M. NATSIR DAN DAKWAH MELALUI PEMERINTAHAN
Akhmad
Hasan Saleh
Perjuangan
pergerakan dakwah di Indonesia sangat masif dan membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan Islam di dunia, sehingga memberikan gambaran pada bangsa-bangsa
lain tentang Islam di Indonesia. Banyak tokoh-tokoh yang telah berjuang untuk
menegakkan kalimatul haq sebagai dasar berfikir, berpolitik, berekonomi bahkan
dalam pengembangan pendidikan pada masa awal kemerdekaan, salah satunya adalah
Mohammad Natsir dikenal sebagai sosok yang gigih dalam memperjuangkan sekaligus
mempertahankan kebenaran Islam seperti tokoh-tokoh nasional pada masa itu,
yaitu H. Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Hamka dan lain-lain. M.
Natsir berdiri dan berjuang bersama mereka.
M. Natsir adalah
salah satu putra terbaik bangsa Indonesia yang dikenal cerdas dalam pemikirannya.
M. Natsir juga dikenal sebagai birokrat, politisi dan juga sebagai dai ternama.
Sebagai birokrat, M. Natsir pernah menduduki dua jabatan penting di
pemerintahan, yaitu sebagai menteri penerangan dalam kabinet Sjahrir dan
perdana menteri pertama pada masa pemerintahan soekarno. M. Natsir sebagai
politisi telah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar pada masanya,
yaitu Masyumi dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Sebagai dai
ternama, M. Natsir pernah menduduki jabatan sebagai Wakil Presiden Muktamar
Alam Islami sekaligus juga sebagai tokoh puncak Rabithah Alam islami, serta
menjadi Ketua Dewan Dakwa Islamiyah Indonesia sejak tahun 1967 sampai beliau
wafat tahun 1993. Seluruh jabatan yang pernah didudukinya adalah jabatan-jabatan
penting dalam bidangnya.
M. Natsir yang
dilahirkan di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera barat,
pada hari jumat 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan 17 Juli 1908 dari
rahim seorang ibu bernama Khadijah. Ayahnya bernama Muhammad Idris Sutan
Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor
Kontroler di Maninjau. M. Natsir mendapatkan gelar Datuk Sinaro Panjang setelah
menikah dengan Nurhanar pada tanggal 20 Oktober 1934 sebagai adat Minangkabau
bahwa gelar tersebut akan diberikan kepada yang berhak menerimanya setelah
melangsungkan pernikahan. Dari pernikahan ini, M. Natsir dikaruniai enam orang
anak, yaitu: Siti Muchlisah, Abu Hanifah, Asma Farida, Dra. Hasnah Faizah, Dra.
Asyatul Asryah, dan Ir. Ahmad Fauzi. Namun disayangkan dari sekian
putra-putrinya tidak ada satu pun yang mengikuti jejak perjuangan sang ayah.
M. Natsir juga
mempunyai tiga orang saudara kandung yaitu Yukinan, Rubiah dan Yohanusun. Pada
masa remajanya ia sudah terbiasa dengan pendidikan keagamaan dan
intelektualisme. M. Natsir muda sangat tekun dalam belajar, ia melewati masa
mudanya dengan penuh perjuangan berat. Disisi lain ia harus menuntut ilmu dan
disisi lain ia harus mampu bertahan dalam kehidupannya yang penuh keterbatasan.
Ia harus memasak nasi, mencuci pakaian, dan mencari kayu bakar dipantai.
Kehidupan yang berat tersebut dilaluinya dengan bahagia. M. Natsir mengatakan
bahwa keterbatasan yang dialaminya mengantarkan kesadaran akan dirinya,
kesadaran bahwa rasa bahagia tidaklah terletak pada kemewahan dan keadaan serba
cukup. Rasa bahagia lebih banyak timbul dari kepuasan hati yang tidak tertekan
dan bebas, berani mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, tidak mengalah dengan
keadaan, tidak berputus asa, dan percaya pada kekuatan yang ada dalam dirinya
sendiri.
