Rabu, 09 April 2014

ILMU DAN BANGUNAN PERADABAN ISLAM



ILMU DAN BANGUNAN PERADABAN ISLAM
                                                               (Akhmad Hasan Saleh)


A.     Makna Peradaban Islam
Perbincangan peradaban di kalangan ilmuwan muslim dan ilmuwan Barat bukan sesuatu yang tabu. Bahkan dizaman modern ini, penulis mencermati bahwa saat ini sedang terjadi sebuah perang peradaban antara Islam dan Barat. Karena yang berkembang saat ini adalah perang pemikiran (ghozwul fikr) untuk merebutkan seorang muslim dengan segala potensi yang dimilikinya. Islam telah membuktikan dengan kejayaan yang pernah diukir dalam sebuah sejarah kehidupan dengan peradaban keilmuwan yang mampu menggetarkan musuhnya dan merubah “wajah” dunia yang semakin berpengetahuan.
Ada berbagai definisi tentang peradaban, sebagaimana definisi peradaban menurut ahli sejarah Abdul Karim[1] berasal dari bahasa Jawa Kawi, peranakan dari bahasa sangsekerta, yang ucapannya adob yang berarti kesopanan, hormat-menghormati, budi bahasa, etiket, dan lain-lain. Lawan dari beradab adalah biadab, tidak tahu adat, dan sopan santun. Dalam bahasa arab pun ditemukan istilah adab seperti al Adab al Maidah yang artinya perilaku/kesopanan dalam meja makan. Peradaban dipahami sebagai kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir bathin.
Peradaban dalam bahasa Indonesia sering diidentikkan dengan kata kebudayaan. Akan tetapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization untuk peradaban dan culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam bahasa Arab dibedakan antara tsaqafah (kebudayaan), hadharah (kemajuan) dan tamaddun (peradaban).
Menurut Karim[2] Kebudayaan merupakan suatu sikap bathin, sifat dari jiwa manusia, yaitu usaha-usaha untuk mempertahankan hakekat dan kebebasannya sebagai makhluk yang membuat hidup ini lebih indah dan mulia. Sementara, peradaban ialah suatu aktifitas lahir yang biasanya dipakai untuk menyebut bagian dan unsure-unsur dari kebudayaan yang halus, maju dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya.
Menurut ahli antropologi De Haan[3], peradaban merupakan lawan dari kebudayaan. Peradaban adalah seluruh kehidupan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Sebaliknya, kebudayaan adalah semua berasal dari hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni yang berada di atas tujuan praktis dalam hubungan masyarakat, misalnya music, seni, agama, ilmu, filsafat dan lain-lain. Pendapat De Haan tentang peradaban sangat sempit karena peradaban hanya diartikan dalam kehidupan untuk kegunaan praktis dan kebudayaan sebagai pandangan yang sangat luas dari kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan sejarawan dan antropolog berbeda dalam memandang peradaban dan budaya, sehingga perdebatan tentang epistemology peradaban dikalangan ilmuwan Barat khususnya, ternyata tidak mampu mendefinisikan peradaban dengan komprehensif.
Jika makna peradaban mengikuti definisi Barat, maka perdaban Islam akan menjadi perdaban yang sempit dan tidak mampu memberikan kesejahteraan secara menyeluruh pada setiap sendi kehidupan.
Berbeda dengan ilmuwan muslim, Ahli pemikiran dan peradaban sekaligus ilmuwan muslim abad 21 – Prof. Muhammad Naquib Al Attas menyebut peradaban dengan “Tamadun”, yang berasal dari kata daana (ketaatan)-diinun (agama, hukum)-dainun (hutang). Sehingga muncul kata tamadun (peradaban) yakni sebuah tempat, region, atau city yang dikelola berdasarkan (aturan-aturan) agama. Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar kata din dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan. Kenapa Prof. Muhammad naquib Al Attas menggunakan kata “tamaddun”, karena memiliki kaitan dengan diberlakukannya aturan-aturan agama didalamnya.[4]
Al Hujwiri[5] menegaskan peradaban Islam adalah suatu pelajaran dan pendidikan tentang kebajikan yang merupakan bagian dari sendi-sendi keimanan.  Ar Razi[6] menekankan, bahwa peradaban Islam adalah sejauhmana membina hubungan sosial, yang mana sikap yang terbaik adalah menjaga kehormatan diri dan menuruti sunnah Nabi. Persahabatan antara sesame manusia harus dibina berdasarkan kepentingan Allah, tidak berdasarkan kepentingan dan keuntungan pribadi.
