AGAMA
SEBAGAI SUMBER PERADABAN
Oleh. Akh.Hasan
Saleh, MPI.
A.
Memaknai Peradaban
Agama dan
peradaban bagi sebagian kalangan menjadi sesuatu yang tabu bahkan tidak mungkin
terjadi. Bagi barat peradaban jauh lebih baik daripada agama, sehingga tidak
ada keterkaitan antara agama dan peradaban. Kemustahilan agama membangun sebuah
peradaban di ”aamiini” oleh kalangan liberal termasuk juga dari umat islam yang
berpandangan barat (westernize). Peradaban
dalam banyak pandangan barat hanya dipahami pada perkembangan dan kemajuan
teknologi, sehingga agama dianggap sebagai penghambat dari berkembangnya dan
kemajuan peradaban umat manusia.
Barat
berpandangan tanda dari sebuah peradaban adalah kemajuan dari sisi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak ada kaitannya dengan
agama, sehingga Karl Marx menyatakan bahwa agama adalah candu bagi kemajuan
sebuah bangsa[1].
Peradaban akan maju jika menghilangkan agama dari sisinya dan peradaban hanya
bisa dibangun dengan ilmu dan teknologi. Karena peradaban itu ditandai dengan
kemajuan industrialisasi. Dimana sebuah negara dikatakan maju dan membangun
peradabannya ketika industrialisasi menjadi pusat perhatian dalam
pembangunannya. Industrialisasi adalah produk dari paham materialisme
kapitalis.
Ketika
peradaban hanya dimaknai dari satu sisi
kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tanpa melibatkan agama didalamnya, maka
yang akan terjadi adalah eksploitasi alam semesta, perampasan hak atas individu
berupa hilangnya pekerjaan manusia karena tergantikan dengan mesin, hilangnya social human dan arogansi moralistic.
Sisi lain
dari barat ketika membangun sebuah peradaban, misalkan dimana ada pembedaan
etnik antara kulit hitam dan kulit putih, sehingga yang terjadi adalah
penindasan kaum borjuis (bc: berkulit
putih) terhadap kaum proletar (bc: berkulit
hitam). Dikotomi ras, kulit dan materi melahirkan perbudakan terhadap kaum
yang lemah. Peradaba yang dianggap membela HAM atas sebagian manusia yang lain
sebenarnya telah menghancurkan HAM itu sendiri dari sisi yang lain. Misalnya,
dalih kebebasan berpendapat akan terjadi penghinaan terhadap agama dan Tuhan,
kebebasan berpakaian merendahkan martabat wanita dan merusak moral manusia. Jelas,
itu adalah cacat dan noda hitam yang melekat di wajah peradaban barat atas
penindasan manusia dan merendahkan nilai kemanusiaan.
Barat
sebagai negara yang dianggap sebagai bangsa berperadaban tinggi – jika dilihat
– dari sisi peradaban materi (al hadarah
al maddiyah), industri (al intaj al
sina’i) dan perkembangan sains (al
ikhtira’ al ilmi’). Barat menjadikan emperisme materialistik sebagai
standar dari peradaban dan pembangunan kemanusiaan. Jika peradaban yang
dimaksud barat adalah demikian, maka dapat dikatakan bahwa itu hanya merupakan
bagian terkecil dari sebuah peradaban
yang dimaksud dalam Islam. Ketika menggunakan pola pemikiran barat dalam
memaknai peradaban tidak akan pernah tercapai kedamaian dan kesejahteraan manusia.
Oleh karena
itu, ketika memaknai peradaban harus sesuai dengan worldview sebagai manusia yang religious
moralistic–manusia yang memiliki sifat kebertuhanan dan kemanusiaan.
Dikatakan kebertuhanan karena manusia memiliki hak untuk menentukan kebenaran
yang membawa pada kebaikan dan penjagaan terhadap alam semesta sert mampu
membedakan kebaikan dan keburukan. Sedangkan kemanusiaan yang menjadikan
dirinya berbeda dengan sifat kebinatangan yang rakus, bermusuhan, merusak dan individualis
(hanya untuk kepentingan dirinya). Manusia sebagai makhluk yang memiliki moral,
akhlak, adab atau tatakrama mampu
bersosial dan memberikan manfaat untuk manusia yang lain.
