ILMU DAN
BANGUNAN PERADABAN ISLAM
(Akhmad Hasan Saleh)
A.
Makna Peradaban Islam
Perbincangan
peradaban di kalangan ilmuwan muslim dan ilmuwan Barat bukan sesuatu yang tabu.
Bahkan dizaman modern ini, penulis mencermati bahwa saat ini sedang terjadi sebuah
perang peradaban antara Islam dan Barat. Karena yang berkembang saat ini adalah
perang pemikiran (ghozwul fikr) untuk
merebutkan seorang muslim dengan segala potensi yang
dimilikinya. Islam telah membuktikan dengan kejayaan yang pernah diukir dalam sebuah
sejarah kehidupan dengan peradaban keilmuwan yang mampu menggetarkan musuhnya
dan merubah “wajah” dunia yang semakin berpengetahuan.
Ada berbagai definisi tentang peradaban, sebagaimana definisi peradaban
menurut ahli sejarah Abdul Karim[1] berasal dari bahasa Jawa Kawi,
peranakan dari bahasa sangsekerta, yang ucapannya adob yang berarti kesopanan,
hormat-menghormati, budi bahasa, etiket, dan lain-lain. Lawan dari beradab
adalah biadab, tidak tahu adat, dan sopan santun. Dalam bahasa
arab pun ditemukan istilah adab seperti al Adab al Maidah yang artinya
perilaku/kesopanan dalam meja makan. Peradaban dipahami sebagai kemajuan
(kecerdasan, kebudayaan) lahir bathin.
Peradaban dalam bahasa Indonesia sering diidentikkan dengan kata
kebudayaan. Akan tetapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian
antara civilization untuk peradaban dan culture untuk kebudayaan.
Demikian pula dalam bahasa Arab dibedakan antara tsaqafah (kebudayaan), hadharah
(kemajuan) dan tamaddun (peradaban).
Menurut Karim[2]
Kebudayaan merupakan suatu sikap bathin, sifat dari jiwa manusia, yaitu
usaha-usaha untuk mempertahankan hakekat dan kebebasannya sebagai makhluk yang
membuat hidup ini lebih indah dan mulia. Sementara, peradaban ialah suatu
aktifitas lahir yang biasanya dipakai untuk menyebut bagian dan unsure-unsur
dari kebudayaan yang halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan,
adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan
sebagainya.
Menurut ahli antropologi De Haan[3],
peradaban merupakan lawan dari kebudayaan. Peradaban adalah seluruh kehidupan
sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Sebaliknya, kebudayaan adalah semua
berasal dari hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni yang berada di atas
tujuan praktis dalam hubungan masyarakat, misalnya music, seni, agama, ilmu,
filsafat dan lain-lain. Pendapat De Haan tentang peradaban sangat sempit karena
peradaban hanya diartikan dalam kehidupan untuk kegunaan praktis dan kebudayaan
sebagai pandangan yang sangat luas dari kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan
bahwa pandangan sejarawan dan antropolog berbeda dalam memandang peradaban dan
budaya, sehingga perdebatan tentang epistemology peradaban dikalangan ilmuwan
Barat khususnya, ternyata tidak mampu mendefinisikan peradaban dengan
komprehensif.
Jika makna peradaban mengikuti
definisi Barat, maka perdaban Islam akan menjadi perdaban yang sempit dan tidak
mampu memberikan kesejahteraan secara menyeluruh pada setiap sendi kehidupan.
Berbeda dengan ilmuwan muslim, Ahli
pemikiran dan peradaban sekaligus ilmuwan muslim abad 21 – Prof. Muhammad Naquib Al Attas
menyebut peradaban dengan “Tamadun”, yang berasal dari kata daana
(ketaatan)-diinun (agama, hukum)-dainun (hutang). Sehingga muncul
kata tamadun (peradaban) yakni sebuah tempat, region, atau city yang
dikelola berdasarkan (aturan-aturan) agama. Ketika din (agama) Allah yang
bernama Islam telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat
itu diberi nama Madinah. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu
dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota,
memajukan, memurnikan dan memartabatkan. Kenapa Prof. Muhammad naquib Al Attas
menggunakan kata “tamaddun”, karena
memiliki kaitan dengan diberlakukannya aturan-aturan agama didalamnya.[4]
Al Hujwiri[5]
menegaskan peradaban Islam adalah suatu pelajaran dan pendidikan tentang
kebajikan yang merupakan bagian dari sendi-sendi keimanan. Ar Razi[6]
menekankan, bahwa peradaban Islam adalah sejauhmana membina hubungan sosial,
yang mana sikap yang terbaik adalah menjaga kehormatan diri dan menuruti sunnah
Nabi. Persahabatan antara sesame manusia harus dibina berdasarkan kepentingan
Allah, tidak berdasarkan kepentingan dan keuntungan pribadi.