Peradaban mencangkup aturan-aturan logis yang komprehensip dalam memurnikan kehidupan yang membawa pada kesejahteraan umat. Dengan demikian, peradaban Islam adalah suatu masa dimana aturan-aturan agama (syariat) menjadi dasar menjalankan aktivitas kehidupan manusia dalam rangka mengatur pola hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam semesta dalam segala sendi-sendi kehidupan untuk mencapai derajat yang tinggi dan kesempurnaan  iman.

B.      Sejarah Bangunan Peradaban Islam
Dalam perjalanannya Islam mengalami tantangan besar untuk menerapkan syariatnya dalam kehidupan manusia, namun pada akhirnya terbentuk pula komunitas Islam yang kuat dan tangguh dalam menjalankan aturan-aturan Allah. Keberlangsungan syariat tentunya tidak semulus dan sepanjang zaman untuk terus bertahan dijalankan oleh umat. Tantangan mulai dihadapi oleh umat ketika moral semakin merosot dengan budaya jahiliyah dan kesusasteraan jahiliyah mulai merusak peradaban Islam dengan pemikiran-pemikiran peradaban lainnya, khususnya aktivitas keilmuan dan filosofis yang dibawa dari budaya helenistik.
Tantangan-tantangan tersebut dihadapi oleh cendekiawan muslim dan ulama’ dengan keluasan ilmu dan keikhlasan amal. Pakar Filsafat Islam Alparlan Acikgenc[7] sampai pada kesimpulan bahwa intelektualitas pada abad pertama kemunculan Islam telah memiliki fondasi yang memadai yang disebut contextual causes untuk kebangkitan aktivitas keilmuan dan kemunculan tradisi keilmuan dalam Islam.
Kehadiran Rasulullah telah mampu membawa perubahan berfikir dan pandangan terhadap sendi-sendi kehidupan, khususnya tentang masalah ketuhanan dan tanggungjawab manusia. Rasulullah dengan Al Quran telah memberikan motivasi dan penjelasan tentang tanggungjawab manusia terhadap moral dan relijius sebagai khalifah dimuka bumi dan alam semesta. Penjelasan Rasulullah tentang konsep wahyu menjadi awal kemunculan Islamic Worldview bagi umat dimasa kenabian yang kemudian memunculkan peradaban Islam dimasa setelahnya.
Pada dasarnya secara kronologis, asal usul kemunculan Islamic worldview dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: periode Mekah awal, periode Mekah kedua dan periode Madinah. Pada periode awal Mekah yang dibangun pertama adalah konsep dan isu teologi seperti konsep tauhid (Tuhan), konsep penciptaan, konsep etika, konsep akhirat, baik dan buruk. Konsep awal ini merupakan elemen fundamental dalam Islamic Worldview. Pada periode Mekah kedua mulai dibangun konsep ilmu, konsep ibadah, konsep agama dan kenabian. Sebenarnya konsep-konsep di periode kedua ini telah dimiliki oleh kaum muslimin awal (assabikunal awwalun) sebelum mereka masuk Islam. Setelah mereka menerima Islam, maka konsep mereka berubah menjadi konsep yang memiliki nilai-nilai keislaman dan keimanan pada Allah SWT. Sedangkan pada periode Madinah, konsep-konsep seperti hukum, jihad, persaudaraan, komunitas muslim (ummah) dipadukan dengan konsep-konsep sebelumnya yang telah mereka terima dari al Qur’an, sehingga menjadi kesatuan ide yang menyeluruh dengan sebutan Islamic Worldview.
