Kamis, 11 Februari 2016

Ma'rifah an Nafs (Mengenal Diri Lebih Dekat)



MENGENAL LEBIH DEKAT DIRI SENDIRI
(MA’RIFAH AN NAFS)
 Hasil gambar untuk ma'rifat mengenal diri
Akhmad Hasan Saleh, MPI.

Dalam sebuah penciptaan tentunya sudah dipersiapkan perangkat yang mendukung terhadap ciptaan itu, misalkan seseorang yang membuat robot pastinya menjadikan robot itu bisa bergerak, bersuara bahkan sesuai dengan kebutuhan dari pembuatnya. Ketika robot mengalami kerusakan, perangkat (sparepart)nya sudah dipikirkan sebelumnya, mudah di dapat atau tidak, ketangguhan robot pun juga menjadi pertimbangan dan segala macamnya, sehingga menjadikan robot tersebut tangguh dan sempurna.
Begitu pula yang terjadi dalam penciptaan manusia, Allah telah menciptakan manusia dengan segala kesempurnaanya, mulai dari penggerak sampai dengan perbaikannya saat mengalami kerusakan, sehingga tetap terlihat fresh kembali. Manusia diciptakan dengan segala macam kebutuhannya baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan non fisik. Dibalik penciptaan manusia, Allah juga memberikan potensi luar biasa pada manusia. Potensi itu dimiliki manusia sejak awal diciptakan dan terlihat pertama kali pada proses penciptaan manusia dengan kualitas dan kemampuan terdahsyat, sampai manusia dilahirkan ke muka bumi dengan wujud kesempurnaan penciptaan.
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:” Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah yang  liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Al Hijr: 28-29).
Potensi dasar kehidupan yang Allah berikan pada manusia yaitu diri kita berupa materi (jasad/fisik) dan non materi (ruh/ruhani). Dalam perjalanan kehidupannya potensi yang Allah berikan pada manusia membutuhkan asupan untuk mampu terus bertahan. Pemenuhan kebutuhan atas kedua potensi sesuai dengan fungsinya masing-masing.  
Jasmani (jasad/fisik) sebagai bentuk materi tentunya membutuhkan asupan sesuai dengan wujudnya yaitu asupan yang berbentuk materi (hajatun adlawiyah). Kebutuhan jasmani secara umum timbul sebagai reaksi dari dalam tubuh dan merupakan reaksi otomatis yang termasuk bagian dari mekanisme tubuh manusia,  baik mendapat rangsangan dari luar atau reaksi alami yang sesuai dengan kebutuhan badan atau yang terkait dengn materi. seperti kebutuhan makan, minum, buang air besar atau kecil  dan lain-lain. Pemenuhan secara materi harus dipenuhi secara pasti, karena jika tidak terpenuhi akan berdampak pada kematian. Pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani terdorong secara otomatis, tidak dibutuhkan latihan (riyadhoh) tetapi dengan sendirinya akan melakukan pemenuhan terhadap kebutuhannya masing-masing, misalkan jika haus maka dengan sendirinya manusia akan minum, jika lapar maka akan makan, jika lelah maka akan istirahat, jika ngantuk maka akan tidur dan sebagainya.
Sedangkan jiwa (ruh/ruhani) berbentuk non materi yaitu berupa naluri (gharizah). Kebutuhan dari naluri harus pula dipenuhi, karena setiap potensi memiliki haknya masing-masing. Kebutuhan naluri (gharizah),  kebanyakan merupakan hal-hal yang bukan berbentuk materi pula meskipun berawal dari panca indra (dari luar), akan tetapi  lebih kepada sifat-sifat dan makna-makna atau kebutuhan yang bersifat non materi. Seperti kebutuhan biologis, kebutuhan untuk mempertahankan diri, dan lain sebagainya. Tetapi, jika gharizah tidak terpenuhi tidak akan menjadikan manusia mati, hanya saja ia akan merasa resah, bimbang dan bingung tanpa ketenangan dan kebahagiaan. Pemenuhan kebutuhannya berbeda dengan jasmani yang secara otomatis dilakukan, tetapi untuk ruhiyah tidak secara otomatis–dibutuhkan latihan (riyadhoh) sebagai pendorong dari luar  atau penyebabnya dari luar diri manusia yang kemudian masuk dalam gharizah memberikan dorongan sehingga menjadi amal perbuatan.
