Kamis, 25 April 2019

TUGAS KELAS FILSAFAT ISLAM

TUGAS KELAS FILSAFAT ISLAM

1. Bagi seluruh mahasiswa kelas Filsafat Islam yang saya ampuh, di mohon untuk membuat kelompok sebanyak 10 kelompok.
2. Setiap kelompok membuat makalah dengan judul dibawah ini, adapun judul setiap kelompok sesuai dengan urutan kelompok (kelompok 1 judul makalah huruf a), adapun judul makalah sebagai berikut:
a. Hukum kausalitas dalam worldview islam
b. Epistemologi ilmu dalam filsafat islam
c. Interpretasi al Ghazali atas Realitas
d. Pengetahuan menurut al Ghazali
e. Kausalitas dan Pengetahuan menurut Ibn Rusd
f. Konsepsi Tuhan dan Sembahyang menurut Muhammad Iqbal
g. Konsep Kenabian menurut Ibnu Sina
h. Epsitemologi, psikologi dan mistisme Ibnu ‘Arabi
i. Konsep Makhluq menurut Imam ar Razi (Fakhr Razi)
j. Pandangan metafisika menurut Sayyid Muhammad Naquib Al Attas
         
3. Makalah dikumpulkan dalam bentuk soft file ke email jurnalilmiah81@gmail.com
4. Waktu pengumpulan makalah yaitu pada tanggal 1 Mei 2019, maksimal pukul 24.00 WIB

