Kamis, 03 Desember 2015

AGAMA SEBAGAI SUMBER PERADABAN



  

AGAMA SEBAGAI SUMBER PERADABAN

Oleh. Akh.Hasan Saleh, MPI.


A.   Memaknai Peradaban
Agama dan peradaban bagi sebagian kalangan menjadi sesuatu yang tabu bahkan tidak mungkin terjadi. Bagi barat peradaban jauh lebih baik daripada agama, sehingga tidak ada keterkaitan antara agama dan peradaban. Kemustahilan agama membangun sebuah peradaban di ”aamiini” oleh kalangan liberal termasuk juga dari umat islam yang berpandangan barat (westernize). Peradaban dalam banyak pandangan barat hanya dipahami pada perkembangan dan kemajuan teknologi, sehingga agama dianggap sebagai penghambat dari berkembangnya dan kemajuan peradaban umat manusia.
Barat berpandangan tanda dari sebuah peradaban adalah kemajuan dari sisi ilmu pengetahuan.  Ilmu pengetahuan tidak ada kaitannya dengan agama, sehingga Karl Marx menyatakan bahwa agama adalah candu bagi kemajuan sebuah bangsa[1]. Peradaban akan maju jika menghilangkan agama dari sisinya dan peradaban hanya bisa dibangun dengan ilmu dan teknologi. Karena peradaban itu ditandai dengan kemajuan industrialisasi. Dimana sebuah negara dikatakan maju dan membangun peradabannya ketika industrialisasi menjadi pusat perhatian dalam pembangunannya. Industrialisasi adalah produk dari paham materialisme kapitalis.
Ketika peradaban  hanya dimaknai dari satu sisi kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan tanpa melibatkan agama didalamnya, maka yang akan terjadi adalah eksploitasi alam semesta, perampasan hak atas individu berupa hilangnya pekerjaan manusia karena tergantikan dengan mesin, hilangnya social human dan arogansi moralistic.
Sisi lain dari barat ketika membangun sebuah peradaban, misalkan dimana ada pembedaan etnik antara kulit hitam dan kulit putih, sehingga yang terjadi adalah penindasan kaum borjuis (bc: berkulit putih) terhadap kaum proletar (bc: berkulit hitam). Dikotomi ras, kulit dan materi melahirkan perbudakan terhadap kaum yang lemah. Peradaba yang dianggap membela HAM atas sebagian manusia yang lain sebenarnya telah menghancurkan HAM itu sendiri dari sisi yang lain. Misalnya, dalih kebebasan berpendapat akan terjadi penghinaan terhadap agama dan Tuhan, kebebasan berpakaian merendahkan martabat wanita dan merusak moral manusia. Jelas, itu adalah cacat dan noda hitam yang melekat di wajah peradaban barat atas penindasan manusia dan merendahkan nilai kemanusiaan.
Barat sebagai negara yang dianggap sebagai bangsa berperadaban tinggi – jika dilihat – dari sisi peradaban materi (al hadarah al maddiyah), industri (al intaj al sina’i) dan perkembangan sains (al ikhtira’ al ilmi’). Barat menjadikan emperisme materialistik sebagai standar dari peradaban dan pembangunan kemanusiaan. Jika peradaban yang dimaksud barat adalah demikian, maka dapat dikatakan bahwa itu hanya merupakan bagian terkecil dari sebuah peradaban  yang dimaksud dalam Islam. Ketika menggunakan pola pemikiran barat dalam memaknai peradaban tidak akan pernah tercapai kedamaian dan kesejahteraan manusia.
Oleh karena itu, ketika memaknai peradaban harus sesuai dengan worldview sebagai manusia yang religious moralistic–manusia yang memiliki sifat kebertuhanan dan kemanusiaan. Dikatakan kebertuhanan karena manusia memiliki hak untuk menentukan kebenaran yang membawa pada kebaikan dan penjagaan terhadap alam semesta sert mampu membedakan kebaikan dan keburukan. Sedangkan kemanusiaan yang menjadikan dirinya berbeda dengan sifat kebinatangan yang rakus, bermusuhan, merusak dan individualis (hanya untuk kepentingan dirinya). Manusia sebagai makhluk yang memiliki moral, akhlak, adab atau tatakrama mampu bersosial dan memberikan manfaat untuk manusia yang lain.