Seorang
muslim tentunya memaknai peradaban sesuai dengan worldview Islam sebagai tolak ukur dan bentuk konsistensi atas syahadat
yang diikrarkannya. Peradaban dalam Islam diderivasi dari kata hadarah dan sebagian yang lain
menyebutnya tamaddun. Menurut Hamid
Fahmi tamaddun yang secara literal berarti
peradaban (civilization) yang berarti juga
kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau
kebudayaan kota (culture of the city). Di
kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau
tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islamy (Sejarah Peradaban Islam),
terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara
luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk
pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang
dengan menggunakan akar madinah atau madana atau madaniyyah menggunakan
istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang
ini menggunakan kata hadarah untuk peradaban,
namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan
lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua
Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk
pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib.[2]
Pakar yang
lain memberikan definisi peradaban sebagaimana yang dikutip oleh Nasih al
Ulwan,
“Produk manusia
berupa peradaban (madani) dan social dengan berbagi karakteristik pemikiran (al fikriyyah), spiritualitas (al ruhiyah), intuisi (al wijdaniyyah) dan etika (al sulukiyyah) sebagai media untuk
mencapai tujuan bangsanya. Plus, apa
saja yang diinginkanoleh bangsa tersebut berupa nilai-nilai (qiyam), contoh-contoh
(perumpamaan-perumpamaan, pepatah-pepatah) dan prinsip-prinsip.”[3]
Definisi
yang lebih ringkas dan padat diberikan oleh Yusuf al Qordawi dalam bukunya al Sunnah Masdaran li al Ma’rifah wa al
Hadarah: “Sekumpulan bentuk-bentuk kemajuan; baik yang berbentuk kemajuan
materi, ilmu pengetahuan, seni, sastra, ataupun social, yang ada dalam satu
masyarakat atau pada masyarakat yang serupa.”[4]
Dari definisi pakar diatas dapat
dipahami bahwa peradaban harus memiliki kompleksitas konsep baik dari sisi
kemajuan materi (al ruqiy al maddi)
dan maknawi (al ruqiy al ma’nawi).
Sisi kemajuan materi (al ruqiy al maddi)
yang dimaksud berupa: tekhnologi (tiknulujiyyah) industrialisasi (sina’ah), perdagangan (tijarah), pertanian (zira’ah), kerajinan (ikhtira’), dan seni (funun). Sedangkan sisi maknawi (al ruqiy al ma’nawi) berkaitan dengan
nilai-nilai spiritualitas (al qiyam al
ruhiyyah), kaidah-kaidah moralitas (al
qawaid akhlaqiyyah), produk pemikiran (al
intaj al fikri), dan karya sastra (al
ibda’ al adabi).
Peradaban tidak dapat meninggalkan
salah satunya untuk bisa mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Jika
melepaskan atau menonjolkan salah satunya akan tampak kekurangannya dan tidak layak
disebut sebagai peradaban yang sempurna. Bisa jadi suatu bangsa maju dari sisi
teknologi, industrialisasi, perdagangan, tetapi hilang yang namanya nilai-nilai
spiritual, maka akan terjadi kepincangan dalam membangun hubungan manusia
dengan penciptanya yang kemudian akan melahirkan produk pemikiran sekuler dan
memunculkan kaidah-kaidah moralitas yang seakan-akan baik, namun sesungguhnya
menghancurkan tatanan syariah.
B. Islam sebagai Agama dan Peradaban
Untuk
memahami agama ada beberapa indicator yang harus ditelaah, sehingga sesuatu
paham itu dikatakan sebagai sebuah agama yang dijamin kebenaran ilmiahnya. Menurut
Sayyid Muhammad Alawi al Maliki mengatakan bahwa Agama ini tidak berubah
seiring dengan bergantinya zaman. Azas dan doktrin utamanya sama, yakni
mengesakan Allah (tauhid) dan
melaksanakan ibadah dengan ikhlas semata-mata demi mencari ridha Allah. Agama
ini juga menjadi sebuah undang-undang yang mengatur kehidupan manusia,
memberikan penugasan, memantau perbuatan mereka dan bahkan mengevaluasinya.[5]
Agama tidak
hanya sekedar doktrin tetapi suatu konsep utuh tentang kehidupan. Dalam kitab
negarakertagama mengartikan agama berasal dari kata A (berarti “tidak), Gama (artinya
“kacau”), sehingga dapat diartikan secara leterasi bahwa agama adalah tidak
kacau. Sehingga seseorang yang beragama sesungguhnya ia tidak akan mengalami
kekacauan, baik dari segi keimanannya, konsep dirinya dan konsep memahami
kehidupan kehidupan. Namun jika menjadi kebalikannya, hidupnya semakin kacau,
Tuhan dipertanyakan keabsolutannya, Kitab diragukan keontetikannya, maka ada
kesalahan konsep dalam agama tersebut. Kekacaauan atau ketidaksempurnaan konsep
agama disebabkan karena agama yang diyakini adalah hasil dari eksperimentasi
dari budaya-budaya yang kemudian menjadi sebuah keyakinan dengan segala bentuk
ritualnya.