TERIMA KASIH SELAMAT MENGERJAKAN, SEMOGA DIMUDAHKAN DAN DIDLANCARKAN OLEH ALLAH

M. NATSIR DAN DAKWAH MELALUI PEMERINTAHAN



M. NATSIR DAN DAKWAH MELALUI PEMERINTAHAN

Akhmad Hasan Saleh



Perjuangan pergerakan dakwah di Indonesia sangat masif dan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di dunia, sehingga memberikan gambaran pada bangsa-bangsa lain tentang Islam di Indonesia. Banyak tokoh-tokoh yang telah berjuang untuk menegakkan kalimatul haq sebagai dasar berfikir, berpolitik, berekonomi bahkan dalam pengembangan pendidikan pada masa awal kemerdekaan, salah satunya adalah Mohammad Natsir dikenal sebagai sosok yang gigih dalam memperjuangkan sekaligus mempertahankan kebenaran Islam seperti tokoh-tokoh nasional pada masa itu, yaitu H. Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Hamka dan lain-lain. M. Natsir berdiri dan berjuang bersama mereka.
M. Natsir adalah salah satu putra terbaik bangsa Indonesia yang dikenal cerdas dalam pemikirannya. M. Natsir juga dikenal sebagai birokrat, politisi dan juga sebagai dai ternama. Sebagai birokrat, M. Natsir pernah menduduki dua jabatan penting di pemerintahan, yaitu sebagai menteri penerangan dalam kabinet Sjahrir dan perdana menteri pertama pada masa pemerintahan soekarno. M. Natsir sebagai politisi telah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar pada masanya, yaitu Masyumi dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Sebagai dai ternama, M. Natsir pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami sekaligus juga sebagai tokoh puncak Rabithah Alam islami, serta menjadi Ketua Dewan Dakwa Islamiyah Indonesia sejak tahun 1967 sampai beliau wafat tahun 1993. Seluruh jabatan yang pernah didudukinya adalah jabatan-jabatan penting dalam bidangnya.
M. Natsir yang dilahirkan di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera barat, pada hari jumat 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan 17 Juli 1908 dari rahim seorang ibu bernama Khadijah. Ayahnya bernama Muhammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor Kontroler di Maninjau. M. Natsir mendapatkan gelar Datuk Sinaro Panjang setelah menikah dengan Nurhanar pada tanggal 20 Oktober 1934 sebagai adat Minangkabau bahwa gelar tersebut akan diberikan kepada yang berhak menerimanya setelah melangsungkan pernikahan. Dari pernikahan ini, M. Natsir dikaruniai enam orang anak, yaitu: Siti Muchlisah, Abu Hanifah, Asma Farida, Dra. Hasnah Faizah, Dra. Asyatul Asryah, dan Ir. Ahmad Fauzi. Namun disayangkan dari sekian putra-putrinya tidak ada satu pun yang mengikuti jejak perjuangan sang ayah.
M. Natsir juga mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Yukinan, Rubiah dan Yohanusun. Pada masa remajanya ia sudah terbiasa dengan pendidikan keagamaan dan intelektualisme. M. Natsir muda sangat tekun dalam belajar, ia melewati masa mudanya dengan penuh perjuangan berat. Disisi lain ia harus menuntut ilmu dan disisi lain ia harus mampu bertahan dalam kehidupannya yang penuh keterbatasan. Ia harus memasak nasi, mencuci pakaian, dan mencari kayu bakar dipantai. Kehidupan yang berat tersebut dilaluinya dengan bahagia. M. Natsir mengatakan bahwa keterbatasan yang dialaminya mengantarkan kesadaran akan dirinya, kesadaran bahwa rasa bahagia tidaklah terletak pada kemewahan dan keadaan serba cukup. Rasa bahagia lebih banyak timbul dari kepuasan hati yang tidak tertekan dan bebas, berani mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, tidak mengalah dengan keadaan, tidak berputus asa, dan percaya pada kekuatan yang ada dalam dirinya sendiri.
M. Natsir mengenyam pendidikan pertama di sekolah partikelir HIS Adabiah di Padang, setelah ia gagal masuk Sekolah Rendah Belanda (HIS) karena ayahnya adalah pegawai rendahan. Selanjutnya ia dipindahkan oleh ayahnya ke Solok untuk mendapatkan pendidikan. Di Solok inilah pertama kali M. Natsir belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fiqh yang diajarkan oleh Tuanku Mudo Amin pada sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji al Qur’an pada malam harinya. Pada tahun 1920, ia diajak kakaknya, Rubiah untuk pindah ke Padang. Tahun 1923, ia pun menamatkan pendidikan di HIS. M. Natsir juga aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler seperti MULO. Ia pun pernah menjadi anggota Pandu Nastionale Islamietische Pavinderij sejenis pramuka. Ia melanjutkan pendidikan formalnya ke Algememe Midlebare School (AMS) Afdelling A di Bandung. Di