Seorang muslim tentunya memaknai peradaban sesuai dengan worldview Islam sebagai tolak ukur dan bentuk konsistensi atas syahadat yang diikrarkannya. Peradaban dalam Islam diderivasi dari kata hadarah dan sebagian yang lain menyebutnya tamaddun. Menurut Hamid Fahmi tamaddun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islamy (Sejarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Di Iran orang dengan sedikit berbeda menggunakan istilah tamaddon dan madaniyat. Namun di Turkey orang dengan menggunakan akar madinah atau madana atau madaniyyah menggunakan istilah medeniyet dan medeniyeti. Orang-orang Arab sendiri pada masa sekarang ini menggunakan kata hadarah untuk peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Di anak benua Indo-Pakistan tamaddun digunakan hanya untuk pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah tahdhib.[2]
Pakar yang lain memberikan definisi peradaban sebagaimana yang dikutip oleh Nasih al Ulwan,
“Produk manusia berupa peradaban (madani) dan social dengan berbagi karakteristik pemikiran (al fikriyyah), spiritualitas (al ruhiyah), intuisi (al wijdaniyyah) dan etika (al sulukiyyah) sebagai media untuk mencapai tujuan bangsanya. Plus, apa saja yang diinginkanoleh bangsa tersebut berupa nilai-nilai (qiyam), contoh-contoh (perumpamaan-perumpamaan, pepatah-pepatah) dan prinsip-prinsip.”[3]
Definisi yang lebih ringkas dan padat diberikan oleh Yusuf al Qordawi dalam bukunya al Sunnah Masdaran li al Ma’rifah wa al Hadarah: “Sekumpulan bentuk-bentuk kemajuan; baik yang berbentuk kemajuan materi, ilmu pengetahuan, seni, sastra, ataupun social, yang ada dalam satu masyarakat atau pada masyarakat yang serupa.”[4]
Dari definisi pakar diatas dapat dipahami bahwa peradaban harus memiliki kompleksitas konsep baik dari sisi kemajuan materi (al ruqiy al maddi) dan maknawi (al ruqiy al ma’nawi). Sisi kemajuan materi (al ruqiy al maddi) yang dimaksud berupa: tekhnologi (tiknulujiyyah) industrialisasi (sina’ah), perdagangan (tijarah), pertanian (zira’ah), kerajinan (ikhtira’), dan seni (funun). Sedangkan sisi maknawi (al ruqiy al ma’nawi) berkaitan dengan nilai-nilai spiritualitas (al qiyam al ruhiyyah), kaidah-kaidah moralitas (al qawaid akhlaqiyyah), produk pemikiran (al intaj al fikri), dan karya sastra (al ibda’ al adabi).
Peradaban tidak dapat meninggalkan salah satunya untuk bisa mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Jika melepaskan atau menonjolkan salah satunya akan tampak kekurangannya dan tidak layak disebut sebagai peradaban yang sempurna. Bisa jadi suatu bangsa maju dari sisi teknologi, industrialisasi, perdagangan, tetapi hilang yang namanya nilai-nilai spiritual, maka akan terjadi kepincangan dalam membangun hubungan manusia dengan penciptanya yang kemudian akan melahirkan produk pemikiran sekuler dan memunculkan kaidah-kaidah moralitas yang seakan-akan baik, namun sesungguhnya menghancurkan tatanan syariah.

B.      Islam sebagai Agama dan Peradaban
Untuk memahami agama ada beberapa indicator yang harus ditelaah, sehingga sesuatu paham itu dikatakan sebagai sebuah agama yang dijamin kebenaran ilmiahnya. Menurut Sayyid Muhammad Alawi al Maliki mengatakan bahwa Agama ini tidak berubah seiring dengan bergantinya zaman. Azas dan doktrin utamanya sama, yakni mengesakan Allah (tauhid) dan melaksanakan ibadah dengan ikhlas semata-mata demi mencari ridha Allah. Agama ini juga menjadi sebuah undang-undang yang mengatur kehidupan manusia, memberikan penugasan, memantau perbuatan mereka dan bahkan mengevaluasinya.[5]
Agama tidak hanya sekedar doktrin tetapi suatu konsep utuh tentang kehidupan. Dalam kitab negarakertagama mengartikan agama berasal dari kata A (berarti “tidak), Gama (artinya “kacau”), sehingga dapat diartikan secara leterasi bahwa agama adalah tidak kacau. Sehingga seseorang yang beragama sesungguhnya ia tidak akan mengalami kekacauan, baik dari segi keimanannya, konsep dirinya dan konsep memahami kehidupan kehidupan. Namun jika menjadi kebalikannya, hidupnya semakin kacau, Tuhan dipertanyakan keabsolutannya, Kitab diragukan keontetikannya, maka ada kesalahan konsep dalam agama tersebut. Kekacaauan atau ketidaksempurnaan konsep agama disebabkan karena agama yang diyakini adalah hasil dari eksperimentasi dari budaya-budaya yang kemudian menjadi sebuah keyakinan dengan segala bentuk ritualnya.
