Rabu, 17 Agustus 2016




PROBLEMATIKA UMAT
Oleh : Akh. Hasan Saleh
Hasil gambar untuk pemikiran islam

A.   Orientasi Pemikiran
Meneropong perjalanan sejarah peradaban dunia terus mengalami perputaran, adakalanya mengalami kejayaan dan adakalanya mengalami kemunduran. Mengenang sejarah peradaban dunia bangsa Arab dan Eropa sangatlah menyakitkan dan menyedihkan. Bagaimana  kehormatan wanita di injak-injak, dominasi kekuasaan atas dunia (hub ad dunya) menjadi tujuan utama, perebutan kekuasaan dan kedudukan sebagai cita-cita, dan berbagai macam kekejian dan amoral yang lain. Arab sebelum Islam datang menjadi wilayah yang penuh dengan kerakusan akan kekuasaan dan kehormatan. Sedangkan Eropa sebelum Islam memberikan sumbangsih keilmuwannya menjadi wilayah yang penuh dengan kemaksiatan, kedzaliman, bahkan mengalami kegelapan dalam keilmuan.
Perjalanan sejarah dari waktu ke waktu memberikan perubahan pada bangsa Arab dan Eropa. Islam datang sebagai pencerah bagi bangsa-bangsa di dunia. Arab sebagai bangsa yang jahiliyah menjadi bangsa yang beradab. Eropa sebagai bangsa yang mengalami kegelapan menjadi bangsa yang berengetahuan. Namun perjalanan waktu tidak cukup berhenti pada masa kejayaan.
Akibat jatuhnya kekholifahan Turki Utsmani setelah Perang Dunia Pertama (1914-1918), banyak bangsa-bangsa di dunia mengalami kemerosotan dari segi moral, walaupun dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang pada akhirnya tidak bisa terbendung. Kebanyakan bangsa Arab berada dalam penjajahan Inggris dan Perancis, bahkan Istambul Ibukota Turki mengalami perubahan dari segi pemikiran, menyebarnya pemikiran liberalisme yang menguasai pemerintahan yang dipimpin oleh Kemal At Tarturk dan Eropa dengan pengetahuannya semakin liberal, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua (1939-1945) kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialisme melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagi kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan teknik divide et impire sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negara-negara kecil.
Peradaban Islam yang kokoh selama 700 tahun akhirnya mengalami kemunduran hingga saat ini, yang disebabkan internalisasi permasalahan dalam tubuh umat Islam. Sebagaimana pendapat Ibn Khaldun faktor bahwa penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas, yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tetapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
“Tindakan moral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, menipu, menggelapkan, mencuri melanggar sumpah dan memakan riba.”

Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya menfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha, hal ini sama dengan meniadakan kekuatannya sendiri untuk semangat, optimis dan keyakinannya secara penuh kepada Penciptanya, maka akan mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan:
“Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi hewan.”[1]

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Rusaknya moral penguasa dalam sebuah bangsa akan menurunkan kegiatan keilmuan dan kepedulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Secara ringkas dalam pandangan Ibn Khaldun, jatuhnya suatu peradaban ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa; 2) penindasan penguasa dan ketidakadilan; 3) Despotisme atau kezaliman; 4) orientasi kemewahan masyarakat; 5) egoisme; 6) opportunisme; 7) penarikan pajak secara berlebihan; 8)keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat; 9) rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama; 10) penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.
Dari sepuluh point tersebut mengarah pada moral masyarakat, khususnya penguasa. Asumsinya bahwa karena kondisi moral diatas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khsususnya ilmu pengetahuan.