kota ini M.Natsir bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Ahmad Hassan, pendiri Persis, yang kemudian hari mempengaruhi pemikiran M. Natsir sehingga menjadi militan. Sejak itu M.Natsir mulai tertarik pada pergerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan JIB, sebuah organisasi pemuda Islam yang anggotanya adalah pelajar-pelajar yang bersekolah di sekolah Belanda. Organisasi ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran intelektual Haji Agus Salim. Di usia yang masih belia, ia bisa berkumpul dengan tokoh-tokoh nasional, yaitu Hatta, Prawoto Mangunsasmita, Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto, dan Moh. Roem. Pada tahun 1928, dengan kecerdasannya yang ditunjukkan dalam diskusi-diskusi mengantarkan pada posisi ketua JIB di Bandung hingga tahun 1932, sehingga kemampuan politiknya makin terasah. Kegiatan yang digelutinya telah membawa perubahan besar pada sosok M. Natsir, hingga meraih gelar Meester in de Rechten (MR). M. Natsir dengan modal inteletualisme dan panggilan jiwanya mengajarkan agama yang pada masa itu masih sangat minim. Semangat kesadaran melihat keadaan sekolah umum yang tidak mengajarkan agama, kemudian M. Natsir mendirikan Lembaga Pendidikan Islam (Pendis), suatu bentuk pendidikan modern dengan kurikulum terintegrasi antara pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan ala pesantren. Pendis dibawah kepemimpinan beliau selama sepuluh tahun sejak tahun 1932 mengalami perkembangan dan kemajuan dibeberapa daerah di Jawa Barat dan Jakarta.
M.Natsir mulai sungguh-sungguh bergelut di dunia politik diawali dengan mendaftarkan diri menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung pada tahun 1938. Karirnya semakin meningkat sejak bekerja di pemerintahan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kodya Bandung pada tahun 1942 sampai 1945 masa kemerdekaan sekaligus merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dalam perjalanannya, M. Natsir di untungkan dengan adanya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang dibentuk pada masa pemerintahan jepang, karena pada saat itu jepang merasa perlu untuk merangkul Islam, sehingga terbentuklah MIAI sebagai badan federasi organisasi sosial dan organisasi politik Islam yang kemudian menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tanggal 7 November 1945.
Karir politik M. Natsir semakin melesat pada awal kemerdekaan Republik Indonesia sebagai salah seorang politisi dan pemimpin negara. Herbert Feith mengatakan bahwa “Natsir adalah salah seorang menteri dan perdana menteri yang terkenal sebagai administrator berbakat yang pernah berkuasa sesudah Indonesia merdeka.” Kecerdasan M. Natsir menjadikan kawan dan lawan tetap menghormatinya dan selalu diberi kesempatan untuk menduduki jabatan tertentu. M. Natsir pernah dipercaya untuk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ketika Sutan Sajrir memerlukan dukungan Islam, M.Natsir ditawari menjadi menteri penerangan. Bung Karno pernah menjadi lawan polemiknya pada tahun 1930, sama sekali tidak keberatan atas gagasan Sutan Sajrir. Wakil presiden Moh. Hatta menjadi kesaksian bahwa Bung Karno tidak mau menandatangani sesuatu keterangan pemerintah, kecuali M.Natsir yang menyusunnya. Pernah suatu ketika M. Natsir tidak lagi mendapatkan kedudukan dipemerintahan Ode Baru, karena ketegasan dan pemikirannya tentang perjuangan penegakan syariat islam sebagai dasar negara. Namun, Moh. Natsir tidak berhenti dalam perjuangannya, ia kemudian mendirikan Yayasan bersama para ulama’ di Jakarta yang dinamakan dengan Yayasn Dewan Dakwah Indonesia (DDII). Sikap kritis dan korektif M. Natsir pada Pemerintahan Orde Baru menjadikan hubungan kurang harmonis. Kritikan M.Natsir menunjuk langsung pada persoalan-persoalan mendasar tetap menjadi aktivitas rutinnya, sehingga ia pun dicekal untuk melakukan perjalanan ke luar negeri sampai akhir hayatnya.
Dalam perjuangan mempersatukan bangsa M.Natsir memberikan jasa besar soal terbentuknya NKRI. Tepatnya pada 3 April 1950, ia sebagai anggota parlemen mengajukan mosi dalam sidang RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi yang diajukannya kemudian dikenal dengan “Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunta kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. M. Natsir berungkali mendapatkan kepercayaan dan kesempatan menduduki beberapa jabatan disejumlah kabinet.