Agama dikatakan sempurna jika memiliki indicator ilmiah, antara lain: memiliki Tuhan sebagai pencipta atau yang mengatur kehidupan (al Kholiq), memiliki kitab sebagai panduan kehidupan (al hady), memiliki utusan sebagai pembawa pesan (ar risalah). Semua agama di Indonesia memiliki indicator yang dimaksud, namun permasalahannya apakah Tuhannya valid sesuai indokator ketuhanan, yaitu tidak sama dengan makhluknya (al mukhalafah lil hawadits), tidak menggntungkan kebutuhannya pada yang diciptakannya atau berdiri sendiri (al qiyamuh bi nafsih), Tuhan tidak musnah ditelan masa atau kekal (al baqo’).
Jika indikator ketuhanan mampu mempertahankan suatu paham sebagai agama, maka belum cukup jika kitab yang diyakininya mampu membuktikan sebagai agama yang benar. Adapun indicator dari sebuah kitab adalah memberikan pedoman lengkap tentang kehidupan dan permasalahan dunia. Kitab yang diturunkan Tuhan tidak akan mengalami perubahan dari masa ke masa, bahkan dapat dibuktikan kebenaran ilmiahnya. Sedangkan utusan menunjukkan ketinggian akhlaqnya terhadap sesama dan membawa kedamaian terhadap alam semesta.
Islam memiliki indicator ilmiah tersebut, sehingga pantaslah islam dikatakan sebagai agama dan peradaban, karena kompleksitas konsep yang dimilikinya. Islam mengajarkan untuk memiliki tauhid sebagai bentuk keimanan pada keabsolutan pencipta, meyakini al qur’an sebagai firman yang teruji keilmiahannya, dan menjadikan rasul yang ummi sebagai pembawa risalah.
Islam bukan hanya sebagai agama, tetapi Islam merupakan sebuah peradaban. Prof. Muhammad Naquib Al Attas menyebut peradaban dengan “Tamadun”, yang berasal dari kata kerja Dāna (دان ) yang berasal dari kata dīn bermakna keadaan berutang. Keadaan seorang yang sedang berutang (dā’in), semestinya menundukkan dirinya, yaitu berada dalam keadaan berserah dan taat kepada hukum dan aturan dalam berutang, dalam keadaan tertentu juga terhadap pemberi utang yang juga dipanggil sebagai dā’in. Pengertian ini juga membawa maksud bahwa seseorang yang dalam keadaan berutang berarti mempunyai suatu kewajiban atau dayn (دين ). Kondisi tersebut yakni dalam keadaan berutang secara tabiinya berkaitan dengan suatu penghakiman atau daynūnah (دينونة ) dan pemberian hukuman atau idānah إدانة)).
Makna diatas membawa maksud keyakinan, kepercayaan, perilaku, dan ajaran yang diikuti oleh seorang muslim secara individu maupun secara kolektif sebagai satu umat dan terjelma secara keseluruhan sebagai agama yang dimaksud dengan Islam.