Alparslan[8] menegaskan bahwa apabila sejarah intelektual Islam pada masa awal dipelajari secara teliti, maka akan terlihat benih dari beberapa ilmu telah tampak sejak masa Rasulullah terutama pada periode ketiga, seperti sejarah, hukum, kesusasteraan, grammar, filsafat, teologi, yang semuanya masih pada tahap awal. Pada akhir abad ke satu Hijriyah, kebanyakan pengetahuan tersebut telah terakumulasi dalam disiplin-disiplin ilmu dan berproses untuk menjadi ilmu atau sains.
Dari tiga periode tersebut, merupakan titik awal berkembangnya peradaban Islam yang ditandai dengan lahirnya ilmu pengetahuan Islam secara luas dan menyeluruh. Menurut Alparslan Pada periode awal Islam, ilmu (knowledge) mengacu pada dua hal, yaitu ‘ilm dan fiqh.’Ilm digunakan oleh Al Qur’an dan hadits untuk mengacu pada pengetahuan wahyu (revelead knowledge) yang pasti dan absolute. Sedangkan fiqh lebih bersifat keilmuan dan rasional.[9]

C.      Kemunculan Tradisi Keilmuwan Islam
Tradisi keilmuwan dalam Islam menjadi perhatian utama untuk membangun sebuah peradaban dan penyebaran Islam dalam masyarakat yang penuh dengan dilemma dalam kehidupan, sehingga dilemma yang dihadapi dapat teratasi dengan keilmuan Islam yang dibangun. Menurut Hamid Fahmi Zarkasyi[10] ada beberapa tahapan kelahiran ilmu berdasarkan skema Acikgenc yang pernah ditelaahnya. Masih menurut Hamid, kelahiran ilmu dalam Islam dibagi ke dalam empat periode.
Pertama, turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam. Pada periode Mekah merupakan periode lahirnya konsep ketuhanan, penciptaan, akhirat, nubuwwah, din, ibadah dan sebagainya, sedangkan pada periode Madinah sebagai penjelasan diatas sebagai periode pemersatu ummat dengan konsep toleransi dan sosial, ekonomi bahkan sebagai konfigurasi struktur ilmu pengetahuan yang menghasilkan konsep-konsep keilmuwan yang terperinci dan menyeluruh. Periode ini yang kemudian menjadi penyempurnaan dan ritual peribadatan, rukun Iman, rukun Islam dan system hukum yang mengatur kehidupan manusia.
Kedua, lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun tersebut mengandung struktur ilmu pengetahuan. Karena dalam al Qur’an terdapat istilah kalam, wujud,  khalq, halal, haram, iradah dan sebagainya. Dimana istilah-istilah tersebut merupakan bagian dari konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep etika dan sebagainya. Sehingga dapat ditegaskan bahwa istilah tersebut sebagai kerangka awal dari konsep keilmuwan dan sebagai kesimpulan terhadap lahirnya ilmu pengetahuan dalam Islam bahwa al Qur’an adalah embrio dari ilmu (sains) dan pengetahuan ilmiah.
Berbeda dengan awal kemunculan ilmu di Barat yang berasal dari hasil eksperimen dan pengalaman subjektif para filsof. Sedangkan anggapan Barat tentang kelahiran ilmu dalam Islam dipandang bahwa sains dalam Islam tidak ada asal usulnya. Hal ini diungkap oleh para penulis sejarah Islam seperti De Boer, Eugene Myers, O’leary, Alfrend Gullimaune, dan banyak lainnya. Dari kalangan penulis modern adalah Radhakrishnan, Majid Fakhry, W. Montgomery Watt, dan lain-lain.
Ketiga, ditunjukkan dengan adanya komunitas ilmuwan muslim. Bukti adanya masyarakat ilmuwan yang menandai permulaan tradisi keilmuwan dalam Islam adalah berdirinya kelompok belajar atau sekolah Ashhabus Shuffah di Madinah pada masa Rasulullah. Para Ashhabus Shuffah ini mengkaji kandungan wahyu dan menghafalkan Al Qur’an dengan bimbingan Rasulullah. Para ilmuan Islam tersebut antara lain Abu Hurairah, Abu Dzar al Ghifari, Salman Al Farisi, Abdullah ibn Mas’ud, yang kemudian diikuti oleh generasi berikutnya seperti Qadi Syuriah (w.699), Muhammad ibn Hanafiyyah (w.700), Umar Ibn Abd Aziz (w.720), Ja’far As Shadiq (w.765), Abu Hanifah (w.767), Malik ibn Anas (w.796), Abu Yusuf (w.799), As Syafi’I (w.819) dan lain-lain.