M. Natsir selain berjuang dengan politik, ia pun berjuang melalui karya ilmiah dengan berbagai karya yang ditulisnya, hingga menghasilkan 35 judul buku dan ratusan artikel lepas dalam berbagai kesempatan. Namun yang sangat kita ingat adalah kumpulan artikel-artikel beliau yang terkumpul dalam buku Kapita Selekta I dan II. M. Natsir adalah sosok yang haus ilmu dan tidak berhenti belajar dengan membaca buku, hal ini yang mendorongnya untuk mejadi anggota perpustakaan dengan gaji tiga rupiah perbulan. Sehingga ia pun sering mendapatkan kiriman buku-buku baru dari perpustakaan.
M. Natsir adalah sosok yang memegang teguh perjuangan Islam bersama ulama’. Dalam buku 50 Pendakwah Pengubah Sejarah karya M. Anwar Djaelani menjelaskan bahwa pidato-pidato M. Natsir pada sidang pleno konstituante sangat brilian dengan menyampaikan hujjah-hujjah mengenai Islam sebagai Dasar Negara. M. Natsir mengatakan bahwa Islam sebagai agama sepantasnya menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat dan bernegera. Maka perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup, berupa kekuasaan dalam negara. Artinya M. Natsir mengingatkan bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Allah dan RasulNya, negara harus menjadikan al Qur’an dan Sunnah sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan. Pemikiran M.Natsir tentang tujuan sebuah negara adalah kesempurnaan berlakunya Undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan peri kemanusiaan sendiri sebagai individu, ataupun sebegai kelompok masyarakat baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia yang fana ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kela di alam baka. Sekalipun M. Natsir berjuang dalam penegakan syariat Islam, ia pun tetap tunduk terhadap dasar negara yang telah ditetap bersama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Adian Husaini dalam bukunya Pancasila Bukan Untuk menindas Hak Konstitusional Umat Islam, bahwa M. Natsir mengatakan bahwa “Setia kepada Proklamasi bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan akidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita”. M. Natsir sebagai sosok pejuang selalu menyampaikan ide-idenya dengan metode dakwah yang moderat dan berhikmah.
Dengan pemikiran itulah, M. Natsir mendukung tegas terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan di Afrika. Selain itu juga berusaha untuk menghimpun kerjasama antar negera-negara muslim yang baru merdeka, demi tegaknya peradaban Islam. Maka tidak berlebihan jika M. Natsir disebut sebagai salah seorang tokoh besar dunia Islam abad ini. Deliar Noer menyebutnya sebagai Inteletual-ulama’ atau ulama’-intelektual. Sebagai Intelektual ia terus belajar tanpa henti dan sebagai ulama’ ia terus mengaji dan mengkaji tafsir al Qur’an. Ada kesaksian bahwa hingga menjelang akhir hayatnya, M. Natsir masih terus mengkaji tafsir Fii Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb, Yafsir ibn Katsir, dan tafsir al furqon karya A. Hassan sebagai guru pertama dalam perjuangannya. M. Natsir berjuang dalam dakwah tak pernah surut diusianya yang senja, sehingga Allah memanggilnya pada tanggal 14 sya’ban 1413 H bertepatan tanggal 6 Februari 1993, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, beliau tutup usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama diberbagai media cetak dan elektronik. Dalam artikel Zaini Ujang yang berjudul “Pak M Natsir Ibarat Mutiara Alam Melayu” yang diterbitkan dalam Utusan Malaysia diungkapkan bahwa Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh Nakadjima menyampaikan ucapan belasungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya M.Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”. Artinya begitu penting sosok M.natsir bagi bangsa ini dan bangsa-bangsa di dunia.
Dalam perjuangan menegakkan kalimatul haq itulah M.Natsir mendapatkan apresiasi luar biasa dari Prof. Dr. Hamka, sehingga Hamka menulis sebuah puisi berjudul “Kepada Saudaraku M. Natsir”.
Meskipun bersilang keris dileher/ Berkilat Pedang dihadapan matamu/ Namun yang benar kau sebut juga benar/ Cita Muhammad biarlah lahir/ Bongkar apinya sampai bertemu/ Hidangkan diatas persada nusa/ jibril berdiri sebelah kananmu/ Mikail berdiri sebelah kiri/ Lindungan Ilahi memberimu tenaga/ Suka dan duka kita hadapi/ Suaramu wahai Natsir, suara kaummu/ Kemana lahi, Natsir kemana kita lagi/ Ini berjuta kawan sepaham/ Hidup dan mati bersama-sama/ Untuk menuntut Ridho Ilahi/ Dan aku pun masukkan/ Dalam daftarmu....