Seluruh kata beserta makna tersebut yaitu dā’in (yang berutang dan pemberi utang), dayn (kewajiban), daynūnah (penghakiman) dan idānah (pemberian hukuman) merupakan kesepaduan sistem semantik yang muncul dari kata kerja dāna yang pada kehidudan nyata hanya dapat terjadi dalam sebuah masyarakat yang tersusun dan terlibat dalam kegiatan perdagangan yang disebut dengan mudun مدن) ) atau madā’in (مدائن) suatu kota. Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah (مدينة) yang memiliki seorang hakim, penguasa, atau pemerintahan yang disebut dayyān (ديّان). Kemudian, dari penggunaan kata yang berasal dari kata dāna, kita dapat melihat suatu gambaran dalam fikiran kita bahwa hal ini berkaitan dengan kehidupan suatu peradaban atau tamaddun (تمدن) yang berasal dari kata maddana مدّن)) suatu kehidupan bermasyarakat yang diatur oleh hukum, peraturan, peradilan dan otoritas. kata maddana bermakna membangun atau membina kota, membangun peradaban, memurnikan dan memanusiakan. Sedangkan tamaddun bermakna peradaban dan perbaikan dalam budaya sosial. Prof. Muhammad naquib Al Attas menggunakan kata “tamaddun”, karena memiliki kaitan dengan diberlakukannya aturan-aturan agama didalamnya.[6]
Dengan demikian, Islam merupakan agama sekaligus peradaban yang sempurna. Sayyid Muhammad Alawi al Maliki mengatakan,
“ Sekiranya tidak ada pertentangan dan konflik dahsyat diantara kedua agama itu, tidak ada kerusakan dan kerancuan didalamnya, dan tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan dalam kedua kitab itu – yang sampai menyentuh inti ajarannya serta ada keyakinan bahwa Allah mempunyai anak; nabi diangkat sebagai tuhan; dan tuhan diyakini sebagai satu tetapi terdiri atas tiga oknum – dan sekiranya bukan karena hal-hal negative seperti itu, tentulah kedua agama itu akan menyatu dan menjadi satu agama. Kemudia kedua agama itu, Kristen dan Yahudi sebagai agama samawi akan bertemu dengan Islam, agama yang lurus. Bahkan kedua agama itu akan bernaung dibawah panji Islam. Dan, pada akhirnya, tidak ada agama selain Islam – agama Allah yang murni dan diridhaiNya, yang syariatNya untuk kesejahteraan umat manusia dan menyelamatkan dunia dan kehancuran dan bencana.[7]
Allah mempertegas dalam firmannya QS. Ali Imran: 85, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya dan diakhirat nanti ia termasuk orang-orang yang rugi”.
Islam sebagai agama yang murni telah menjadi aturan perundang-undangan bagi manusia untuk mengatur, mengelola bahkan mengevaluasi kehidupan agar tercapai kesejahteraan, kedamaian dan ketenangan kehidupan, karena Allah telah memberikan ridhaNya pada umat dan memilih Islam sebagai agama bagi manusia, “….Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu,…..” (QS. Al Baqarah:132), maka pentingya membangun peradaban dengan memegang teguh agama Islam sebagai sumber peradaban. Karena Islam sebagai jalan hidup dan penentu segala hukum bagi kemaslahatan manusia, baik baik yang umum maupun yang paling spesifik, maka yang kami maksudkan adalah sebagai berikut: Islam sebagai suatu akidah yang mesti diikuti dan sebagai undang-undang penentu syariat; Islam sebagai suatu system ekonomi, bahkan sebagai falsafah untuk menentukan hokum dan risalah tentang akhlak dan keadilan social yang mempunyai nilai tinggi; Islam sebagai undang-undang yang komprehensif bagi segala sector kehidupan; Islam sebagai undang-undang lengkap yang meliputi segal wilayah masyarakat insane yang senantiasa maju dan berkembang, dan mencakup sendi-sendi peradaban ilmiah dan warna-warna atau macam-macam kebudayaan yang bagaimana, kapan, dan dimanapun.[8]
Dengan demikian, Islam adalah agama yang memantau dada dan hati manusia sekaligus. Islam menagawi perbuatan dan pemikirannya. Islam tidak memperhatikan wajah dan ucapan seseorang. Sebab, wajah atau penampilan manusia dan perkataannya bukanlah ukuran kebaikannya, dan tidak pula menentukan keimanan mereka yang sebenarnya. Islm yang benar adalah Islam yang syarat dengan nilai-nilai peradaban dan kebudayaan, penuh dengan kasih sayang bagi setiap yang memiliki hati yang hidup.

