudkan untuk keledai”[1]
adalah bahwa jika makan, minum dan seks adalah satu-satunya tujuan manusia maka
manusia tidak lebih baik dari binatang yang artinya sama dengan binatang
keledai atau yang lainnya.
Islam memandang manusia memang diciptakan
dari materi yang bau, namun tidak saja berhenti pada materi tetapi dilengkapi
dengan ruh. Manusia dalam penciptaanya melalui beberapa fase setelah turab,
yaitu menjadi tanah, kemudian menjadi lumpur hitam yang diberi bentuk, kemudian
menjadi tanah kering seperti tembikar[2],
Allah kemudian meniupkan ruh kepadanya sehingga tercipta Adam as.
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila
telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya Ruh (ciptaan)Ku, kaka hendaklah kamu bersujud kepadaNya”
(QS.Shad,38:71-72)[3]
Manusia diciptakan Allah dalam dua unsur,
yaitu materi dari tanah (berbentuk tubuh) dan ruh. Materi tanah yang dapat
dibentuk dengan berbagai macam bentuk dan rupa, sehingga hasilnya pun berbeda-beda
ada yang besar-kecil, tinggi-pendek, putih-hitam, tampan-jelek dan sebagainya,
namun pada intinya materi yang digunakan adalah sama yaitu tanah yang berasal
dari lumpur hitam yang diberi bentuk (min sholsholin min hamaaim masnuun).
Sedangkan ruh yang ditiupkan dalam tubuh manusia tidak ada perbedaan sedikitpun.
Setiap ruh yang ditiupkan pada dasarnya adalah ciptaan yang padanya mempunyai
sifat-sifat yang luhur dan mengikuti kebenaran[4].
Ruh adalah unsure tinggi yang didalamnya terkandung kesiapan manusia untuk
merealisasikan hal-hal yang paling luhur
dan sifat-sifat yang paling suci. Ialah yang membeuat manusia siap untuk
membumbung tinggi melampaui peringkat hewan. pun menetapkan baginya tujuan
tertinggi dalam hidup, emrancangkan garis-garis metode yang harus diikutinya,
dan menyempurnakan kemanusiaannya dengan kecenderungan pada sumber nilai dan
pengetahuan yang membuatnya menjadi manusia yang hakiki[5].
Ruh telah mengambil bagiannya untuk melakukan perjanjian dengan Penciptanya
ketika masih berada di alam ruh sebelum diciptakan di alam dunia, “….. Alastu
birabbikum, qooluu balaa syahidnaa…..” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?,Mereka
menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi). Ketika terjadi
kesepakatan dan kemudian ditiupkan dalam materi tanah, maka hiduplah ia dalam
wujud manusia. Dengan kata lain bahwa manusia dilahirkan dengan memiliki
kesiapan secara fitrah untuk mengenal Tuhannya (Allah swt), beriman,
mentauhidkan-Nya[6].
Pada hakikatnya dinamakan manusia karena
terdapat dua unsure dalam dirinya, walaupun dua unsure tersebut sejatinya berbeda
yaitu jasad yang berbentuk (hai’at jasadiyah) dengan segala macam fungsi
dan kegunaannya yang berbeda-beda, ia merupakan zat terendah (materi) yang
sering dipengaruhi serta juga mampu mempengaruhi[7].
Sedangkan ruh adalah independen dalam sifat-sifat suci dan luhurnya atas
kebenaran, walaupun ruh juga bisa dipengaruhi yang lainnya juga, sedangkan yang
mempengaruhinya itu adalah satu jua[8].
Namun dalam diri manusia keduanya terpadu dalam suatu kesatuan yang
komplementer dan serasi. Dari paduan yang komplementer dan serasi ini
terbentuklah diri dan kepribadian manusia.
Unsure keduanya memiliki kebutuhan yang
berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan kebutuhan merupakan sunnatullah atas
dasar ciptaan yang berbeda. Pemenuhan kebutuhan sudah menjadi naluri (gharizah)
kehidupan manusia. Tubuh manusia yang tercipta dari materi kecenderungan untuk
memenuhi kebutuhannya dengan makanan materi, minum dan biologis (seks). Kebutuhan
ruh berbeda dengan kebutuhan jasad, ruh memilih kebutuhannya dalam bentuk spiritual
– kebutuhan keberagamaan (gharizah tadayyun) yang menyebabkan menjadi
manusia sempurna dan membuatnya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan semua
makhluk ciptaan. Pemenuhan kebutuhan ruh ini menjadikan manusia mengenal
hakikat alam semesta, dimana hakikat ini mengantarkan pada hakikat penciptaan,
sehingga manusia akan tahu siapa dirinya dan mengenal siapa Tuhannya, “man
arafa nafasahu faqat arafa robbahu” (barangsiapa mengenal dirinya maka akan
mengenal Tuhannya).