Pada bulan November 2008, M.Natsir mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia kepada M.Natsir (almarhum). Gelar itu diberikan sebagai penghargaan tertinggi pemerintah terhadap jasa-jasanya yang luar biasa kepada negeri ini. M.Natsir adalah sosok pemimpin yang harus ditiru oleh generasi saat ini, karena ia tak pernah berhenti memikirkan nasib umat dan bangsa serta memperjuangkan hingga akhir hayatnya.

Sabtu, 08 September 2018

TASAWUF AKHLAQI

TASAWUF AKHLAQI


Setiap makhluk sudah diciptakan sesuai dengan kadarnya. Setiap makhluk ciptaan tentunya melakukan ibadah pada Allah subhanahu wata'ala sesuai dengan caranya. Sedangkan manusia mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan syariat yang telah Allah berikan pada manusia dengan berpegang pada kalamullah dan sabda Rasulullah sallahu 'alaihi wasallam. Setiap manusia wajib bagi dirinya untuk mendekatkan diri pada Allah.

Rasulullah sebagai makhluk Allah menjadi paling istimewa bukan karena nasabnya, namun karena Akhlaqnya kepada Allah, alam semesta, manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Hadirnya pun bukan sekedar untuk menghuni alam semesta, namun sebagai agen of change dalam perilaku (akhlak) yang terjadi pada masa jahiliyah. Sehingga akhlak Rasulullah menjadi ushwah (panutan) sampai akhir zaman. Rasulullah sebagai ushwah sudah melakukan tasawuf sejak kehadiran beliau dimuka bumi. Tasawuf menurut Imam al Ghazali adalah membuang perilaku buruk dan memasukkan perilaku baik. Maka perilaku Rasulullah inilah yang kemudian menjadi panutan setelahnya sebagaimana yang diikuti oleh sahabat, kemudian tabi'in, tabiit tabi'in dan setelahnya hingga sekarang. 