M. Natsir mengenyam
pendidikan pertama di sekolah partikelir HIS Adabiah di Padang, setelah ia
gagal masuk Sekolah Rendah Belanda (HIS) karena ayahnya adalah pegawai rendahan.
Selanjutnya ia dipindahkan oleh ayahnya ke Solok untuk mendapatkan pendidikan.
Di Solok inilah pertama kali M. Natsir belajar bahasa Arab dan mempelajari
hukum fiqh yang diajarkan oleh Tuanku Mudo Amin pada sore hari di Madrasah
Diniyah dan mengaji al Qur’an pada malam harinya. Pada tahun 1920, ia diajak
kakaknya, Rubiah untuk pindah ke Padang. Tahun 1923, ia pun menamatkan
pendidikan di HIS. M. Natsir juga aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat
ekstrakurikuler seperti MULO. Ia pun pernah menjadi anggota Pandu Nastionale
Islamietische Pavinderij sejenis pramuka. Ia melanjutkan pendidikan formalnya
ke Algememe Midlebare School (AMS) Afdelling A di Bandung. Di kota ini M.Natsir
bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Ahmad Hassan, pendiri Persis,
yang kemudian hari mempengaruhi pemikiran M. Natsir sehingga menjadi militan.
Sejak itu M.Natsir mulai tertarik pada pergerakan Islam dan belajar politik di
perkumpulan JIB, sebuah organisasi pemuda Islam yang anggotanya adalah
pelajar-pelajar yang bersekolah di sekolah Belanda. Organisasi ini banyak dipengaruhi
oleh pemikiran intelektual Haji Agus Salim. Di usia yang masih belia, ia bisa
berkumpul dengan tokoh-tokoh nasional, yaitu Hatta, Prawoto Mangunsasmita,
Yusuf Wibisono, Tjokroaminoto, dan Moh. Roem. Pada tahun 1928, dengan
kecerdasannya yang ditunjukkan dalam diskusi-diskusi mengantarkan pada posisi
ketua JIB di Bandung hingga tahun 1932, sehingga kemampuan politiknya makin
terasah. Kegiatan yang digelutinya telah membawa perubahan besar pada sosok M.
Natsir, hingga meraih gelar Meester in de Rechten (MR). M. Natsir dengan modal
inteletualisme dan panggilan jiwanya mengajarkan agama yang pada masa itu masih
sangat minim. Semangat kesadaran melihat keadaan sekolah umum yang tidak
mengajarkan agama, kemudian M. Natsir mendirikan Lembaga Pendidikan Islam
(Pendis), suatu bentuk pendidikan modern dengan kurikulum terintegrasi antara
pendidikan umum dengan pendidikan keagamaan ala pesantren. Pendis dibawah
kepemimpinan beliau selama sepuluh tahun sejak tahun 1932 mengalami
perkembangan dan kemajuan dibeberapa daerah di Jawa Barat dan Jakarta.
M.Natsir mulai
sungguh-sungguh bergelut di dunia politik diawali dengan mendaftarkan diri
menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung pada tahun 1938.
Karirnya semakin meningkat sejak bekerja di pemerintahan sebagai Kepala Biro
Pendidikan Kodya Bandung pada tahun 1942 sampai 1945 masa kemerdekaan sekaligus
merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dalam
perjalanannya, M. Natsir di untungkan dengan adanya Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI) yang dibentuk pada masa pemerintahan jepang, karena pada saat itu jepang
merasa perlu untuk merangkul Islam, sehingga terbentuklah MIAI sebagai badan
federasi organisasi sosial dan organisasi politik Islam yang kemudian menjadi
Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tanggal 7 November 1945.
Karir politik M.