Peradaban mencangkup aturan-aturan logis yang
komprehensip dalam memurnikan kehidupan yang membawa pada kesejahteraan umat.
Dengan demikian, peradaban Islam adalah suatu masa dimana aturan-aturan agama (syariat)
menjadi dasar menjalankan aktivitas kehidupan manusia dalam rangka mengatur
pola hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia
dengan alam semesta dalam segala sendi-sendi kehidupan untuk mencapai derajat
yang tinggi dan kesempurnaan iman.
B.
Sejarah Bangunan Peradaban Islam
Dalam perjalanannya
Islam mengalami tantangan besar untuk menerapkan syariatnya dalam kehidupan
manusia, namun pada akhirnya terbentuk pula komunitas Islam yang kuat dan
tangguh dalam menjalankan aturan-aturan Allah. Keberlangsungan syariat tentunya
tidak semulus dan sepanjang zaman untuk terus bertahan dijalankan oleh umat. Tantangan mulai dihadapi oleh
umat ketika moral semakin merosot dengan budaya jahiliyah dan kesusasteraan
jahiliyah mulai merusak peradaban Islam dengan pemikiran-pemikiran peradaban
lainnya, khususnya aktivitas keilmuan dan filosofis yang dibawa dari budaya
helenistik.
Tantangan-tantangan tersebut dihadapi oleh cendekiawan muslim dan ulama’
dengan keluasan ilmu dan keikhlasan amal. Pakar Filsafat Islam Alparlan
Acikgenc[7]
sampai pada kesimpulan bahwa intelektualitas pada abad pertama kemunculan Islam
telah memiliki fondasi yang memadai yang disebut contextual causes untuk
kebangkitan aktivitas keilmuan dan kemunculan tradisi keilmuan dalam Islam.
Kehadiran Rasulullah telah mampu membawa perubahan berfikir dan pandangan
terhadap sendi-sendi kehidupan, khususnya tentang masalah ketuhanan dan
tanggungjawab manusia. Rasulullah dengan Al Quran telah memberikan motivasi dan
penjelasan tentang tanggungjawab manusia terhadap moral dan relijius sebagai
khalifah dimuka bumi dan alam semesta. Penjelasan Rasulullah tentang konsep
wahyu menjadi awal kemunculan Islamic Worldview bagi umat dimasa
kenabian yang kemudian memunculkan peradaban Islam dimasa setelahnya.
Pada dasarnya secara kronologis, asal usul kemunculan Islamic worldview
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: periode Mekah awal, periode Mekah kedua dan
periode Madinah. Pada periode awal Mekah yang dibangun pertama adalah konsep
dan isu teologi seperti konsep tauhid (Tuhan), konsep penciptaan, konsep etika,
konsep akhirat, baik dan buruk. Konsep awal ini merupakan elemen fundamental
dalam Islamic Worldview. Pada periode Mekah kedua mulai dibangun konsep
ilmu, konsep ibadah, konsep agama dan kenabian. Sebenarnya konsep-konsep di
periode kedua ini telah dimiliki oleh kaum muslimin awal (assabikunal
awwalun) sebelum mereka masuk Islam. Setelah mereka menerima Islam, maka
konsep mereka berubah menjadi konsep yang memiliki nilai-nilai keislaman dan
keimanan pada Allah SWT. Sedangkan pada periode Madinah, konsep-konsep seperti
hukum, jihad, persaudaraan, komunitas muslim (ummah) dipadukan dengan
konsep-konsep sebelumnya yang telah mereka terima dari al Qur’an, sehingga
menjadi kesatuan ide yang menyeluruh dengan sebutan Islamic Worldview.