Tasawuf dengan menfokuskan pada kajian perilaku inilah kemudian dikenal dengan Tasawuf Akhlaqi atau Tasawuf Sunni. Dalam Konsep Tasawuf Akhlaqi dipelajari tentang tahapan seseorang untuk bisa membersamai Allah dengan proses (riyadhoh) yang dilakukannya. Tahapan dalam Tasawuf Akhlaqi dikenal dengan Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Takhalli sebagai proses awal pembersihan jiwa yang kotor, perilaku yang buruk dengan proses taubat, wara', zuhud dan sebagainya yang pada akhirnya seseorang yang melakukan proses tersebut akan sampai pada maqom (kedudukan) tertentu. Dimana mereka yang melakukan proses membersihkan diri untuk mendapatkan kedekatan dengan Allah akan merasakan kondisi-kondisi tertentu seperti muraqobah, kahuf, mahabbah, raja', shauq dan sebagainya sesuai dengan kondisi jiwa pada saat itu. Kondisi itulah merupakan pengalaman spiritual yang juga disebut dengan ahwal.

Setelah seseorang melakukan proses takhalli maka akan sampai pada tahapan tahalli dengan memasukkan perilaku (akhlaq) mulia dalam dirinya. Proses Tahalli butuh keistiqomahan untuk bisa mencapai pada tingkatab Tajalli. Jika seseorang sudah sampai pada ketajalliannya dengan Allah, maka seluruh makhluk bahkan alam semesta tak lagi ada dalam dadanya, yang hadir adalah Allah dalam wujudnya yang tak tampak oleh mata telanjang. Namun akan tampak dengan mata bathin bagi pemilik jiwa yang suci.

