Rabu, 17 Agustus 2016




PROBLEMATIKA UMAT
Oleh : Akh. Hasan Saleh
Hasil gambar untuk pemikiran islam

A.   Orientasi Pemikiran
Meneropong perjalanan sejarah peradaban dunia terus mengalami perputaran, adakalanya mengalami kejayaan dan adakalanya mengalami kemunduran. Mengenang sejarah peradaban dunia bangsa Arab dan Eropa sangatlah menyakitkan dan menyedihkan. Bagaimana  kehormatan wanita di injak-injak, dominasi kekuasaan atas dunia (hub ad dunya) menjadi tujuan utama, perebutan kekuasaan dan kedudukan sebagai cita-cita, dan berbagai macam kekejian dan amoral yang lain. Arab sebelum Islam datang menjadi wilayah yang penuh dengan kerakusan akan kekuasaan dan kehormatan. Sedangkan Eropa sebelum Islam memberikan sumbangsih keilmuwannya menjadi wilayah yang penuh dengan kemaksiatan, kedzaliman, bahkan mengalami kegelapan dalam keilmuan.
Perjalanan sejarah dari waktu ke waktu memberikan perubahan pada bangsa Arab dan Eropa. Islam datang sebagai pencerah bagi bangsa-bangsa di dunia. Arab sebagai bangsa yang jahiliyah menjadi bangsa yang beradab. Eropa sebagai bangsa yang mengalami kegelapan menjadi bangsa yang berengetahuan. Namun perjalanan waktu tidak cukup berhenti pada masa kejayaan.
Akibat jatuhnya kekholifahan Turki Utsmani setelah Perang Dunia Pertama (1914-1918), banyak bangsa-bangsa di dunia mengalami kemerosotan dari segi moral, walaupun dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang pada akhirnya tidak bisa terbendung. Kebanyakan bangsa Arab berada dalam penjajahan Inggris dan Perancis, bahkan Istambul Ibukota Turki mengalami perubahan dari segi pemikiran, menyebarnya pemikiran liberalisme yang menguasai pemerintahan yang dipimpin oleh Kemal At Tarturk dan Eropa dengan pengetahuannya semakin liberal, demikian pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia Kedua (1939-1945) kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialisme melihat bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagi kultur, etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan teknik divide et impire sehingga konflik intern menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi menjadi negara-negara kecil.
Peradaban Islam yang kokoh selama 700 tahun akhirnya mengalami kemunduran hingga saat ini, yang disebabkan internalisasi permasalahan dalam tubuh umat Islam. Sebagaimana pendapat Ibn Khaldun faktor bahwa penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas, yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif tetapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral. Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
“Tindakan moral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, menipu, menggelapkan, mencuri melanggar sumpah dan memakan riba.”

Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya menfokuskan pada pencarian kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha, hal ini sama dengan meniadakan kekuatannya sendiri untuk semangat, optimis dan keyakinannya secara penuh kepada Penciptanya, maka akan mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan:
“Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi hewan.”[1]

Intinya, dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral. Rusaknya moral penguasa dalam sebuah bangsa akan menurunkan kegiatan keilmuan dan kepedulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya kegiatan keilmuan. Secara ringkas dalam pandangan Ibn Khaldun, jatuhnya suatu peradaban ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa; 2) penindasan penguasa dan ketidakadilan; 3) Despotisme atau kezaliman; 4) orientasi kemewahan masyarakat; 5) egoisme; 6) opportunisme; 7) penarikan pajak secara berlebihan; 8)keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat; 9) rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama; 10) penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.
Dari sepuluh point tersebut mengarah pada moral masyarakat, khususnya penguasa. Asumsinya bahwa karena kondisi moral diatas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khsususnya ilmu pengetahuan.