Agama
dikatakan sempurna jika memiliki indicator ilmiah, antara lain: memiliki Tuhan
sebagai pencipta atau yang mengatur kehidupan (al Kholiq), memiliki kitab sebagai panduan kehidupan (al hady), memiliki utusan sebagai
pembawa pesan (ar risalah). Semua
agama di Indonesia memiliki indicator yang dimaksud, namun permasalahannya
apakah Tuhannya valid sesuai indokator ketuhanan, yaitu tidak sama dengan
makhluknya (al mukhalafah lil hawadits),
tidak menggntungkan kebutuhannya pada yang diciptakannya atau berdiri sendiri (al qiyamuh bi nafsih), Tuhan tidak
musnah ditelan masa atau kekal (al baqo’).
Jika
indikator ketuhanan mampu mempertahankan suatu paham sebagai agama, maka belum
cukup jika kitab yang diyakininya mampu membuktikan sebagai agama yang benar.
Adapun indicator dari sebuah kitab adalah memberikan pedoman lengkap tentang kehidupan
dan permasalahan dunia. Kitab yang diturunkan Tuhan tidak akan mengalami
perubahan dari masa ke masa, bahkan dapat dibuktikan kebenaran ilmiahnya.
Sedangkan utusan menunjukkan ketinggian akhlaqnya terhadap sesama dan membawa
kedamaian terhadap alam semesta.
Islam
memiliki indicator ilmiah tersebut, sehingga pantaslah islam dikatakan sebagai
agama dan peradaban, karena kompleksitas konsep yang dimilikinya. Islam
mengajarkan untuk memiliki tauhid sebagai bentuk keimanan pada keabsolutan
pencipta, meyakini al qur’an sebagai firman yang teruji keilmiahannya, dan
menjadikan rasul yang ummi sebagai
pembawa risalah.
Islam bukan
hanya sebagai agama, tetapi Islam merupakan sebuah peradaban. Prof. Muhammad
Naquib Al Attas menyebut peradaban dengan “Tamadun”, yang berasal dari kata kerja Dāna (دان )
yang berasal dari kata dīn bermakna keadaan berutang. Keadaan seorang yang
sedang berutang (dā’in), semestinya menundukkan dirinya, yaitu berada dalam
keadaan berserah dan taat kepada hukum dan aturan dalam berutang, dalam keadaan
tertentu juga terhadap pemberi utang yang juga dipanggil sebagai dā’in.
Pengertian ini juga membawa maksud bahwa seseorang yang dalam keadaan berutang
berarti mempunyai suatu kewajiban atau dayn (دين ).
Kondisi tersebut yakni dalam keadaan berutang secara tabiinya berkaitan dengan
suatu penghakiman atau daynūnah (دينونة )
dan pemberian hukuman atau idānah إدانة)).
Makna diatas membawa maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku, dan ajaran
yang diikuti oleh seorang muslim secara individu maupun secara kolektif sebagai
satu umat dan terjelma secara keseluruhan sebagai agama yang dimaksud dengan
Islam.
Seluruh kata beserta makna tersebut yaitu dā’in (yang berutang dan pemberi
utang), dayn (kewajiban), daynūnah (penghakiman) dan idānah (pemberian hukuman)
merupakan kesepaduan sistem semantik yang muncul dari kata kerja dāna yang pada
kehidudan nyata hanya dapat terjadi dalam sebuah masyarakat yang tersusun dan
terlibat dalam kegiatan perdagangan yang disebut dengan mudun مدن) )
atau madā’in (مدائن)
suatu kota. Ketika din
(agama) Allah yang bernama Islam telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu
tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah (مدينة)
yang memiliki seorang hakim, penguasa, atau pemerintahan yang disebut dayyān (ديّان). Kemudian, dari penggunaan kata yang berasal dari kata dāna,
kita dapat melihat suatu gambaran dalam fikiran kita bahwa hal ini berkaitan
dengan kehidupan suatu peradaban atau tamaddun (تمدن)
yang berasal dari kata maddana مدّن))
suatu kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh hukum, peraturan, peradilan dan
otoritas. kata maddana bermakna membangun atau membina kota, membangun
peradaban, memurnikan dan memanusiakan. Sedangkan tamaddun bermakna peradaban
dan perbaikan dalam budaya sosial.