Kamis, 24 Mei 2018


MENJADI AYAH VISIONER
Oleh. Akhmad Hasan Saleh

“ Di antara hak anak dari ayahnya ialah memberikan pendidikan kepada anak kepandaian menulis, membaca, kepandaian berenang, kepandaian membidik, dan memberikannya rezeki dengan rezeki yang halal.” (HR. Abu Syekh dan Al Baihaqi).
Hadits diatas mengisyaratkan pada orangtua, khususnya ayah untuk menunaikan kewajibannya dalam pendidikan keluarga. Ada hak anak terhadap orang tuanya adalah memperoleh pendidikan yang layak. Pendidikan yang pertama harus diberikan pada anak adalah pendidikan dan pemahaman tentang pengenalan terhadap Robnya, mengenal Rasulnya, mengajarkan sholat dan al qur’an, memberi tauladan yang baik.
Orang tua (Ayah dan ibu) memiliki posisi dan porsi yang berbeda dalam memberikan pendidikan. Ibu yang cenderung lembut, sayang, perasa menjadikan anak memiliki kelembutan dan kasih sayang, sedangkan ayah adalah sosok yang tegas, penuh tanggungjawab, logis, pengambil keputusan akan mampu menjadikan anak untuk menjadi sosok pemimpin atau menjadi pelindung bagi keluarganya. Sosok ayah tak bisa dipisahkan dari pendidikan keluarga. Ayah tetap ayah dan ibu tetap ibu dengan porsi dan sosok yang berbeda, perpaduan keduanya menjadikan anak tidak kehilangan figur keteladanan.
Pembentukan karakteristik anak tergantung pola pendidikan ayah ibunya (suami istri) dan sesuai dengan fitrah seksualitasnya. Menurut Psikolog Elly Risman Musa, Jika punya suami yang kasar, kaku garing dan susah memahami perasaan istrinya, tidak mesra dengan anak, maka perlu ditanyakan, pasti dia tidak dekat dengan ibunya ketika masa sebelum aqilbaligh. Jika punya suami yang sangat tergantung pada istrinya, bingung membuat visi misi keluarga bahkan galau menjadi ayah, pasti dia tidak dekat dengan ayahnya ketika masa anak. Figur ayah dan ibu harus ada sepanjang masa mendidik anak-anak sejak lahir sampai aqilbaligh. Bahkan figur ayah sudah sangat dibutuhkan pada saat anak masih dalam bentuk janin. Anak yang masih dalam kandungan sudah sejak awal memiliki keterikatan emosional dengan ibunya, bagaimana dengan seorang ayah?. Oleh karena itu, pada saat anak masih dalam kandungan, perlunya seorang ayah menyentuh perut istrinya dan bersuara dengan lembut bahkan memberi nasehat pada janin dalam kandungan sambil membacakan ayat-ayat suci al Qur’an sehingga anak dalam kandungan sudah mengenal dan mendapatkan pendidikan sang ayah.
Ayah dengan karakteristiknya menjadikan keluarga menemukan eksistensinya. Arti pentingnya seorang ayah dalam keluarga adalah sebagai motivator kehidupan keluarga, khususnya menjadi figur panutan bagi seorang anak. Berawal dari seorang ayahlah pendidikan itu dimulai, baru kemudian ibu melengkapi pola pendidikan dalam rumah tangga. Maka saling melengkapi dan kerjasama dalam mendidik anak menjadi sangat penting dalam membentuk anak menjadi sholeh dan sholeha.
“Muliakan anak-anakmu dan didiklah dengan budi pekerti yang baik” (HR. Ibnu Majah)
Tanggungjawab ayah yang pertama adalah memberikan nama yang baik, membesarkannya dengan memberikan nafkah yang toyyib lagi halal, dan menikahkannya. Ketika ayah memberikan nafkah, bukan hanya sekedar materi yang diberikan, namun nafkah pendidikan menjadi yang utama. Ayah hendaknya visioner dalam membangun keluarga–membina istri dan mendidik anak–suami yang memiliki visi dalam rumah tangga tentunya memandang ke masa depan demi terbinanya istri yang sholeha dan anak-anak yang sholeh-sholeha.
Rasulullah SAW sendiri amat memperhatikan masa depan sebagaimana pesannya, “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu dijadikan untuk menghadapi masa yang bukan masamu (yakni masa depan, sebagai generasi pengganti).” Seorang ayah dituntut memiliki wawasan luas tentang dunia dan perkembangannya, sehingga mampu memberikan pendidikan terbaik dan menjadi teladan bagi keluarga. Rasulullah bersabda, “ Di antara hak anak dari ayahnya ialah memberikan pendidikan kepada anak kepandaian menulis, membaca, kepandaian berenang, kepandaian membidik, dan memberikannya rezeki denngan rezeki yang halal.” (HR. Abu Syekh dan Al Baihaqi).
Istri yang perasa kecenderungan lemah menghadapi ‘kenakalan’ anak, maka sosok ketegasan ayah yang dibutuhkan. Ayah visioner memberikan arahan terhadap masa depan keluarga dan anak dengan wawasan yang dimilikinya. Jika ayah tidak memiliki visi dalam membangun keluarga, maka pembinaan dan pendidikan keluarga tidak akan berjalan dengan baik. Sehingga istri dan anak cenderung dengan kesibukannya masing-masing, tidak terbangun kepekaan dan emosional kebersamaan. Guru utama dalam keluarga ada pada ayah, sedangkan ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya.
Imam al Ghazali mengemukakan tentang thariqoh at tarbiyah (sistem pendidikan) yang harus dilalui dalam mendidik anak, sehingga mereka terselamatkan dari api dunia dan akhirat. Beliau mengatakan,”Anak itu amanat Allah yang dipertaruhkan kepada kedua orang tua. Jiwa anak yang suci murni itu bagai permata  indah yang sangat sederhana, yang belum dibentuk. Ia menerima segala bentuk rupa. Karena itu anak yang masih murni jika kita biasakan ke jalan kebajikan, tentu sampai dewasa ia akan selamat. Sebaliknya jika anak-anak kita dibiasakan kejalan kejahatan dan melengahkan pendidikannya sebagai pendidikan binatang, ceaka dan sesatlah akhirnya. Kesalahan itu menjadi tanggungjawab ayah dan ibunya, sebagaimana firman Allah SWT, ‘Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka’. (QS. At Tahrim (66):6).”
Ayah sebagai sosok pemimpin dan pelindung, seyogyanya memberikan tauladan terbaik bagi istri dan anak-anaknya. Sebagaimana Allah berfirman, “Arrijaalu kawwamuna ‘alan nisa’, (laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan)”, maka pantaslah jika ayah memiliki tanggungjawab berat dalam keluarga dan setiap tanggunggungjawab akan dimintai pertanggungjawabannya, Rasulullah bersabda, “Setiap dari kalian adalah pemimpin dana akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan dia bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Dan, orang laki-laki adalam pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya.....” (Muttafaq’alaih).
Terbangunnya kerjasama dalam pendidikan anak tergantung ayah dalam membawa pada suasana keharmonisan rumah tangga. Ayah visioner tentunya memiliki scadule pendidikan rumah tangga dan mindmap pencapaian cita-cita mulia keluarga. Ayah yang visioner juga menjadi inspirator bagi istri dan anak-anaknya untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, rajin dalam beribadah dan istiqomah dalam dakwah. Ayah yang penyayang juga menjadi tempat konseling bagi istri dan anak-anaknya untuk menemukan solusi yang terbaik dikala menghadapi kebuntuhan permasalahan, menjadikan anak memahami peran sosial sebagai pemimpin, menjadikan anak mampu berkomunikasi secara terbuka, memiliki percaya diri dan mampu mengelolah perasaan cinta.
Bersyukurlah kita dijadikan orang tua yang mampu menjadikan anak-anak tumbuh dalam asuhan kasih sayang, belaian dan cinta kita yang semata untuk menggapai ridho Allah SWT. Wallahu a’lam.