Pengenalan dan penelitian terhadap Tuhan
tidak bisa dilakukan dengan kesadaran indera
yang tercipta dari materi : penglihatan, pendengaran, sentuhan, pengecapan,
penciuman, tetapi hanya bisa dilakukan dengan indera keenam dari manusia, karena
hakikatnya Tuhan tidak sama dengan ciptaanNya (mukholafatu lil hawadits).
Indera keenam manusia sangatlah tersembunyi, ia perlu diriyadhai untuk
merasakan dan menghadirkannya.
Memahami sesuatu yang transenden (immateri)
harus melalui spiritual sebagai konsekuensi logis dari sesuatu yang tidak bisa dipahami
melalui panca indera (materi). Oleh karena itu, spiritual menjadi
kebutuhan manusia untuk mencapai tingkat kesempurnaan ciptaan.
Dalam kajian ilmu tasawuf ada enam indera
kesadaran spiritual untuk memahami hakikat-hakikat spiritual yang lebih tinggi
dan jauh diluar jangkauan fisik. Indera-indera ini dikenal sebagai lataif
sitta[9].
Lataif adalah jamak dari latifa yang berarti perasaan yang halus
dan sitta artinya enam, yaitu[10]:
1. Latifa
Nafs (Hawa
nafsu) terletak di bawah pusar dan memancarkan aura (nur) berwarna kuning
2. Latifa
Qalb (Hati)
terletak di dada sebelah kiri dan memancarkan aura (nur) berwarna merah
3. Latifa
Ruh (Jiwa) terletak
di dada sebelah kanan dan memancarkan aura (nur) berwarna hijau
4. Latifa
Sirr (Rahasia) terletak
di antara Latifa Qalb dan Latifa Ruh dan memancarkan aura (nur)
berwarna putih
5. Latifa
Khafi
(Tersembunyi) terletak ditengah-tengah dahi dan memancarkan aura (nur) berwarna
biru
6. Latifa
Akhfa
(Paling tersembunyi) terletak di puncak kepala dan memancarkan aura (nur)
berwarna hitam.
Dalam alam fikiran sufi untuk memahami lataif
sitta tidak melepaskan diri dari dasar-dasar pencapaian tingkatan sufi,
yaitu syariat sebagai pondasi utama memahami tarekat, yang kemudian mampu masuk
pada alam hakikat, sehingga akan sampai pada kesempurnaan pengenalan diri mengetahui
zat ilahiyah (makrifat) atau dalam keadaan fana yang mampu
menyerap sifat-sifat ilahiyah. Maka gelar yang akan disandangnya adalah al
Insan al Kamil (manusia sempurna). Wallahu ‘alam bis shawaf.
[1] Capt. Wahid Bakhsh Rabbani, Sufisme Islam,
(Jakarta: Sahara Publisher, 2004) hlm.68
[2] Di berbagai tempat dalam Al Qur’a, Allah mengemukakan
berbgai fase penciptaan Adam as. Mengenai hal ini, lihat Abu al Qasim al Hasan
ibn Muhammad al Mufadhdhal al Raqib al Assfahani, Kitab Tafshil al Nasy’atain
wa Tahshil al-Sa’adatain, (Beirut:t.p.,1319H) dan Muhammad Mutawalli as Sya’rawi,
Mu’jizad al Qur’an, Vol.1 (Kairo: Kitan al Yaum:, 1980), lihat dalam Dr.
M. Utsman Najati, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, terjemah. Ahmad Rofi’ ‘Usmani,
(Bandung: Pustaka, 1997) hlm.242-243,.
[3] Al Qur’anul karim, lihat juga al Hijr, 15:28-29
[4] Al Bahi al Khuli, Adam as: Falsafah Taqwim al Insan
wa Khilafatih, cet ketiga (Kairo: Maktabah Wahbah, 1974), hlm.22--- lihat
dalam Dr. M. Utsman Najati, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, terjemah. Ahmad
Rofi’ ‘Usmani, (Bandung: Pustaka, 1997) hlm. 243
[5] Dr. M. Utsman Najati, Al Qur’an dan Ilmu Jiwa, terjemah.
Ahmad Rofi’ ‘Usmani, (Bandung: Pustaka, 1997) hlm. 243
[6] Dr. M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan
Hadits Nabi, terjemah. Wawan Djunaedi Soffandi, S.Ag, (Jakarta: Mustaqiim,
2000) hlm. 37
[7] Imam ar Razi, Ruh dan Jiwa: Tinjauan Filosofis
dalam Perspektif Islam, terjemah. H.Mochtar Zoerni, Joko S.Kahhar (Surabaya:
Risalah Gusti, 2001), hlm. 69
[8] Imam ar Razi, Ruh dan Jiwa ………
[9]
Capt. Wahid Bakhsh Rabbani, Sufisme Islam,
(Jakarta: Sahara Publisher, 2004) hlm.70
[10] Capt. Wahid , Sufisme Islam ……..