Alparslan[8]
menegaskan bahwa apabila sejarah intelektual Islam pada masa awal dipelajari
secara teliti, maka akan terlihat benih dari beberapa ilmu telah tampak sejak
masa Rasulullah terutama pada periode ketiga, seperti sejarah, hukum,
kesusasteraan, grammar, filsafat, teologi, yang semuanya masih pada tahap awal.
Pada akhir abad ke satu Hijriyah, kebanyakan pengetahuan tersebut telah terakumulasi
dalam disiplin-disiplin ilmu dan berproses untuk menjadi ilmu atau sains.
Dari tiga periode tersebut, merupakan titik awal berkembangnya peradaban
Islam yang ditandai dengan lahirnya ilmu pengetahuan Islam secara luas dan
menyeluruh. Menurut Alparslan Pada periode awal Islam, ilmu (knowledge) mengacu
pada dua hal, yaitu ‘ilm dan fiqh.’Ilm digunakan oleh Al Qur’an
dan hadits untuk mengacu pada pengetahuan wahyu (revelead knowledge)
yang pasti dan absolute. Sedangkan fiqh lebih bersifat keilmuan dan
rasional.[9]
C.
Kemunculan Tradisi Keilmuwan Islam
Tradisi keilmuwan
dalam Islam menjadi perhatian utama untuk membangun sebuah peradaban dan
penyebaran Islam dalam masyarakat yang penuh dengan dilemma dalam kehidupan,
sehingga dilemma yang dihadapi dapat teratasi dengan keilmuan Islam yang
dibangun. Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi[10] ada
beberapa tahapan kelahiran ilmu berdasarkan skema Acikgenc yang pernah
ditelaahnya. Masih menurut Hamid, kelahiran ilmu dalam Islam dibagi ke dalam
empat periode.
Pertama, turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam. Pada periode Mekah
merupakan periode lahirnya konsep ketuhanan, penciptaan, akhirat, nubuwwah,
din, ibadah dan sebagainya, sedangkan pada periode Madinah sebagai penjelasan
diatas sebagai periode pemersatu ummat dengan konsep toleransi dan sosial,
ekonomi bahkan sebagai konfigurasi struktur ilmu pengetahuan yang menghasilkan
konsep-konsep keilmuwan yang terperinci dan menyeluruh. Periode ini yang
kemudian menjadi penyempurnaan dan ritual peribadatan, rukun Iman, rukun Islam
dan system hukum yang mengatur kehidupan manusia.
Kedua, lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun tersebut mengandung struktur
ilmu pengetahuan. Karena dalam al Qur’an terdapat istilah kalam, wujud, khalq, halal, haram, iradah dan
sebagainya. Dimana istilah-istilah tersebut merupakan bagian dari konsep
kehidupan, konsep penciptaan, konsep etika dan sebagainya. Sehingga dapat
ditegaskan bahwa istilah tersebut sebagai kerangka awal dari konsep keilmuwan
dan sebagai kesimpulan terhadap lahirnya ilmu pengetahuan dalam Islam bahwa al
Qur’an adalah embrio dari ilmu (sains) dan pengetahuan ilmiah.
Berbeda dengan awal kemunculan ilmu di Barat yang berasal dari hasil
eksperimen dan pengalaman subjektif para filsof. Sedangkan anggapan Barat tentang
kelahiran ilmu dalam Islam dipandang bahwa sains dalam Islam tidak ada asal
usulnya. Hal ini diungkap oleh para penulis sejarah Islam seperti De Boer,
Eugene Myers, O’leary, Alfrend Gullimaune, dan banyak lainnya. Dari kalangan
penulis modern adalah Radhakrishnan, Majid Fakhry, W. Montgomery Watt, dan
lain-lain.
Ketiga, ditunjukkan dengan adanya komunitas ilmuwan muslim. Bukti adanya masyarakat
ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuwan dalam Islam adalah berdirinya
kelompok belajar atau sekolah Ashhabus Shuffah di Madinah pada masa
Rasulullah. Para Ashhabus Shuffah ini mengkaji kandungan wahyu dan
menghafalkan Al Qur’an dengan bimbingan Rasulullah. Para ilmuan Islam tersebut
antara lain Abu Hurairah, Abu Dzar al Ghifari, Salman Al Farisi, Abdullah ibn
Mas’ud, yang kemudian diikuti oleh generasi berikutnya seperti Qadi Syuriah
(w.699), Muhammad ibn Hanafiyyah (w.700), Umar Ibn Abd Aziz (w.720), Ja’far As
Shadiq (w.765), Abu Hanifah (w.767), Malik ibn Anas (w.796), Abu Yusuf (w.799),
As Syafi’I (w.819) dan lain-lain.