THE POWER OF GIVE


THE POWER OF GIVE
Akhmad Hasan Saleh

Gambar terkait

Beberapa tahun tepatnya 12 tahun yang lalu, saya menjadi pendamping masyarakat melakukan dakwah ekonomi di daerah rawan kerusuhan Halmahera Barat Maluku Utara. Daerah yang sangat subur penuh dengan tanaman perkebunan membuat saya takjub. Namun disisi lain, jauh dari keluarga tanpa sanak saudara. Disana saya berkenalan dengan orang setempat. Orang ini ternyata berasal dari jawa yang tinggal di Maluku Utara sejak tahun 2000, ia bersama dengan  istri dan satu anaknya yang masih kecil. Saya kira hanya sayalah disana yang tanpa sanak saudara, ternyata masih ada orang yang lebih kurang beruntung kehidupannya dari saya di tempat perantauan. Mereka hidup dalam satu rumah kos-kosan yang dihuni oleh beberapa karyawan perusahaan, keluarga kecil itu hanya mampu menyewa satu kamar kecil berukuran 3 x 3 meter. Sebelumnya mereka tinggal berpindah-pindah dari kos-kosan ke kos-kosan yang lain. Rumahnya pun tidak layak untuk ditempati, bisa dibayangkan rumah pesisir pantai. Suaminya bekerja sebagai tukang ojek dengan sepeda motor sewaan. Penghasilannya pun tak menentu. Uang hasil ojek yang bisa ia bawa pulang setiap hari maksimal 50.000, jika hari itu menjadi keberuntungannya, jika lagi sepi penumpang hampir tidak bawa apa-apa, karena uang sudah habis dengan sewa motor, bahkan harus ngutang uang sewa pada juragannya (pemilik sepeda motor).
Saat itu, saya berinisiatif untuk mengajak mereka untuk tinggal bersama di rumah kontrakan yang saya kontrak. Dalam hati kecil ini berkata, “biarlah saya menanggung hidup mereka, lah wong sama-sama hidup diperantauan”. Dengan gaji pas-pasan saya harus membayar kontrakan bulanan dan menanggung makan harian satu keluarga itu, belum lagi biaya transportasi yang cukup mahal karena harus menempuh perjalanan keluar masuk hutan dan menyeberangi lautan ternate-Halmahera. Hampir-hampir gaji setiap bulan tak dapat saya tabung untuk dibawa pulang diakhir masa kontrak pendampingan. Sedangkan sebelumnya saya sudah menghitung-hitung gaji untuk saya bawa pulang diakhir masa tugas selama 1 tahun. Perkiraan hitungan gaji yang akan saya bawa pulang sebesar 10 juta. Namun pikiran itu lenyap ketika waku terus berjalan menanggung keluarga tersebut, saya tidak lagi berfikir untuk diri sendiri, tetapi bagaimana keluarga dengan satu anak itu bisa hidup layak. Mereka sangat perhatian kepada saya, setiap saya pulang dari pendampingan mereka sudah menyiapkan makanan untuk saya diatas meja makan.
Pada suatu malam, saya pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat qiyamul lail. Saat itu saya berfikir, “hanya ini yang bisa saya lakukan untuk bisa mendapatkan pertolongan Allah dan mengetuk pintu langitNya serta membaca al qur’an untuk berkomunikasi dengan Allah”. Dalam hati kecil saya semakin bertambah keyakinan itu. Pada saat membaca al qur’an, saya sempat terhenti pada ayat al baqarah ayat 261 Perumpamaan orang yang meninfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”. Ayat ini membuat saya merenung selama seminggu “apa ia, saya akan mendapatkan sebanyak 7 kali lipat bahkan lebih?”. Saya baru sadar bahwa Allah akan melipatgandakan pahala apapun yang kita lakukan dengan ikhlas, khususnya harta kita, entah berupa kesahatan atau yang lainnya. Keyakinan untuk membantu keluarga yang menjadi tanggungan saya itu semakin kuat. Walaupun pada akhirnya hitungan saya meleset untuk bisa membawa uang hasil pendampingan setahun sebanyak 10 juta.
Dipertengahan tahun masa tugas pendampingan, saya berinisiatif untuk membuka bisnis besi tua, namun yang mengelola adalah keluarga tersebut. Akhirnya bisnis besi tua pun berjalan. Satu bulan pertama mendapatkan laba bersih sebesar 1,5 juta. Sampai kemudian usaha besi tua itu saya limpahkan sepenuhnya kepada keluarga tersebut. Namun dari keuntungan yang didapatkan hanya cukup untuk membayar hutang-hutang yang menumpuk di masa lalunya. Saya tidak mengambil keuntungan sedikit pun dari penjualan besi tua. Dalam fikiran saya “biarlah mereka menikmati penghasilan itu, biarlah mereka bahagia, supaya mereka seperti orang lain yang layak menikmati kebahagian dari hasil usahanya”.
Waktu terus berjalan hingga dipenghujung tahun masa kontrak sebagai pendamping masyarakat. Saya merasa sedih harus meninggalkan keluarga tersebut yang sudah seperti keluarga sendiri. Sedangkan uang kerja setahun yang saya tabung hanya mencapai 2 juta. Namun hati ini tetap memiliki keyakinan pada Allah, bahwa Allah tak pernah tidur dan Allah takkan ingkar janji. Pikiran saya menerawang jauh kedepan dan berfikir bahwa orang yang tidak beriman saja, Allah berikan harta dan kesehatan, apalagi orang yang beriman pada Allah, pasti Allah akan jaga dan akan diberikan segalanya nanti pada waktunya. Fikiran inilah yang kemudian menguatkan saya untuk terus berharap pada Allah, walaupun selalu muncul pertanyaan “kapan?, mana? Saya lagi butuh”. Dan kemudian muncul jawaban dari hati ini, “pertolongan Allah datang tepat pada waktunya”.
Waktu terus berlalu, sehingga satu minggu sebelum kepulangan, saya dikagetkan dengan pemberian seorang teman asli ternate, dia memberikan sesuatu pada saya berupa amplop besar berwarna coklat, setelah saya buka ternyata Subhanallah........ didalamnya berisi uang. Lebih kaget lagi setelah saya hitung berjumlah 8 juta. Saya terharu dan dalam dada ini semakin bertambah keyakinan itu. Bahwa Allah akan berikan kenikmatan dan menyelesaikan masalah hamba tepat pada waktunya, karena Allah tak ingkar janji. Sejak itu keyakinan terhadap rizqi Allah tak pernah ragu dan risau, yang ada dalam fikiran saya bahwa “Allah akan berikan rizqi pada hambaNya tepat pada waktunya, laa tahzan innallaha ma’ana (jangan sedih Allah bersama kita)”. Bahkan sampai pada prinsip “ketika tidak punya segeralah banyak memberi, ketika punya perbanyaklah lagi”. Keyakinan saya dikuatkan juga dengan kata-kata sang murobbi yang terus terpatri dalam hati yaitu “jadilah wong loman (orang dermawan)”. Maka benarlah janji Allah dalam surat al baqorah ayat 261. Wallahu a’lam.