Keempat, merupakan tahapan lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam yang dilalui dengan tiga tahap, yaitu (1) tahap problematic (problematic stage) yaitu tahap dimana berbagai problem subjek kajian dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang-bidang kajian tertentu. (2) Tahap disipliner (disciplinary stage) yaitu tahap dimana masyarakat yang telah memiliki tradisi ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan sesuai dengan bidang masing-masing. (3) Tahap persamaan (naming stage), pada tahap ini bidang yang telah memiliki materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.[11]
Dengan penjelasan tahapan lahirnya ilmu dalam Islam tersebut, semakin jelas dan tegas dalam membantah anggapan Barat tentang asal usul keilmuan dalam Islam yang dianggap tidak memiliki asal usul. Ilmu dalam Islam lahir dari kajian ilmuan muslim pada permulaan turunnya wahyu. Kajian mendalam terhadap Al Qur’an dan Hadits sesudahnya memunculkan konsep ilmu-ilmu yang lain dalam kehidupan manusia modern sekarang.

D.     Pilar Pembangunan Peradaban Islam
Seorang muslim yang merindukan pembangunan peradaban Islam, sebagaimana masa keemasannya harus mulai dimulai sejak sekarang dan di mulai dari diri sendiri yang kemudian memberikan nur (cahaya) ilmu pada umat.
Muslim zaman sekarang harus memahami pilar-pilar peradaban Islam yang telah dibangun oleh tokoh-tokoh Islam dizamannya. Sebenarnya pilar peradaban Islam bertolak pada sebuah hadits rasulullah tentang Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga pilar tersebut memunculkan bidang masing-masing, misalkan pilar “iman” melahirkan ilmu tauhid, ilmu kalam dan sebagainya berikut para ulama’nya seperti Imam Maturidy, Imam Hasan al Asy’ariy, dan sebagainya. Dari pilar “Islam” muncul ilmu figh atau syariah berikut para ulama’ fiqh seperti 4 mahdzab (Imam malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali). Dengan pilar inilah hukum-hukum Islam semakin jelas dalam tata cara pelaksanaannya dalam kehidupan. Dan dari pilar “Ihsan” berkembang ilmu akhlaq, atau ilmu tasawuf dengan sejumlah ulama’nya seperti Hasan al bashri, Junaid al Baghdadi, Imam Al Ghazali. Oleh karena itu untuk membangun sebuah peradaban Islam yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang muslim adalah tiga pilar tersebut, yaitu:
1.      Pilar Tauhid (Aqidah)
Keimanan menjadi yang utama dalam kehidupan, karenanya (iman) seseorang memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain – muslim  atau non muslim, kafir atau tidak. Jika seorang muslim memiliki aqidah yang benar kepada Allah, maka Allah akan memudahkan baginya untuk mampu memahami agama dengan benar. Jika keimanan seseorang salah terhadap Allah atau menduakan Allah, maka tentunya dalam setiap amalannya akan tertolak.
Kata "‘aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth(ikatan), al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam(penguatan), at-tawatstsuq(menjadi kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah(pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu(penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin(keyakinan) dan al-jazmu(penetapan).
Secara terminologi “aqidah” yaitu perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidka tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan.
Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang  menyakininya. Dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.
Aqidah yang benar tidak mengagungkan akal diatas segalanya, sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh ilmuwan Barat, seperti Socrates, Aristoteles, Plato, Dante Alighieri, dan kawan-kawannya. Ketika akal dipuja-puja maka yang terjadi adalah kebuntuhan ilmu dalam segala bidang dan matinya hati untuk mengenal Tuhannya. Dan menghilangkan eksistensi dirinya sebagai hamba dan khalifah.