Keempat, merupakan tahapan lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam yang dilalui dengan
tiga tahap, yaitu (1) tahap problematic (problematic stage) yaitu tahap
dimana berbagai problem subjek kajian dipelajari secara acak dan berserakan
tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu. (2) Tahap disipliner (disciplinary
stage) yaitu tahap dimana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah
bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan sesuai dengan bidang
masing-masing. (3) Tahap persamaan (naming stage), pada tahap ini bidang
yang telah memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.[11]
Dengan penjelasan tahapan lahirnya ilmu dalam Islam tersebut, semakin jelas
dan tegas dalam membantah anggapan Barat tentang asal usul keilmuan dalam Islam
yang dianggap tidak memiliki asal usul. Ilmu dalam Islam lahir dari kajian
ilmuan muslim pada permulaan turunnya wahyu. Kajian mendalam terhadap Al Qur’an
dan Hadits sesudahnya memunculkan konsep ilmu-ilmu yang lain dalam kehidupan
manusia modern sekarang.
D.
Pilar Pembangunan
Peradaban Islam
Seorang muslim yang merindukan pembangunan peradaban Islam, sebagaimana masa
keemasannya harus mulai dimulai sejak sekarang dan di mulai dari diri sendiri
yang kemudian memberikan nur (cahaya) ilmu pada umat.
Muslim zaman sekarang harus memahami pilar-pilar peradaban Islam yang
telah dibangun oleh tokoh-tokoh Islam dizamannya. Sebenarnya pilar peradaban
Islam bertolak pada sebuah hadits rasulullah tentang Iman, Islam dan Ihsan.
Ketiga pilar tersebut memunculkan bidang masing-masing, misalkan pilar “iman”
melahirkan ilmu tauhid, ilmu kalam dan sebagainya berikut para ulama’nya
seperti Imam Maturidy, Imam Hasan al Asy’ariy, dan sebagainya. Dari pilar
“Islam” muncul ilmu figh atau syariah berikut para ulama’ fiqh seperti 4
mahdzab (Imam malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali). Dengan pilar
inilah hukum-hukum Islam semakin jelas dalam tata cara pelaksanaannya dalam
kehidupan. Dan dari pilar “Ihsan” berkembang ilmu akhlaq, atau ilmu tasawuf
dengan sejumlah ulama’nya seperti Hasan al bashri, Junaid al Baghdadi, Imam Al
Ghazali. Oleh karena itu untuk membangun sebuah peradaban Islam yang harus
dimiliki dan dilakukan oleh seorang muslim adalah tiga pilar tersebut, yaitu:
1.
Pilar Tauhid (Aqidah)
Keimanan menjadi yang utama dalam kehidupan, karenanya (iman) seseorang
memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain – muslim atau non muslim, kafir atau tidak. Jika
seorang muslim memiliki aqidah yang benar
kepada Allah, maka Allah akan memudahkan baginya untuk mampu memahami agama
dengan benar. Jika keimanan seseorang salah terhadap Allah atau menduakan
Allah, maka tentunya dalam setiap amalannya akan tertolak.
Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar
"al-‘aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan),
at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan).
Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).
Secara terminologi “aqidah”
yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram
karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka
tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan
yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang
menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima
keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan
yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu
mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah
yang benar tidak mengagungkan akal diatas segalanya, sebagaimana yang telah
banyak dilakukan oleh ilmuwan Barat, seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Dante Alighieri, dan kawan-kawannya. Ketika akal dipuja-puja maka yang
terjadi adalah kebuntuhan ilmu dalam segala bidang dan matinya hati untuk
mengenal Tuhannya. Dan menghilangkan eksistensi dirinya sebagai hamba dan
khalifah.
Oleh karenanya aqidah kepada Allah harus diatas segalanya,
sehingga Allah melindungi setiap amaliyah-amaliyah ibadah, sebagaimana Allah
berfirman, "Sesungguhnya
mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami menambah
buat mereka hudan (petunjuk).”(al-Kahfi,
18:13)
2.