B.   Tantangan Pemikiran dan Dampaknya
Islam didatangkan oleh Allah untuk manusia sebagai agama rahmat, pembawa kedamaian, keselamatan tidak hanya untuk sebagaian umat, wilayah, atau kondisi, namun untuk seluruh alam di segala zaman. Islam telah menunjukkan kejayaannya selama 700 tahun dengan menghasilkan banyak ilmuwan dan karyanya. Karena Islam memiliki sumber rujukan al Qur’an dan Hadits yang dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force) yang tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis,
“Bangsa-bangsa datang dan pergi. Kerajaan-kearajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers), pembangun peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang mempersatukan mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau tidak cenderung untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan disisi lain berupaya untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai kekayaan spiritual mereka yang sangat berharga.”[2]
Jadi secara optimis, sebenarnya umat Islam akan bertahan dalam kondisi apapun ketika spiritualitas menjadi pegangan dalam perubahan dunia yang semakin tidak terkendali. Spiritualitas sebagai motor penggerak dari pencerah pemikiran dalam gerakan seorang muslim, sehingga ketika seorang muslim mulai kehilangan penggerak utamanya maka akan mengalami stagnan dan kehancuran dalam segala bidang.
Umat Islam mengalami kemunduran karena intern umat yang mulai salah konsep dalam memandang perubahan dunia. Setiap individu berfikir terpisah terhadap kompleksitas permasalahan umat. Cara pandang di dunia atau yang dikenal dengan worldview hanya ada dua macam, yaitu Islam dan Barat.
Cara pandang Islam sudah jelas memiliki sandaran pada Al Qur’an dan Hadits, yang didalamnya mencantumkan tentang cara menghadapi perubahan dunia, yang diperjelas dengan ijma’ sahabat dan tafsir ulama’. Permasalahan ushul sudah finish diperbincangkan oleh para sahabat dan ulama’, namun hal yang menyangkut furu’ terus berkembang sesuai perubahan zaman yang tetap bersandar kepada ulama’-ulama’ klasik.
Berbeda dengan pemikiran Barat yang terus melakukan dekontruksi pemikiran sesuai dengan kondisi zaman dan pengetahuan yang berkembang, sehingga tidak ada finalisasi hal-hal yang fundamental termasuk masalah keagamaan didalamnya. Dominasi Barat terhadap dunia semakin besar, dan mulai menggrogoti wordview seorang muslim. Banyak dari kalangan Barat mencoba untuk memberikan sumbangsih terhadap Islam dengan wordview mereka, misalkan umat Islam mulai diajak untuk berfikir kritis terhadap agama, bahkan melakukan dekontruksi terhadap kitab suci, dan hukum-hukum yang sudah menjadi ijma’ sahabat dan ulama’.
Pemikiran barat dengan konsep sekularisme dan liberalismenya mampu menghipnotis umat, yang seakan-akan menganggapnya baik untuk diterapkan terhadap internal umat islam dan mampu memberikan kemajuan dalam bidang teknologi, budaya, politik bahkan agama. Kesalahan worldview inilah yang kemudian menjadi dampak terhadap kemunduran umat Islam dunia.
Dominasi wordview barat terhadap umat Islam berdampak terhadap keilmuwan. Kalau diperhatikan dengan adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan para ilmuwan menawarkan pemecahan masalah dengan keilmuwan masing-masing tanpa melakukan integrasi keilmuwan, sehingga yang terjadi penyelesaian masalah umat terpisah-pisah tidak terorganisir secara integral. Menurut padangan Sy.Muhammad Naquib Al Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin, melihat bahwa kebanyakan pemimpin umat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti permasalahan yang menggiring umat kedalam kancah ketidak beruntungan ini, Ia menyatakan:
“Kini sudah jelas bagi kita kaum muslimin bahwa akar maslaah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah disekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah....orang Islam telah terperdaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup sendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup dan kebudayaan lain.”[3]
Pernyataan yang disampaikan al Attas menunjukkan kebenaran, bahwa kalau di zaman dulu problem yang dihadapi umat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitas poitik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masayrakat dan pemimpin, maka dizaman sekarang ini tantangan ektern dan internnya lebh kompleks dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan erat sekali. Menurut al Attas, “Ilmu itu mempengaruhi sikap hidup manusia”.
Sehingga tantangan umat Islam saat ini yang memberikan dampak besar terhadap kehidupannya adalah ilmu pengetahuan dengan cara pandang Barat yang semakin deras tidak dapat dibendung masuk dalam alam fikiran umat Islam dengan bentuk konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nilai Barat. Sehingga secara tidak sadar bahwa secara organisasi Islam, agama keluarga adalah Islam, namun secara pemikiran cenderung pada pemikiran Barat, sehingga ukhuwah dan ghiroh keislaman serta dakwah tidak menjadi prioritas gerakan–cenderung  untuk menyalahkan dan mendeskriditkan sesama muslim yang memiliki konsistensi, loyalitas, fundamentalisme atau fanatisme terhadap Islam.



[1] Ibn Khaldun, Muqaddimah, terjm. F.Rosental hal.289 dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, 2010, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya,CIOS-ISID, Gontor, hal.38
[2] Grunbaum.G.E.von, Pluralism in the Islamic World, dalam Islamic Studies, jilid 5 hal.2:37-59, lihat juga di Hamid Fahmi Zarkasyi, 2010, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya,CIOS-ISID, Gontor; hal.42
[3] Sy. Muhammad Naquib Al Attas, 2001, Risalah Untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur. Hal. 91