Dalam pembahasan nidzamul ijtima’i (system pergaulan) dijelaskan bahwa gharizah merupakan fitrah dan menjadi kebutuhan manusia. Gharizah terbagi menjadi tiga bagian yaitu pertama, naluri terhadap lawan jenis/libido/sex (gharizah an nau’) yaitu naluri yang cenderung pada kebutuhan biologis. manusia dan hewan/binatang memiliki gharizah an nau’. Munculnya gharizah an nau’ karena kebutuhannya atas pasangan kehidupan atau juga bisa dimunculkan dengan cara berfikir tentang wanita-wanita cantik, melihat film atau gambar porno dan lain-lain yang berhubungan dengan seksualitas. maka untuk memenuhinya dengan cara melakukan pernikahan/perkawinan sesuai aturan syari’at. jika gharizah an nau’ dibiarkan akan menyebabkan tidak terkendalinya nafsu seksualitas sehingga terjadi pelanggaran syariat berupa perzinaan, pacaran, sodomi, lesbian dan sebagainya.
Kedua, naluri mempertahankan diri (gharizah al baqo’) yaitu naluri untuk membela atau bertahan dari segala macam ancaman atau serangan dari luar dirinya. Naluri  mempertahankan diri muncul sebagai reaksi terhadap sesuatu yang ditakuti,  dengan bermacam wujud dan cara ia bertahan, terkadang dalam bentuk perlawanan atau sebaliknya ia menjadi “ngatok”. bentuk lain dari gharizah al baqo’ adalah ketakutan terhadap sesuatu yang sifatnya keduniawian, loyal terhadap atasan, ambisi terhadap jabatan, atau bahkan mengejar-ngejar jabatan atau pangkat, gila hormat atau takut tidak dihormati dan sebagainya. sehingga dalam memenuhi kebutuhan gharizah al baqo’ dengan cara bekerja, menjabat, dihormati/menghormati dan sebagainya.
Gharizah an nau’ dan gharizah baqo’ sangat banyak dimiliki oleh kebanyakan manusia saat ini, sehingga dengan gharizah tersebut tidak mengenal waktu, tempat atau bahkan menyalahi aturan untuk sedemikian rupa memenuhi kebutuhannya. jika pemenuhan kebutuhan terhadap gharizah tersebut terpenuhi seakan-akan dunia sudah dirangkulnya dan kebahagiaan menjadi miliknya. namun ada satu gharizah yang kemudian banyak orang melupakannya, sedangkan gharizah ini menjadi kunci dasar orang menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat yaitu gharizah yang ketiga, naluri beragama (gharizah tadayyun) yaitu naluri akan kebutuhan terhadap agama (aturan). Gharizah tadayyun juga bisa dikatakan sebagai gharizah kebertuhanan (artinya kebutuhan atas Tuhan). Gharizah ini merupakan kebutuhan dasar dalam diri manusia, karena telah melekat sejak awal penciptaan manusia yaitu perjanjian antar ruh dan Allah di Arsy. Kesepakatan dari perjanjian tersebut berbunyi “alastu birabbikum?, qolu ”bala syahidna” (Apakah aku ini adalah Tuhanmu, berkata ruh “benar aku bersaksi Engkau Tuhanku). gharizah tadayyun yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya dan menjadikan kesempurnaan dalam dirinya.
Pemenuhan kebutuhan terhadap gharizah tadayyun dengan cara melakukan pensucian terhadap jiwa/ruh melalui sesuatu yang dianggap Pencipta atau Agung bagi persepsi manusia, maka dari itu dalam diri manusia ada kecenderungan untuk beribadah kepada Allah, perasaan kurang, lemah dan membutuhkan kepada yang lainya. Hanya saja diantara manusia banyak yang keliru dalam rangka memenuhi kebutuhan naluri yang satu ini. Contohnya diantara manusia ada yang menyembah berhala, mensucikan pohon keramat, dijawa ada khurafat “Dewi Sri, Nyi roro kidul”, menyembah sesama manusia dan lain-lain. Ada kisah orang atheis pun yang katanya tidak mengakui adanya tuhan, toh mereka juga mensucikan orang-orang tertentu semacam Lenin dan Stelin. Semua itu sebenarnya wujud kebutuhan dari naluri yang memang diberikan oleh Allah SWT sebagai sang Penciptanya. Adanya kebutuhan ini dalam AL-quran telah di isyaratkan. Allah SWT berfirman:
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan ni’mat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah ia berdo’a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglahlah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka”. (QS Az Zumar 8).
Pemenuhan kebutuhan gharizah tadayyun sangat fundamental, karena akan membentuk pribadi seseorang baik atau buruk, masuk syurga atau neraka (walaupun bukan menjadi jaminan, namun minal menjadi stardartnya). Jika kebutuhan Gharizah tadayyun terpenuhi dengan baik melalui konsumsi dzikir, sholawat, sholat, puasa, zakat dan amalan-amalan lainnya, maka akan menjadikan manusia hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebaikan akan didapatkan tidak hanya untuk dirinya, namun juga akan terpancar pada orang lain dan lingkungannya, yaitu akan lebih baik dari sebelumnya secara integral, baik dari segi amal perbuatan maupun ekonomi dan social kemasyarakatannya.