Pilar Ilmu (Syariah)
Muncul sebuah pertanyaan dari Prof. Muhammad Naquib Al Attas yang
diajukan kepada murid-muridnya, “kalian ingin menjadi Harun al Rasyid (Khalifah
Abbasiyah paling terkenal) atau Abu Hanifah (salah seorang ulama’ mahdzab)?,
siapa yang masih bisa “abadi” hingga sekarang?, tentu Imam Abu hanifah. Meski
beliau pernah dipenjara dalam masa kekhalifahan Abbasiyah, tetapi hasil
ijtihadnya dalam ilmu fiqh tetap terpelihara sampai sekarang. Sementara Harun
al Rasyid, ia memang pernah berjaya dalam satu fase peradaban Islam, tetapi
hanya pada masanya. Hal ini menunjukkan bahwa jika peradaban berlandaskan kekuasaan akan mudah musnah dan tidak
akan pernah bertahan lama, sedangkan jika peradaban yang berlandaskan pada ilmu akan bertahan lama sampai hari
kiamat. Kekuasaan tentu penting, tetapi kekuasaan hanya bagian kecil dari
peradaban Islam.
Karena peradaban juga dibangun berlandaskan ilmu, maka tidak
setiap muslim tidak boleh meninggalkan ilmu, khususnya adalah ilmu agama yang
sifatnya fardhu ‘ain dan juga
ilmu-ilmu yang lain yang sifatnya fardhu
kifayah. Sehingga yang sangat banyak berperan disini adalah lembaga
pendidikan yang mampu mengintegrasikan kedua ilmu tersebut. Rasulullah diutus
untuk urusan (ilmu) agama (umurid-din), sementara antum a’lamu liumurid-dunyakum. Jika
urusan agama beres, maka urusan-urusan dunia (umurid-dunya) akan mengikutinya.
3.
Pilar Adab (Akhlaq)
Konsep adab dalam Islam
disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan
sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta
pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana
susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang
berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal.
Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa
pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia karana yang satu
mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan
ketiadasedaran dan kejahilan.”[12]
Begitu pentingnya masalah
adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh
mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan
mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali
dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang
shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika
al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang
paling takwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat
kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih.
Dengan demikian, adab harus
dimiliki oleh muslim yang akan membangun peradaban Islam. Adab pertama kali yang harus dimiliki adalah
adab kepada Allah – karena ketika kita sholat, mengaji tidak menggunakan adab
yang benar kepada sang Khaliq, maka sia-sialah perbuatan kita, kedua adab kepada Rasulullah sebagai
pembawa risalah dan memberikan uswatun
hasanah serta memberikan jalan terang pada kita untuk menikmati Islam
sebagai agama rahmat lil ‘alamin.
Sedangkan yang ketiga adalah adab
kepada orang tua untuk selalu menjaga perasaan dan kasih sayang terhadapnya.
Yang keempat, adab terhadap guru yang
telah memberikan ilmu dengan segala kesabaran dan keikhlasannya. Kelima, adab terhadap sesama makhluk dan
alam semesta yaitu menjaga tali silaturrahim, saling hormat menghormati,
toleran, dan menjaga keberlangsungan hidup alam semesta.
Dengan kesimpulan bahwa
menurut Hasyim Asy’ari ”at-Tawhīdu
yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu
al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa
al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā
īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim
wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11). (Jadi,
secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman.
Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan
syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak
memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka
barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada
iman, dan tiada tauhid padanya).
Ketiga pilar peradaban tersebut tidak dapat terpisahkan,
terbukti jika seseorang memiliki tidak memiliki aqidah walaupun memiliki ilmu
dan karakter baik maka akan terjadi kekufuran dalam dirinya dan tentunya akan
menghilangkan perasaan hamba dalam dirinya yang kemudian muncul kesombongan.
Namun jika seseorang memiliki aqidah kuat dan ilmu yang tajam, namun tidak
memiliki adab maka akan terjadi penghancuran alam semesta dan kejahiliyahan
yang akan berkuasa, sebagaimana bangsa Arab sebelum Rasulullah di utus.