B.   Tantangan Pemikiran dan Dampaknya
Islam didatangkan oleh Allah untuk manusia sebagai agama rahmat, pembawa kedamaian, keselamatan tidak hanya untuk sebagaian umat, wilayah, atau kondisi, namun untuk seluruh alam di segala zaman. Islam telah menunjukkan kejayaannya selama 700 tahun dengan menghasilkan banyak ilmuwan dan karyanya. Karena Islam memiliki sumber rujukan al Qur’an dan Hadits yang dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force) yang tidak dimiliki peradaban lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis,
“Bangsa-bangsa datang dan pergi. Kerajaan-kearajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers), pembangun peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang mempersatukan mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau tidak cenderung untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan disisi lain berupaya untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai kekayaan spiritual mereka yang sangat berharga.”[2]
Jadi secara optimis, sebenarnya umat Islam akan bertahan dalam kondisi apapun ketika spiritualitas menjadi pegangan dalam perubahan dunia yang semakin tidak terkendali. Spiritualitas sebagai motor penggerak dari pencerah pemikiran dalam gerakan seorang muslim, sehingga ketika seorang muslim mulai kehilangan penggerak utamanya maka akan mengalami stagnan dan kehancuran dalam segala bidang.
Umat Islam mengalami kemunduran karena intern umat yang mulai salah konsep dalam memandang perubahan dunia. Setiap individu berfikir terpisah terhadap kompleksitas permasalahan umat. Cara pandang di dunia atau yang dikenal dengan worldview hanya ada dua macam, yaitu Islam dan Barat.
Cara pandang Islam sudah jelas memiliki sandaran pada Al Qur’an dan Hadits, yang didalamnya mencantumkan tentang cara menghadapi perubahan dunia, yang diperjelas dengan ijma’ sahabat dan tafsir ulama’. Permasalahan ushul sudah finish diperbincangkan oleh para sahabat dan ulama’, namun hal yang menyangkut furu’ terus berkembang sesuai perubahan zaman yang tetap bersandar kepada ulama’-ulama’ klasik.
Berbeda dengan pemikiran Barat yang terus melakukan dekontruksi pemikiran sesuai dengan kondisi zaman dan pengetahuan yang berkembang, sehingga tidak ada finalisasi hal-hal yang fundamental termasuk masalah keagamaan didalamnya. Dominasi Barat terhadap dunia semakin besar, dan mulai menggrogoti wordview seorang muslim. Banyak dari kalangan Barat mencoba untuk memberikan sumbangsih terhadap Islam dengan wordview mereka, misalkan umat Islam mulai diajak untuk berfikir kritis terhadap agama, bahkan melakukan dekontruksi terhadap kitab suci, dan hukum-hukum yang sudah menjadi ijma’ sahabat dan ulama’.
Pemikiran barat dengan konsep sekularisme dan liberalismenya mampu menghipnotis umat, yang seakan-akan menganggapnya baik untuk diterapkan terhadap internal umat islam dan mampu memberikan kemajuan dalam bidang teknologi, budaya, politik bahkan agama. Kesalahan worldview inilah yang kemudian menjadi dampak terhadap kemunduran umat Islam dunia.
Dominasi wordview barat terhadap umat Islam berdampak terhadap keilmuwan. Kalau diperhatikan dengan adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan para ilmuwan menawarkan pemecahan masalah dengan keilmuwan masing-masing tanpa melakukan integrasi keilmuwan, sehingga yang terjadi penyelesaian masalah umat terpisah-pisah tidak terorganisir secara integral. Menurut padangan Sy.Muhammad Naquib Al Attas dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin, melihat bahwa kebanyakan pemimpin umat Islam hanya memperhatikan kulit luar dari inti permasalahan yang menggiring umat kedalam kancah ketidak beruntungan ini, Ia menyatakan:
“Kini sudah jelas bagi kita kaum muslimin bahwa akar maslaah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak pada masalah disekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah....orang Islam telah terperdaya dan secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing. Islam pun mempunyai pandangan hidup sendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup dan kebudayaan lain.”[3]
Pernyataan yang disampaikan al Attas menunjukkan kebenaran, bahwa kalau di zaman dulu problem yang dihadapi umat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi militer, instabilitas poitik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas masayrakat dan pemimpin, maka dizaman sekarang ini tantangan ektern dan internnya lebh kompleks dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam adalah peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan erat sekali. Menurut al Attas, “Ilmu itu mempengaruhi sikap hidup manusia”.
Sehingga tantangan umat Islam saat ini yang memberikan dampak besar terhadap kehidupannya adalah ilmu pengetahuan dengan cara pandang Barat yang semakin deras tidak dapat dibendung masuk dalam alam fikiran umat Islam dengan bentuk konsep-konsep kunci yang sarat dengan nilai-nilai Barat. Sehingga secara tidak sadar bahwa secara organisasi Islam, agama keluarga adalah Islam, namun secara pemikiran cenderung pada pemikiran Barat, sehingga ukhuwah dan ghiroh keislaman serta dakwah tidak menjadi prioritas gerakan–cenderung  untuk menyalahkan dan mendeskriditkan sesama muslim yang memiliki konsistensi, loyalitas, fundamentalisme atau fanatisme terhadap Islam.



[1] Ibn Khaldun, Muqaddimah, terjm. F.Rosental hal.289 dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, 2010, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya,CIOS-ISID, Gontor, hal.38
[2] Grunbaum.G.E.von, Pluralism in the Islamic World, dalam Islamic Studies, jilid 5 hal.2:37-59, lihat juga di Hamid Fahmi Zarkasyi, 2010, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya,CIOS-ISID, Gontor; hal.42
[3] Sy. Muhammad Naquib Al Attas, 2001, Risalah Untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur. Hal. 91

Kamis, 30 Juni 2016

Membedah Logika “Ikut Ulama apa Ikut Nabi Saw?”

Membedah Logika “Ikut Ulama apa Ikut Nabi Saw?”