Natsir semakin melesat pada awal kemerdekaan Republik Indonesia sebagai salah
seorang politisi dan pemimpin negara. Herbert Feith mengatakan bahwa “Natsir
adalah salah seorang menteri dan perdana menteri yang terkenal sebagai
administrator berbakat yang pernah berkuasa sesudah Indonesia merdeka.”
Kecerdasan M. Natsir menjadikan kawan dan lawan tetap menghormatinya dan selalu
diberi kesempatan untuk menduduki jabatan tertentu. M. Natsir pernah dipercaya
untuk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ketika Sutan
Sajrir memerlukan dukungan Islam, M.Natsir ditawari menjadi menteri penerangan.
Bung Karno pernah menjadi lawan polemiknya pada tahun 1930, sama sekali tidak
keberatan atas gagasan Sutan Sajrir. Wakil presiden Moh. Hatta menjadi
kesaksian bahwa Bung Karno tidak mau menandatangani sesuatu keterangan
pemerintah, kecuali M.Natsir yang menyusunnya. Pernah suatu ketika M. Natsir
tidak lagi mendapatkan kedudukan dipemerintahan Ode Baru, karena ketegasan dan
pemikirannya tentang perjuangan penegakan syariat islam sebagai dasar negara.
Namun, Moh. Natsir tidak berhenti dalam perjuangannya, ia kemudian mendirikan
Yayasan bersama para ulama’ di Jakarta yang dinamakan dengan Yayasn Dewan
Dakwah Indonesia (DDII). Sikap kritis dan korektif M. Natsir pada Pemerintahan
Orde Baru menjadikan hubungan kurang harmonis. Kritikan M.Natsir menunjuk
langsung pada persoalan-persoalan mendasar tetap menjadi aktivitas rutinnya,
sehingga ia pun dicekal untuk melakukan perjalanan ke luar negeri sampai akhir
hayatnya.
Dalam perjuangan
mempersatukan bangsa M.Natsir memberikan jasa besar soal terbentuknya NKRI.
Tepatnya pada 3 April 1950, ia sebagai anggota parlemen mengajukan mosi dalam
sidang RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi yang diajukannya kemudian dikenal
dengan “Mosi Integral Natsir”, yang memungkinkan bersatunta kembali 17 Negara
Bagian ke dalam NKRI. M. Natsir berungkali mendapatkan kepercayaan dan
kesempatan menduduki beberapa jabatan disejumlah kabinet.
M. Natsir selain
berjuang dengan politik, ia pun berjuang melalui karya ilmiah dengan berbagai
karya yang ditulisnya, hingga menghasilkan 35 judul buku dan ratusan artikel
lepas dalam berbagai kesempatan. Namun yang sangat kita ingat adalah kumpulan
artikel-artikel beliau yang terkumpul dalam buku Kapita Selekta I dan II. M.
Natsir adalah sosok yang haus ilmu dan tidak berhenti belajar dengan membaca
buku, hal ini yang mendorongnya untuk mejadi anggota perpustakaan dengan gaji
tiga rupiah perbulan. Sehingga ia pun sering mendapatkan kiriman buku-buku baru
dari perpustakaan.
M. Natsir adalah
sosok yang memegang teguh perjuangan Islam bersama ulama’. Dalam buku 50
Pendakwah Pengubah Sejarah karya M. Anwar Djaelani menjelaskan bahwa pidato-pidato
M. Natsir pada sidang pleno konstituante sangat brilian dengan menyampaikan
hujjah-hujjah mengenai Islam sebagai Dasar Negara. M. Natsir mengatakan bahwa
Islam sebagai agama sepantasnya menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat dan
bernegera. Maka perlu dan tidak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam
pergaulan hidup, berupa kekuasaan dalam negara. Artinya M. Natsir mengingatkan
bahwa kekuasaan tertinggi ada pada Allah dan RasulNya, negara harus menjadikan
al Qur’an dan Sunnah sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan. Pemikiran
M.Natsir tentang tujuan sebuah negara adalah kesempurnaan berlakunya
Undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan peri kemanusiaan sendiri
sebagai individu, ataupun sebegai kelompok masyarakat baik yang berhubungan
dengan kehidupan dunia yang fana ataupun yang berhubungan dengan kehidupan kela
di alam baka. Sekalipun M. Natsir berjuang dalam penegakan syariat Islam, ia
pun tetap tunduk terhadap dasar negara yang telah ditetap bersama, yaitu
Pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh Adian Husaini
dalam bukunya Pancasila Bukan Untuk menindas Hak Konstitusional Umat Islam,
bahwa M. Natsir mengatakan bahwa “Setia kepada Proklamasi bukan berarti bahwa
harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan akidah
Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita”. M. Natsir sebagai sosok pejuang
selalu menyampaikan ide-idenya dengan metode dakwah yang moderat dan berhikmah.