C.      Bukti Islam Membangun Peradaban
Islam yang telah hadir dengan aturan yang komplit dan sesuai dengan segala zaman telah membuktikan pada dunia selama 7 abad lamanya. Sejak masa Rasulullah yang baru berusia belasan tahun membawa risalah perdamaian dan kemuliaan bagi umat manusia pada masa dimana kehormatan “dicabik-cabik” oleh umat manusia pada bmasa jahiliyah. Kemudian risalah diterima oleh sebagian kecil pemuda misalkan Arqom bin Abi Arqom al Makhzumiy (13 tahun)[9] yang memberikan perlindungan pada Rasulullah dirumahnya untuk memberikan pembinaan pada beberapa sahabat sebut saja Zubair bin ‘Awam (15 tahun), Thalhah bin ‘Ubaidillah (16 tahun), Sa’ad bin Abi Waqash (17 tahun), bahkan Ali bin Abi Thalib masuk Islam dan memahaminya pada usia 10 tahun dan masih banyak sahabat lainnya yang mereka telah berjuang bersama Rasulullah untuk mempertahankan islam melalui dakwah.
Kemudian pada zamannya Islam mengalami masa keemasan ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa. Kejayaan tersebut ditunjukkan dengan berbagai peninggalan-peninggalan dan karya-karya ilmuwan muda Islam yang memberikan kontribusi terbesar bagi peradaban dunia. Keemasan Islam diperoleh pada masa Harun Ar Rasyid dengan segala kebijakannya untuk membangkitkan Islam. Beliau memobilisasi potensi pemuda untuk melakukan penerjemahan terhadap ilmu-ilmu yang ada di Yunani dan Romawi, karena di dua bangsa tersebut mengalami masa kegelapan (dark age) dan kebuntuhan ilmu dalam segala bidang. Sehingga dengan banyaknya penerjemah muslim, maka Harun Ar Rasyid membangun sebuah peradaban ilmu dengan bangunan perpustakaan termegah dan terlengkap pada masa itu, sebut saja khizanah al hikmah (Baitul Hikmah) di Baghdad, Perpustakaan Cordoba di Spanyol, Darul Hikamah di Mesir, Al-Haidariyah di An-Najaf , Ibnu Sawwar di Basrah dan beberapa wilayah Afrika dan Eropa. Perkembangan perpustakaan dan keilmuwan inilah pakar sejarah dan ilmuwan Barat mengakui kontribusi peradaban Islam terhadap Barat (dalam buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Dr. Raghib As Sirjani).
Montgomery Watt[10] sampai merasa heran dan mengatakan, “Anehnya, orang-orang yang ikut serta dalam perang salib mengaku bahwa agama mereka (Islam) adalah agama perdamaian”. Sebagaimana Will Durrant juga mengatakan, “orang-orang eropa yang menduduki dua negeri ini (Syria dan Palestina saat perang Salib) telah berhias dengan hiasan Islam secara sedikit demi sedikit. Hubungan mereka dengan kaum muslimin dikawasan tersebut menjadi semakin kuat. Jarang sekali diantara dua bangsa tersebut yang saling menjauhi dan saling memusuhi. Para saudagar muslim secara bebas memasuki negeri-negeri kristen dan menjual barang dagangan kepada penduduknya. Para tokoh agama Nasrani membolehkan kaum muslimin untuk beribadah di masjid-masjid. Kaum muslimin pun mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak mereka disekolah-sekolah Islam yang ada di Antokia dan Tripoli yang dikuasai Nasrani”. Hal ini menunjukkan bahwa Islam bisa berdampingan dengan agama, karena mereka sangat merasakan kontribusi yang telah dibawa oleh pemuda muslim dan mereka mengalami perubahan hidup yang lebih terhormat dan dihargai.
Salah satu lagi sanjungan orientalis Perancis – Maxine Rodinson terhadap pemuda Islam yaitu Shalahuddin Al Ayyubi (31 tahun) ketika berhasil membebaskan kota Baitul Maqdis. Ia mengatakan, “Musuh terbesar, Shalahuddin Al Ayyubi telah menimbulkan kekaguman yang luas dikalangan Barat. Ia telah melakukan peperangan dengan menjunjung tinggi sisi kemanusian dan kepahlawanan, walaupun jarang ada orang yang membalas baik atas sikap-sikapnya ini. Diantara mereka yang paling penting adalah Richard (raja Inggris waktu itu) sang hati singa.”