Rabu, 10 Februari 2016

Interkoneksi al Af idah



INTERKONEKSI AL AF IDAH
 Hasil gambar untuk jiwa

“Orang yang mencintai dunia (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (macam penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir

(Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah)


Manusia sebagai ciptaan telah mencapai pada titik kesempurnaan sebagaimana sang Pencipta mengabadikannya dalam surat at Tin: 4, “ Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Allah swt telah memberikan hardware dan software dengan segala perangkatnya, dan bahkan dilengkapi dengan cara maintenance dirinya. Bentuk kesempurnaan yang Allah berikan pada manusia adalah kelengkapan berupa as sam’a, al abshor dan al af idah (pendengaran, penglihatan dan jiwa). Kelengkapan itulah yang menjadikan manusia dari tidak tahu menjadi tahu sebagaimana Allah sampaikan dalam surat An Nahl: 78.

Dalam An Nahl:78 tersebut jelas bahwa  as sam’a, al abshor  adalah sesuatu yang melekat di jasad dan sebagai hardware, sedangkan al af idah merupakan software sebagai penggerak dari hardware, yang dimulai dari niat menjadi amal dan termaintenance dengan sendirinya oleh al af idah yang ada dalam setiap diri manusia masing-masing.

Sebagai seorang muslim tentunya akan tetap menjaga al af idahnya sehingga dapat terawat dengan baik dan bahkan mampu membangun peradaban dunia untuk lebih beradab. Bahkan dunia Barat mencatat bahwa peradaban Islam sebagai bangunan timur yang hebat dihasilkan dari ayat-ayat dalam kitab suci al Qur’an. Kehebatan yang dibangun dalam peradaban Islam sehingga melahirkan ilmuwan-ilmuwan muslim bukan karena as sam’a wal abshor” nya, tetapi karena al af idah yang telah Allah berikan pada setiap muslim.

Kata al af idah dalam beberapa referensi bermakna sebagai sadr (hati bagian luar), qolbu (hati bagian dalam), fuad (hati yang lebih dalam) dan albab (hati nurani). Dalam hal ini makna al af idah sebagai albab yang merupakan jamak dari “lubb” yang berarti racun, akal, hati, inti, dan sari. Menurut tasawuf istilah “lubb” adalah hati nurani (hatinya hati). Dari makna ini kita harus mulai berfikir sebagai muslim yang akademis, Bagaimana pemanfaatan al af idah dalam dunia akademisi? Bagaimana konteks al af idah bagi pencari ilmu (pelajar/mahasiswa)? Bagaimana al af idah bagi seorang guru atau dosen? Bagaimana al af idah bagi karyawan atau pegawai?.

Tentunya akan berbeda seorang muslim dengan non-muslim dalam penggalian ilmu pengetahuan. Barat yang hanya menggunakan pendengaran, penglihatan dalam pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan mampu melahirkan empirisisme yang bersifat keduniawian saja. Tetapi, ketika pengkajian dan penelitian ilmu pengetahuan melibatkan al af idah maka akan menjadi Islamic knowledge, seorang muslim dalam pengkajian dan penelitiannya terhadap ayat kauniyah selalu melibatkan ayat kauliyah, selalu mengaitkan amalnya dengan ilahiyah. Karena sifat daripada al afidah yang selalu terikat dengan Penciptanya. Sehingga, dari sekedar pendengaran dan penglihatan kemudian melibatkan al afidah akan memunculkan cahaya ilmu (nur), maka minaddzulumati ila an nur harus menjadi tujuan bagi setiap muslim, khususnya bagi akademisi agar ilmu yang diberikan oleh guru dan diperoleh oleh mahasiswa bermanfaat untuk kemaslahatan umat “khairunnas anfa’uhum linnas”.

Manusia yang tidak menggunakan al af idahnya akan suka SMS (Senang Melihat orang lain Susah, Susah Melihat orang lain Senang). Maka manusia yang demikian akan menjadi manusia yang merugi, karena waktunya sudah dihabiskan untuk iri, dengki, hasud dan sebagainya, (wal ‘asri innal insaana lafi husrin).

Al af idah menjadikan kecerdasan bagi manusia, sehingga ia tidak rugi di dunia dan di akhirat. Al af idah akan mengikis 3 macam penderitaan yang dikatakan oleh ibn Qoyyim al Jauziy yaitu Kekalutan (pikiran) yang selalu menyertainya, kepayahan yang tiada henti, dan penyesalan yang tiada berakhir. Al Af Idah menjadi keunggulan tersendiri bagi manusia, ia dapat berbentuk apapun sehingga menghilangkan penderitaan yang disebut ibn Qoyyim al Jauziy. Al af idah bisa berbentuk semangat dakwah, dzikir, atau semangat ibadah yang lain bahkan dapat membangkitkan semangat entrepreneurship dalam wujud karya ilmiah, ide cemerlang, pikiran positif, motivasi pengembangan intelektual atau lembaga. Jika al Af idah menjadi pondasi dasar dan terbina maka akan melahirkan keikhlasan, kejujuran, kesabaran, amanah, akhlaqul karimah dan sebagainya.

Al Af idah mampu menginterkoneksikan bidang keilmuwan apapun, ketika mendapatkan petunjuk dan jalan lurus dalam kesadaran ilahiyah. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah Benarkah konsep al Af idah yang ada dalam diri kita? Apa bentuk al Af idah dalam diri kita? Bagaimana pendapat anda tentang al Af Idah? Silahkan memberikan interpretasi sendiri tentang al af idah dalam diri anda.