Prof. Muhammad naquib Al Attas menggunakan kata “tamaddun”, karena memiliki kaitan dengan diberlakukannya
aturan-aturan agama didalamnya.[6]
Dengan demikian, Islam merupakan agama
sekaligus peradaban yang sempurna. Sayyid Muhammad Alawi al Maliki mengatakan,
“ Sekiranya tidak ada pertentangan dan
konflik dahsyat diantara kedua agama itu, tidak ada kerusakan dan kerancuan
didalamnya, dan tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam kedua kitab
itu – yang sampai menyentuh inti ajarannya serta ada keyakinan bahwa Allah
mempunyai anak; nabi diangkat sebagai tuhan; dan tuhan diyakini sebagai satu
tetapi terdiri atas tiga oknum – dan sekiranya bukan karena hal-hal negative
seperti itu, tentulah kedua agama itu akan menyatu dan menjadi satu agama.
Kemudia kedua agama itu, Kristen dan Yahudi sebagai agama samawi akan bertemu
dengan Islam, agama yang lurus. Bahkan kedua agama itu akan bernaung dibawah
panji Islam. Dan, pada akhirnya, tidak ada agama selain Islam – agama Allah
yang murni dan diridhaiNya, yang syariatNya untuk kesejahteraan umat manusia
dan menyelamatkan dunia dan kehancuran dan bencana.[7]
Allah mempertegas dalam firmannya QS.
Ali Imran: 85, “Barangsiapa mencari agama
selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya dan
diakhirat nanti ia termasuk orang-orang yang rugi”.
Islam sebagai agama yang murni telah
menjadi aturan perundang-undangan bagi manusia untuk mengatur, mengelola bahkan
mengevaluasi kehidupan agar tercapai kesejahteraan, kedamaian dan ketenangan
kehidupan, karena Allah telah memberikan ridhaNya pada umat dan memilih Islam
sebagai agama bagi manusia, “….Sesungguhnya
Allah telah memilih agama ini bagimu,…..” (QS. Al Baqarah:132), maka
pentingya membangun peradaban dengan memegang teguh agama Islam sebagai sumber
peradaban. Karena Islam sebagai jalan hidup dan penentu segala hukum bagi
kemaslahatan manusia, baik baik yang umum maupun yang paling spesifik, maka
yang kami maksudkan adalah sebagai berikut: Islam sebagai suatu akidah yang
mesti diikuti dan sebagai undang-undang penentu syariat; Islam sebagai suatu
system ekonomi, bahkan sebagai falsafah untuk menentukan hokum dan risalah
tentang akhlak dan keadilan social yang mempunyai nilai tinggi; Islam sebagai
undang-undang yang komprehensif bagi segala sector kehidupan; Islam sebagai
undang-undang lengkap yang meliputi segal wilayah masyarakat insane yang
senantiasa maju dan berkembang, dan mencakup sendi-sendi peradaban ilmiah dan
warna-warna atau macam-macam kebudayaan yang bagaimana, kapan, dan dimanapun.[8]
Dengan demikian, Islam adalah agama
yang memantau dada dan hati manusia sekaligus. Islam menagawi perbuatan dan
pemikirannya. Islam tidak memperhatikan wajah dan ucapan seseorang. Sebab,
wajah atau penampilan manusia dan perkataannya bukanlah ukuran kebaikannya, dan
tidak pula menentukan keimanan mereka yang sebenarnya. Islm yang benar adalah
Islam yang syarat dengan nilai-nilai peradaban dan kebudayaan, penuh dengan
kasih sayang bagi setiap yang memiliki hati yang hidup.