Sedangkan dengan Ilmu yang sedikit, walaupun akidah dan memiliki adab maka akan
terjadi penyesatan terhadap umat manusia. Oleh karena itu tiga pilar peradaban
tersebut perlu untuk dipegang dan dijalankan secara totalitas sehingga terwujud peradaban
Islam.
E.
Sumbangan Ilmu Pengetahuan Islam pada Barat
Pada saat Eropa mengalami masa kegelapan (dark age) dan kebuntuhan
ilmu pengetahuan, kemudian Islam muncul untuk memberikan pencerahan dan
penerangan pada kegelapan kehidupan masyarakat Eropa. Karena perlu diketahui,
bahwa Islam tidak pernah menemukan kebuntuhan dalam ilmu pengetahuan selama
bersandarkan pada Al Qur’an dan Hadits.
Pada masa ketika raja-raja Eropa menyewa guru-guru untuk mengajarkan cara
menulis dan membubuhkan tanda tangan, institusi pendidikan Islam justru tengah
memelihara, memodifikasi, dan menyempurnakan kebudayaan-kebudayaan klasik,
melalui sekolah tinggi dan pusat-pusat riset yang telah maju dibawah para
penguasa yang memiliki wawasan keilmuan. Kemudian dari usaha kreatif dan jenius
tersebut telah menjangkau wilayah Latin Barat melalui penerjemahan versi bahasa
Arab atas karya-karya klasik maupun tulisan-tulisan cendekiawan muslim tentang
kedokteran, filsafat, geografi, astronomi dan ilmu lainnya, hingga ilmu
pengetahuan berkembang di Barat dan menjadi warisan bagi kehidupan modern.[13]
Ketika
Dinasti Abbasiyah berkuasa,
Islam mengalami masa keemasan.
Kejayaan tersebut ditunjukkan dengan berbagai peninggalan-peninggalan dan
karya-karya ilmuan Islam yang memberikan kontribusi
terbesar bagi peradaban dunia. Keemasan Islam diperoleh pada masa Harun Ar
Rasyid dengan segala kebijakannya untuk membangkitkan Islam. Beliau
memobilisasi potensi ilmuan untuk
melakukan penerjemahan terhadap ilmu-ilmu yang ada di Yunani dan Romawi, karena
di dua bangsa tersebut mengalami masa kegelapan (dark age) dan kebuntuhan ilmu dalam segala bidang. Sehingga dengan
banyaknya penerjemah muslim, maka Harun Ar Rasyid membangun sebuah peradaban
ilmu dengan bangunan perpustakaan termegah dan terlengkap pada masa itu, sebut
saja khizanah al hikmah (Baitul Hikmah) di Baghdad,
Perpustakaan Cordoba di Spanyol, Darul Hikamah di Mesir, Al-Haidariyah di
An-Najaf, Ibnu Sawwar di Basrah dan beberapa wilayah Afrika dan Eropa. Perkembangan
perpustakaan dan keilmuan inilah
pakar sejarah dan ilmuwan Barat mengakui kontribusi peradaban Islam terhadap
Barat (lihat buku Sumbangan Peradaban Islam Pada
Dunia karya Prof. Dr. Raghib As Sirjani).
Kejayaan
Islam yang pernah diraih tidak hanya sekedar menemukan benda-benda, namun lebih
dari itu. Ilmuan Islam telah meletakkan dasar berfikir ilmiah, khususnya dalam
bidang penelitian dan metodologi. Sebagaimana Sigrid Hunke[14]
mengakui bahwa orang-orang muslim Arab telah mengembangkan bahan-bahan mentah
yang diperoleh dari Yunani (Greek)
dengan uji coba dan penelitian ilmiah kemudian menformulasikannya dalam bentuk
yang baru sama sekali. Sesungguhnya Arab dalam kenyataannya sendiri adalah
pembuat Metodologi Penelitian yang benar dengan didasarkan pada uji coba.”
Sesungguhnya
ilmuan Islam bukan hanya menyelamatkan peradaban bangsa Yunani dari kepunahan,
menyusun dan mengklasifikasikannya kemudian menghadiahkan ke Barat begitu saja.
Akan tetapi sebenarnya ilmuan Islam adalah peletak berbagai macam metodologi
penelitian dalam segala bidang keilmuan (kimia, psikologi, ilmu hitung,
perbintangan, ilmu ukur, ilmu sosial, hukum, dan sebagainya).