Thomas Arnold mengatakan,”Tampak jelas bahwa akhlak Shalahuddin Al Ayyubi dan kehidupannya yang penuh dengan kepahlawanan telah menimbulkan pengaruh besar dan sihir yang khusus ditelinga kaum Nasrani. Bahkan sebagian dari para pahlawan Nasrani karena sangat terpengaruh dengan Shalahuddin Al Ayyubi rela meninggalkan agama Nasrani, meninggalkan kaumnya dan bergabung dengan kaum muslimin.”[11]
Gusytave Le Bon mengatakan,”Sesungguhnya bangsa Arab telah mempraktikkan ruh persamaan secara mutlak sesuia dengan norma-norma mereka, dan bahwa persamaan yang diedungkan di Eropa, hanya dalam ucapan, namun tidak dalam praktik, telah mengakar kuat dalam karakteristik-karakteristik Islam. Kaum muslimin tidaklah mengenal strata-strata sosial yang keberadaannya menyebabkan terjadinya revolusi paling mengerikan di barat, dan sampai sekarang tetap masih ada.”
Kejayaan Islam yang pernah diraih tidak hanya sekedar menemukan benda-benda, namun lebih dari itu. Pemuda Islam telah meletakkan dasar berfikir ilmiah, khususnya dalam bidang penelitian dan metodologi. Sebagaimana Sigrid Hunke mengakui bahwa orang-orang muslim Arab telah mengembangkan bahan-bahan mentah yang diperoleh dari Yunani (Greek) dengan uji coba dan penelitian ilmiah kemudian menformulasikannya dalam bentuk yang baru sama sekali. Sesungguhnya Arab dalam kenyataannya sendiri adalah pembuat Metodologi Penelitian yang benar dengan didasarkan pada uji coba.”
Sesungguhnya kaum (pemuda) muslimin Arab bukan hanya menyelamatkan peradaban bangsa Yunani dari kepunahan, menyusun dan mengklasifikasikannya kemudian menghadiahkan ke Barat begitu saja. Akan tetapi sebenarnya kaum muslimin adalah peletak berbagai macam metodologi penelitian dalam segala bidang keilmuan (kimia, psikologi, ilmu hitung, perbintangan, ilmu ukur, ilmu sosial, hukum, dan sebagainya).


[1] Marx, Karl,Opium of The People: Four Text on Religion, terj. Martin Milligan, London: Lawrence & Wishart, 2003, hal. 48.
[2] Hamid Fahmy Zarkasy, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pengembangannya, (Gontor: Seri Kajian Islam, CIOS, 2010), hal 4-5.
[3] Abdullah Nasih ‘Ulwan, Ma’alim al Hadarah fi al Islam wa Atsaruha fi al Nahdah al Awrubbiyah, (Kairo: Dar al Salam, 2003), hal 4.
[4] Dihyatun Masqon, Studi sejarah Peradaban Islam di Perguruan Tinggi di Indonesia: Sebuah Kajian Deskriptif dan Analisis, dalam Hamid Fahmy Zarkasy dan Mohd. Fauzi Hamat, Metodologi Pengkajian Islam: Pengalaman Indonesia-Malaysia, (Ponorogo: ISID Gontor, 2008), hal 334.
[5] Sayyid Muhammad Alwi al Maliki, Ar Risalah al Islamiyah: Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha, (Makkah: Dar al Qiblah, 1411H/1990), terjemah Drs. Tarmana A.Qosim,Sempurna lagi Abadi: Menepis Berbagai Gugatan dan Keraguan ihwal Kesempurnaan dan Keabadian Risalah Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hal 50.
[6] Dr. Ugi Suharto, “Peradaban Islam itu di Bangun di Atas Landasan Ilmu, majalah al Haromain edisi 86.hal 10-11.
[7] Sayyid Muhammad Alwi al Maliki, Ar Risalah al Islamiyah: Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha, (Makkah: Dar al Qiblah, 1411H/1990), terjemah Drs. Tarmana A.Qosim,Sempurna lagi Abadi: Menepis Berbagai Gugatan dan Keraguan ihwal Kesempurnaan dan Keabadian Risalah Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), hal 52.
[8] Sayyid Muhammad Alwi al Maliki, Ar Risalah al Islamiyah…..hal 227.
[9] Dr. Raghib As Sirjany, Risalah bagi Pemuda Islam, samodra Ilmu, Yoyakarta, 2007.
[10] Montgomery Watt (1909-2006M), seorang orientalis Inggris yang memiliki spesialisasi Study Islam. Ia seorang dekan Fakultas Study Bahasa Arab di Universitas Adnebra Inggris. Lihat Prof.Dr. Raghib As Sirjany, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Pustaka al Kautsar, Jakarta, 2012.
[11] Thomas Arnold, The Preaching of Islam (tanpa tahun dan penerbit)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terima kasih telah membuka blog ini