C. Bukti Islam Membangun Peradaban
Islam yang telah
hadir dengan aturan yang komplit dan sesuai dengan segala zaman telah
membuktikan pada dunia selama 7 abad lamanya. Sejak masa Rasulullah yang baru
berusia belasan tahun membawa risalah perdamaian dan kemuliaan bagi umat manusia
pada masa dimana kehormatan “dicabik-cabik” oleh umat manusia pada bmasa
jahiliyah. Kemudian risalah diterima oleh sebagian kecil pemuda misalkan Arqom
bin Abi Arqom al Makhzumiy (13 tahun)[9]
yang memberikan perlindungan pada Rasulullah dirumahnya untuk memberikan
pembinaan pada beberapa sahabat sebut saja Zubair bin ‘Awam (15 tahun), Thalhah
bin ‘Ubaidillah (16 tahun), Sa’ad bin Abi Waqash (17 tahun), bahkan Ali bin Abi
Thalib masuk Islam dan memahaminya pada usia 10 tahun dan masih banyak sahabat
lainnya yang mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk mempertahankan
islam melalui dakwah.
Kemudian pada
zamannya Islam mengalami masa keemasan ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa.
Kejayaan tersebut ditunjukkan dengan berbagai peninggalan-peninggalan dan
karya-karya ilmuwan muda Islam yang memberikan kontribusi terbesar bagi
peradaban dunia. Keemasan Islam diperoleh pada masa Harun Ar Rasyid dengan
segala kebijakannya untuk membangkitkan Islam. Beliau memobilisasi potensi
pemuda untuk melakukan penerjemahan terhadap ilmu-ilmu yang ada di Yunani dan
Romawi, karena di dua bangsa tersebut mengalami masa kegelapan (dark age) dan kebuntuhan ilmu dalam
segala bidang. Sehingga dengan banyaknya penerjemah muslim, maka Harun Ar
Rasyid membangun sebuah peradaban ilmu dengan bangunan perpustakaan termegah
dan terlengkap pada masa itu, sebut saja khizanah al hikmah (Baitul Hikmah) di Baghdad,
Perpustakaan Cordoba di Spanyol, Darul Hikamah di Mesir, Al-Haidariyah di
An-Najaf , Ibnu Sawwar di Basrah dan beberapa wilayah Afrika dan Eropa.
Perkembangan perpustakaan dan keilmuwan inilah pakar
sejarah dan ilmuwan Barat mengakui kontribusi peradaban Islam terhadap Barat
(dalam buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Dr. Raghib As
Sirjani).
Montgomery Watt[10]
sampai merasa heran dan mengatakan, “Anehnya, orang-orang yang ikut serta dalam
perang salib mengaku bahwa agama mereka (Islam) adalah agama perdamaian”.
Sebagaimana Will Durrant juga mengatakan, “orang-orang eropa yang menduduki dua
negeri ini (Syria dan Palestina saat perang Salib) telah berhias dengan hiasan
Islam secara sedikit demi sedikit. Hubungan mereka dengan kaum muslimin
dikawasan tersebut menjadi semakin kuat. Jarang sekali diantara dua bangsa
tersebut yang saling menjauhi dan saling memusuhi. Para saudagar muslim secara
bebas memasuki negeri-negeri kristen dan menjual barang dagangan kepada
penduduknya. Para tokoh agama Nasrani membolehkan kaum muslimin untuk beribadah
di masjid-masjid. Kaum muslimin pun mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak
mereka disekolah-sekolah Islam yang ada di Antokia dan Tripoli yang dikuasai
Nasrani”. Hal ini menunjukkan bahwa Islam bisa berdampingan dengan agama,
karena mereka sangat merasakan kontribusi yang telah dibawa oleh pemuda muslim
dan mereka mengalami perubahan hidup yang lebih terhormat dan dihargai.
Salah satu lagi
sanjungan orientalis Perancis – Maxine Rodinson terhadap pemuda Islam yaitu
Shalahuddin Al Ayyubi (31 tahun) ketika berhasil membebaskan kota Baitul
Maqdis. Ia mengatakan, “Musuh terbesar, Shalahuddin Al Ayyubi telah menimbulkan
kekaguman yang luas dikalangan Barat. Ia telah melakukan peperangan dengan
menjunjung tinggi sisi kemanusian dan kepahlawanan, walaupun jarang ada orang
yang membalas baik atas sikap-sikapnya ini. Diantara mereka yang paling penting
adalah Richard (raja Inggris waktu itu) sang hati singa.”