Dengan pemikiran
itulah, M. Natsir mendukung tegas terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di
Asia dan di Afrika. Selain itu juga berusaha untuk menghimpun kerjasama antar
negera-negara muslim yang baru merdeka, demi tegaknya peradaban Islam. Maka
tidak berlebihan jika M. Natsir disebut sebagai salah seorang tokoh besar dunia
Islam abad ini. Deliar Noer menyebutnya sebagai Inteletual-ulama’ atau
ulama’-intelektual. Sebagai Intelektual ia terus belajar tanpa henti dan
sebagai ulama’ ia terus mengaji dan mengkaji tafsir al Qur’an. Ada kesaksian
bahwa hingga menjelang akhir hayatnya, M. Natsir masih terus mengkaji tafsir Fii Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb,
Yafsir ibn Katsir, dan tafsir al furqon karya A. Hassan sebagai guru pertama
dalam perjuangannya. M. Natsir berjuang dalam dakwah tak pernah surut diusianya
yang senja, sehingga Allah memanggilnya pada tanggal 14 sya’ban 1413 H
bertepatan tanggal 6 Februari 1993, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta,
beliau tutup usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama diberbagai
media cetak dan elektronik. Dalam artikel Zaini Ujang yang berjudul “Pak M
Natsir Ibarat Mutiara Alam Melayu” yang diterbitkan dalam Utusan Malaysia
diungkapkan bahwa Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh Nakadjima
menyampaikan ucapan belasungkawa atas kepergian M. Natsir dengan ungkapan,
“Berita wafatnya M.Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di
Hirosima”. Artinya begitu penting sosok M.natsir bagi bangsa ini dan
bangsa-bangsa di dunia.
Dalam perjuangan
menegakkan kalimatul haq itulah M.Natsir mendapatkan apresiasi luar biasa dari
Prof. Dr. Hamka, sehingga Hamka menulis sebuah puisi berjudul “Kepada Saudaraku
M. Natsir”.
Meskipun bersilang keris dileher/ Berkilat Pedang
dihadapan matamu/ Namun yang benar kau sebut juga benar/ Cita Muhammad biarlah
lahir/ Bongkar apinya sampai bertemu/ Hidangkan diatas persada nusa/ jibril
berdiri sebelah kananmu/ Mikail berdiri sebelah kiri/ Lindungan Ilahi memberimu
tenaga/ Suka dan duka kita hadapi/ Suaramu wahai Natsir, suara kaummu/ Kemana
lahi, Natsir kemana kita lagi/ Ini berjuta kawan sepaham/ Hidup dan mati
bersama-sama/ Untuk menuntut Ridho Ilahi/ Dan aku pun masukkan/ Dalam
daftarmu....
Pada bulan November
2008, M.Natsir mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia
kepada M.Natsir (almarhum). Gelar itu diberikan sebagai penghargaan tertinggi
pemerintah terhadap jasa-jasanya yang luar biasa kepada negeri ini. M.Natsir
adalah sosok pemimpin yang harus ditiru oleh generasi saat ini, karena ia tak
pernah berhenti memikirkan nasib umat dan bangsa serta memperjuangkan hingga
akhir hayatnya.