Karya-karya ilmuan muslim yang kemudian digunakan oleh
umat manusia modern sangat berlimpah, seperti dalam ilmu sains misalkan Abu
Bakar Ar Razi yang didaulat sebagai ilmuan kedokteran terbesar; Ali bin Isa bin
Ali AL Kahhal (430H/1039M) penemu celak; Abu Qasim Az Zahrawi (403H) seorang
ahli bedah; Ibnu Sina (428H) karyanya kitab al Qanun yang digunakan oleh
dokter-dokter dan fisikawan Eropa sampai kini dan diterjemahkan dalam banyak
bahasa; Ibnu Tufail sebagai penemu penyakit usus melingkar (Ancylostoma)
pertama dalam sejarah; Abu Raihan Al Biruni ahli fisika yang menetapkan delapan
belas bentuk macam batu mulia; Abu Fatah Abdurrahman Al Khazani sebagai ilmuan
arsitektur, logika dan fisika; Ibnu Haitsam sebagai penemu optic pertama dengan
kitabnya al Manazhir yg diterjemahkan dalm bahasa latin dengan judul Opticae
Thesaurus; Nashiruddin Ath Thusi (597-672H/1201-1274M) sebagai pakar ilmu
logika, perkiraan dan matematika; Taqiyuddin Asy-Syami (927-993H/1521-1585M)
seorang pakar dalam bidang filsafat,falak, matematika, fisika, kimia, apoteker,
pertanian dan arsitek yang memiliki 90 buah karya dalam berbagai bidang ilmu;
Al Khawarizmi ilmuan matematika yang memperkenalkan al Jabar dan ilmu
perbandingan sekaligus penemu benua Australia; Abu Ali Al Marakisyi
(660H/1262H) yang meletakkan pertama kali garis bujur dan lintang pada peta
bola bumi; Al Mas’udi (346H/957M) seorang sejarawan, pengelana dan peneliti
yang memperkenalkan peta; Al Farghani seorang ilmuan astronomi yang kitabnya
masih dijadikan rujukan di Eropa dan Asia setelah 107 tahun; Abdurrahman as
Sufi (291-376H/903-989M) sebagai peletak jadwal secara detail bintang-bintang
yang terbit. Masih banyak ilmuan Islam lainnya yang meletakkan dasar-dasar
keilmuan yang kemudian menjadi pencerahan keilmuan di Eropa. Kajian, penelitian
bahkan penerjemahan mulai dilakukan oleh orang-orang Eropa setelah terjadinya
perang salib (1095-1291M) sampai abad kelima belas.
Sesungguhnya tidak ada aspek penting dalam peradaban
Barat semenjak abad-abad keduabelas dan ketigabelas dimana pengaruh yang pasti dari
kebudayaan Islam tidak terlihat secara nyata. Hal ini terutama berlaku bagi
institusi-institusi ilmu pengetahuan dengan kurikulum dan metodologinya yang
lebih tinggi. Dengan demikian memang sangat diperlukan adanya penggabungan
antara pengembangan institusi ilmu pengetahuan muslim dan produk-produk
inteletual muslim dalam setiap kajian yang komprehensif terhadap sejarah
pendidikan Barat.
Keilmuan Islam dalam segala bidang inilah yang
menjadikan kemuliaan pada Islam di mata dunia dan musuh-musuhnya. Dan
menjadikan semakin tingginya derajat seorang muslim ketika menjunjung tinggi
ilmu pengetahuan (QS.Al Mujadilah: 11)[15]
yang dikorelasikan dengan keimanan dan diaplikasikan dalam amaliyah
kemaslahatan umat manusia.
[4] Dr. Ugi Suharto, Peradaban Islam itu di Bangun di
Atas Landasan Ilmu, Majalah al Haromain edisi 86.hal 10-11.
[11] Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview sebagai Asas
Epistemologi Islam dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia,
Thn. II No.5, April-Juni 2005, hal. 9-18.
[12] Prof. SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, ISTAC, 2001.
[14] Prof.Dr. Raghib As Sirjany, Sumbangan
Peradaban Islam Pada Dunia, Pustaka al Kautsar, Jakarta, 2012.
[15] “Hai orang-orang beriman, apabila
dikatakan kepadamu,’Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah,
niscaya Allah akan member kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan,
‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”