Oleh karenanya aqidah kepada Allah harus diatas segalanya, sehingga Allah melindungi setiap amaliyah-amaliyah ibadah, sebagaimana Allah berfirman, "Sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami menambah buat mereka hudan (petunjuk).”(al-Kahfi, 18:13)
2.      Pilar Ilmu (Syariah)
Muncul sebuah pertanyaan dari  Prof. Muhammad Naquib Al Attas yang diajukan kepada murid-muridnya, “kalian ingin menjadi Harun al Rasyid (Khalifah Abbasiyah paling terkenal) atau Abu Hanifah (salah seorang ulama’ mahdzab)?, siapa yang masih bisa “abadi” hingga sekarang?, tentu Imam Abu hanifah. Meski beliau pernah dipenjara dalam masa kekhalifahan Abbasiyah, tetapi hasil ijtihadnya dalam ilmu fiqh tetap terpelihara sampai sekarang. Sementara Harun al Rasyid, ia memang pernah berjaya dalam satu fase peradaban Islam, tetapi hanya pada masanya. Hal ini menunjukkan bahwa jika peradaban berlandaskan kekuasaan akan mudah musnah dan tidak akan pernah bertahan lama, sedangkan jika peradaban yang berlandaskan pada ilmu akan bertahan lama sampai hari kiamat. Kekuasaan tentu penting, tetapi kekuasaan hanya bagian kecil dari peradaban Islam.
Karena peradaban juga dibangun berlandaskan ilmu, maka tidak setiap muslim tidak boleh meninggalkan ilmu, khususnya adalah ilmu agama yang sifatnya fardhu ‘ain dan juga ilmu-ilmu yang lain yang sifatnya fardhu kifayah. Sehingga yang sangat banyak berperan disini adalah lembaga pendidikan yang mampu mengintegrasikan kedua ilmu tersebut. Rasulullah diutus untuk urusan (ilmu) agama (umurid-din), sementara antum a’lamu liumurid-dunyakum. Jika urusan agama beres, maka urusan-urusan dunia (umurid-dunya) akan mengikutinya.
3.      Pilar Adab (Akhlaq)
Konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof. Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia karana yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan kejahilan.”[12]
Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa (QS 49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih.
Dengan demikian, adab harus dimiliki oleh muslim yang akan membangun peradaban Islam. Adab pertama kali yang harus dimiliki adalah adab kepada Allah – karena ketika kita sholat, mengaji tidak menggunakan adab yang benar kepada sang Khaliq, maka sia-sialah perbuatan kita, kedua adab kepada Rasulullah sebagai pembawa risalah dan memberikan uswatun hasanah serta memberikan jalan terang pada kita untuk menikmati Islam sebagai agama rahmat lil ‘alamin. Sedangkan yang ketiga adalah adab kepada orang tua untuk selalu menjaga perasaan dan kasih sayang terhadapnya. Yang keempat, adab terhadap guru yang telah memberikan ilmu dengan segala kesabaran dan keikhlasannya. Kelima, adab terhadap sesama makhluk dan alam semesta yaitu menjaga tali silaturrahim, saling hormat menghormati, toleran, dan menjaga keberlangsungan hidup alam semesta.
Dengan kesimpulan bahwa menurut Hasyim Asy’ari ”at-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11). (Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya).
Ketiga pilar peradaban tersebut tidak dapat terpisahkan, terbukti jika seseorang memiliki tidak memiliki aqidah walaupun memiliki ilmu dan karakter baik maka akan terjadi kekufuran dalam dirinya dan tentunya akan menghilangkan perasaan hamba dalam dirinya yang kemudian muncul kesombongan. Namun jika seseorang memiliki aqidah kuat dan ilmu yang tajam, namun tidak memiliki adab maka akan terjadi penghancuran alam semesta dan kejahiliyahan yang akan berkuasa, sebagaimana bangsa Arab sebelum Rasulullah di utus. Sedangkan dengan Ilmu yang sedikit, walaupun akidah dan memiliki adab maka akan terjadi penyesatan terhadap umat manusia. Oleh karena itu tiga pilar peradaban tersebut perlu untuk dipegang dan dijalankan secara totalitas sehingga terwujud peradaban Islam.
E.      Sumbangan Ilmu Pengetahuan Islam pada Barat
Pada saat Eropa mengalami masa kegelapan (dark age) dan kebuntuhan ilmu pengetahuan, kemudian Islam muncul untuk memberikan pencerahan dan penerangan pada kegelapan kehidupan masyarakat Eropa. Karena perlu diketahui, bahwa Islam tidak pernah menemukan kebuntuhan dalam ilmu pengetahuan selama bersandarkan pada Al Qur’an dan Hadits.