Thomas Arnold
mengatakan,”Tampak jelas bahwa akhlak Shalahuddin Al Ayyubi dan kehidupannya
yang penuh dengan kepahlawanan telah menimbulkan pengaruh besar dan sihir yang
khusus ditelinga kaum Nasrani. Bahkan sebagian dari para pahlawan Nasrani
karena sangat terpengaruh dengan Shalahuddin Al Ayyubi rela meninggalkan agama
Nasrani, meninggalkan kaumnya dan bergabung dengan kaum muslimin.”[11]
Gusytave Le Bon
mengatakan,”Sesungguhnya bangsa Arab telah mempraktikkan ruh persamaan secara
mutlak sesuia dengan norma-norma mereka, dan bahwa persamaan yang diedungkan di
Eropa, hanya dalam ucapan, namun tidak dalam praktik, telah mengakar kuat dalam
karakteristik-karakteristik Islam. Kaum muslimin tidaklah mengenal
strata-strata sosial yang keberadaannya menyebabkan terjadinya revolusi paling
mengerikan di barat, dan sampai sekarang tetap masih ada.”
Kejayaan Islam
yang pernah diraih tidak hanya sekedar menemukan benda-benda, namun lebih dari
itu. Pemuda Islam telah meletakkan dasar berfikir ilmiah, khususnya dalam
bidang penelitian dan metodologi. Sebagaimana Sigrid Hunke mengakui bahwa
orang-orang muslim Arab telah mengembangkan bahan-bahan mentah yang diperoleh
dari Yunani (Greek) dengan uji coba
dan penelitian ilmiah kemudian menformulasikannya dalam bentuk yang baru sama
sekali. Sesungguhnya Arab dalam kenyataannya sendiri adalah pembuat Metodologi
Penelitian yang benar dengan didasarkan pada uji coba.”
Sesungguhnya kaum
(pemuda) muslimin Arab bukan hanya menyelamatkan peradaban bangsa Yunani dari
kepunahan, menyusun dan mengklasifikasikannya kemudian menghadiahkan ke Barat
begitu saja. Akan tetapi sebenarnya kaum muslimin adalah peletak berbagai macam
metodologi penelitian dalam segala bidang keilmuan (kimia, psikologi, ilmu
hitung, perbintangan, ilmu ukur, ilmu sosial, hukum, dan sebagainya).
[1] Marx, Karl,Opium of The People: Four
Text on Religion, terj. Martin Milligan, London: Lawrence & Wishart,
2003, hal. 48.
[2] Hamid Fahmy Zarkasy, Peradaban Islam: Makna dan Strategi
Pengembangannya, (Gontor: Seri Kajian Islam, CIOS, 2010), hal 4-5.
[3] Abdullah Nasih ‘Ulwan, Ma’alim al Hadarah fi al Islam wa Atsaruha
fi al Nahdah al Awrubbiyah, (Kairo: Dar al Salam, 2003), hal 4.
[4] Dihyatun Masqon, Studi sejarah Peradaban Islam di Perguruan Tinggi di Indonesia: Sebuah
Kajian Deskriptif dan Analisis, dalam Hamid Fahmy Zarkasy dan Mohd. Fauzi
Hamat, Metodologi Pengkajian Islam:
Pengalaman Indonesia-Malaysia, (Ponorogo: ISID Gontor, 2008), hal 334.
[5] Sayyid Muhammad Alwi al
Maliki, Ar Risalah al Islamiyah: Kamaluha
wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha, (Makkah: Dar al Qiblah, 1411H/1990),
terjemah Drs. Tarmana A.Qosim,Sempurna
lagi Abadi: Menepis Berbagai Gugatan dan Keraguan ihwal Kesempurnaan dan
Keabadian Risalah Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hal 50.
[6] Dr. Ugi Suharto, “Peradaban Islam itu di Bangun di Atas Landasan Ilmu,
majalah al Haromain edisi 86.hal 10-11.
[7] Sayyid Muhammad Alwi al
Maliki, Ar Risalah al Islamiyah: Kamaluha
wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha, (Makkah: Dar al Qiblah, 1411H/1990),
terjemah Drs. Tarmana A.Qosim,Sempurna
lagi Abadi: Menepis Berbagai Gugatan dan Keraguan ihwal Kesempurnaan dan
Keabadian Risalah Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hal 52.
[9] Dr. Raghib As Sirjany, Risalah bagi Pemuda Islam, samodra Ilmu,
Yoyakarta, 2007.
[10] Montgomery Watt (1909-2006M), seorang orientalis Inggris yang
memiliki spesialisasi Study Islam. Ia seorang dekan Fakultas Study Bahasa Arab
di Universitas Adnebra Inggris. Lihat Prof.Dr. Raghib As
Sirjany, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Pustaka al Kautsar, Jakarta,
2012.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terima kasih telah membuka blog ini