Pada masa ketika raja-raja Eropa menyewa guru-guru untuk mengajarkan cara menulis dan membubuhkan tanda tangan, institusi pendidikan Islam justru tengah memelihara, memodifikasi, dan menyempurnakan kebudayaan-kebudayaan klasik, melalui sekolah tinggi dan pusat-pusat riset yang telah maju dibawah para penguasa yang memiliki wawasan keilmuan. Kemudian dari usaha kreatif dan jenius tersebut telah menjangkau wilayah Latin Barat melalui penerjemahan versi bahasa Arab atas karya-karya klasik maupun tulisan-tulisan cendekiawan muslim tentang kedokteran, filsafat, geografi, astronomi dan ilmu lainnya, hingga ilmu pengetahuan berkembang di Barat dan menjadi warisan bagi kehidupan modern.[13]
Ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa, Islam mengalami masa keemasan. Kejayaan tersebut ditunjukkan dengan berbagai peninggalan-peninggalan dan karya-karya ilmuan Islam yang memberikan kontribusi terbesar bagi peradaban dunia. Keemasan Islam diperoleh pada masa Harun Ar Rasyid dengan segala kebijakannya untuk membangkitkan Islam. Beliau memobilisasi potensi ilmuan untuk melakukan penerjemahan terhadap ilmu-ilmu yang ada di Yunani dan Romawi, karena di dua bangsa tersebut mengalami masa kegelapan (dark age) dan kebuntuhan ilmu dalam segala bidang. Sehingga dengan banyaknya penerjemah muslim, maka Harun Ar Rasyid membangun sebuah peradaban ilmu dengan bangunan perpustakaan termegah dan terlengkap pada masa itu, sebut saja khizanah al hikmah (Baitul Hikmah) di Baghdad, Perpustakaan Cordoba di Spanyol, Darul Hikamah di Mesir, Al-Haidariyah di An-Najaf, Ibnu Sawwar di Basrah dan beberapa wilayah Afrika dan Eropa. Perkembangan perpustakaan dan keilmuan inilah pakar sejarah dan ilmuwan Barat mengakui kontribusi peradaban Islam terhadap Barat (lihat buku Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia karya Prof. Dr. Raghib As Sirjani).
Kejayaan Islam yang pernah diraih tidak hanya sekedar menemukan benda-benda, namun lebih dari itu. Ilmuan Islam telah meletakkan dasar berfikir ilmiah, khususnya dalam bidang penelitian dan metodologi. Sebagaimana Sigrid Hunke[14] mengakui bahwa orang-orang muslim Arab telah mengembangkan bahan-bahan mentah yang diperoleh dari Yunani (Greek) dengan uji coba dan penelitian ilmiah kemudian menformulasikannya dalam bentuk yang baru sama sekali. Sesungguhnya Arab dalam kenyataannya sendiri adalah pembuat Metodologi Penelitian yang benar dengan didasarkan pada uji coba.”
Sesungguhnya ilmuan Islam bukan hanya menyelamatkan peradaban bangsa Yunani dari kepunahan, menyusun dan mengklasifikasikannya kemudian menghadiahkan ke Barat begitu saja. Akan tetapi sebenarnya ilmuan Islam adalah peletak berbagai macam metodologi penelitian dalam segala bidang keilmuan (kimia, psikologi, ilmu hitung, perbintangan, ilmu ukur, ilmu sosial, hukum, dan sebagainya).
Karya-karya ilmuan muslim yang kemudian digunakan oleh umat manusia modern sangat berlimpah, seperti dalam ilmu sains misalkan Abu Bakar Ar Razi yang didaulat sebagai ilmuan kedokteran terbesar; Ali bin Isa bin Ali AL Kahhal (430H/1039M) penemu celak; Abu Qasim Az Zahrawi (403H) seorang ahli bedah; Ibnu Sina (428H) karyanya kitab al Qanun yang digunakan oleh dokter-dokter dan fisikawan Eropa sampai kini dan diterjemahkan dalam banyak bahasa; Ibnu Tufail sebagai penemu penyakit usus melingkar (Ancylostoma) pertama dalam sejarah; Abu Raihan Al Biruni ahli fisika yang menetapkan delapan belas bentuk macam batu mulia; Abu Fatah Abdurrahman Al Khazani sebagai ilmuan arsitektur, logika dan fisika; Ibnu Haitsam sebagai penemu optic pertama dengan kitabnya al Manazhir yg diterjemahkan dalm bahasa latin dengan judul Opticae Thesaurus; Nashiruddin Ath Thusi (597-672H/1201-1274M) sebagai pakar ilmu logika, perkiraan dan matematika; Taqiyuddin Asy-Syami (927-993H/1521-1585M) seorang pakar dalam bidang filsafat,falak, matematika, fisika, kimia, apoteker, pertanian dan arsitek yang memiliki 90 buah karya dalam berbagai bidang ilmu; Al Khawarizmi ilmuan matematika yang memperkenalkan al Jabar dan ilmu perbandingan sekaligus penemu benua Australia; Abu Ali Al Marakisyi (660H/1262H) yang meletakkan pertama kali garis bujur dan lintang pada peta bola bumi; Al Mas’udi (346H/957M) seorang sejarawan, pengelana dan peneliti yang memperkenalkan peta; Al Farghani seorang ilmuan astronomi yang kitabnya masih dijadikan rujukan di Eropa dan Asia setelah 107 tahun; Abdurrahman as Sufi (291-376H/903-989M) sebagai peletak jadwal secara detail bintang-bintang yang terbit. Masih banyak ilmuan Islam lainnya yang meletakkan dasar-dasar keilmuan yang kemudian menjadi pencerahan keilmuan di Eropa. Kajian, penelitian bahkan penerjemahan mulai dilakukan oleh orang-orang Eropa setelah terjadinya perang salib (1095-1291M) sampai abad kelima belas.
Sesungguhnya tidak ada aspek penting dalam peradaban Barat semenjak abad-abad keduabelas dan ketigabelas dimana pengaruh yang pasti dari kebudayaan Islam tidak terlihat secara nyata. Hal ini terutama berlaku bagi institusi-institusi ilmu pengetahuan dengan kurikulum dan metodologinya yang lebih tinggi. Dengan demikian memang sangat diperlukan adanya penggabungan antara pengembangan institusi ilmu pengetahuan muslim dan produk-produk inteletual muslim dalam setiap kajian yang komprehensif terhadap sejarah pendidikan Barat.
Keilmuan Islam dalam segala bidang inilah yang menjadikan kemuliaan pada Islam di mata dunia dan musuh-musuhnya. Dan menjadikan semakin tingginya derajat seorang muslim ketika menjunjung tinggi ilmu pengetahuan (QS.Al Mujadilah: 11)[15] yang dikorelasikan dengan keimanan dan diaplikasikan dalam amaliyah kemaslahatan umat manusia.



[1] Prof. Dr. M.A Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Bagaskara, Yogyakarta, 2011. Hal 33
[2] Ibid.hal 34
[3] Ibid.hal 34-35
[4] Dr. Ugi Suharto, Peradaban Islam itu di Bangun di Atas Landasan Ilmu, Majalah al Haromain edisi 86.hal 10-11.
[5] Prof. Dr. M.A Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Bagaskara, Yogyakarta, 2011. Hal 36
[6] Ibid.
[7] Dr. Adian Husaini et.al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, GIP, Jakarta, 2013. Hal 19.
[8] Ibid. hal 20
[9] Alparslan Acikgenc,Islamic Science, hlm.76 dalam Ibid. hal 22.
[10] Ibid. hal 23-25
[11] Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview sebagai Asas Epistemologi Islam dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Thn. II No.5, April-Juni 2005, hal. 9-18.
[12] Prof. SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, 2001.
[13] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat, Risalah Gusti, Surabaya, 2003.
[14] Prof.Dr. Raghib As Sirjany, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Pustaka al Kautsar, Jakarta, 2012.
[15] “Hai orang-orang beriman, apabila dikatakan kepadamu,’Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan member kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu’, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”