Oleh: A. Kholili Hasib
Sering kali beredar pertanyaan-pertanyaan seperti ini, ‘Anda ikut Madzhab atau ikut al-Qur’an dan al-Sunnah”’. “Lebih baik ikut al-Qur’an dan Sunnah daripada ikut madzhab”. “Madzhab saya adalah madzhab Nabi”. Atau pertanyaan yang mempertentang antara Nabi dan Ulama, ‘Pilih ikut Ulama atau ikut Rasulullah Saw”?
Jika ikut ‘A’ berarti tidak ikut ‘B’. Jika pilih ini, pasti bukan itu. Inilah dikotomis. Yaitu, pembagian atas dua hal yang saling bertentangan. Adapun pertanyan-pertanyaan seperti di atas membatasi dan memutus keterkaiatan antara dua hal yang sebenarnya memiliki ketersambungan. Memutus sesuatu yang telah bersambung.
Masalahnya adalah mempertentangkan atau menghadap-hadapkan antara Madzhab dan al-Qur’an al-Sunnah, antara Ulama Mujtahid dengan Nabi Saw. Memang, sangat mungkin terjadi pertentangan antara dua hal itu. Namun, kita harus ingat, ini mungkin. Bukan kepastian. Ketika terjadi pertentangan, ada metode untuk memecahkannya. Metodologi dalam hukum Islam jangan diabaikan.
Ada pula pendapat berbunyi ‘lebih baik ikut Nabi saw daripada ikut ulama’ mujtahid. Sepintas memang benar. Tetapi jika dalam konteks ittiba’ ulama madzhab, maka dipastikan statemen itu ada ‘kecacatan’ metodologis.
Madzhab itu bersumberkan dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Ulama mujtahid, sudah tentu tidak meninggalkan sunnah Nabi. Jika membuang sunnah, sudah pasti tidak akan disebut ulama. Framework inilah yang pertama-tama dipahamkan. Apabila landasan itu tidak kita pahami, seterusnya terjadi kesalah fahaman.
Karena itulah kita harus berhati-hati. Kearifan dan hikmah dalam menyikapinya. Supaya kita tidak menjadi ‘penyulut’ perpecahan. Apalagi menyangkut kehormatan ulama salaf shalih.
Wajib Ikut Nabi
Mengikuti Nabi Saw, sudah pasti wajib. Sedangkan mengikuti manusia biasa tidak wajib. Dalilnya QS. An-Nisa’: 59: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri  diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Mengikuti Allah dan Rasul-Nya sifatnya mutlak. Para ulama tafsir menjelaskan, hal itu ditandai dengan pengulangan kata kerja ‘ta’atilah’. Sedang taat kepada ulil amri (ulama dan pemerintah) tidak mutlak. Tidak ada pengulangan kata kerja dalam ayat tersebut. Maksudnya, jika ulil amri itu sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya, maka taatilah. Jika bertentangan, maka abaikanlah.
Sudah jelas, mengikuti ulama didasarkan atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada ketersambungan antara taat ulama dan taat Allah – Rasul-Nya. Ketaatan pada ulama tidak berdiri sendiri.
Dalam hadisnya Rasulullah Saw menerangkan, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, siapapun orangnya atau gelarnya, baik ulama atau ustadz dan kiai bisa ditolak pendapatnya. Tetapi ternyata menolaknya tidak mutlak juga. Jika menolak mutlak bisa fatal.
Maksud dari hadis Nabi Saw di atas adalah, jika ada manusia, baik ulama atau bukan mengajak kepada maksiat maka wajib tidak taat. Taat pada orang tua itu wajib, tapi dalam urusan yang bukan maksiat. Maka, jika ulama mengajak ibadah, taatilah. Karena sesungguhnya, ajakan ulama berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Jika ada orang bergelar kiai mengajak kepada faham pluralisme agama, misalnya, maka hadis di atas berlaku. Tidak wajib ditaati. Sebab, mengajak kepada menentang Allah Swt. Dan orang yang mengajak tersebut sebetulnya tidak pantas dilabeli ulama.
Sementara itu, perintah mengikut ulama ternyata ada dalilnya dalam al-Qur’an. Yaitu QS. An-Nisa: 59 di atas. Ayat ini sebetulnya perintah wajib ikut ulama jika kita tidak memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Karena itu, ulama adalah warisan Nabi Saw.
Setelah Rasulullah dan Sahabat telah tiada, ilmu ada pada genggaman ulama. ketika Hajjatul Wada’ Nabi Saw bersabda,“Ambillah ilmu sebelum sebelum ia dicabut atau diangkat.” Maka ada seorang Badui yang bertanya, “Bagaimana ia diangkat?”. Maka beliau menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan perginya (meninggalnya) orang-orang yang mengembannya.” (lihat Ibnu Hajar, Fath al-Bari /1 hal. 237-238).
Karena itu, jika yang dimaksud adalah ulama salaf shalih, ulama madzhab, maka mempertentangkannya dengan nabi tidak tepat. Jika kita mempertentangkan dengan logika dikotomis, berarti dalam pikiran kita ada kesombongan dan suudzan pada ulama. Seakan kita lebih tahu dari ulama itu.
Pengikut madzhab, semuanya mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Tapi mengikutinya sesuai tuntunan. Yang memahami tuntutan itu adalah ulama, bukan seperti kita yang masih kikuk membaca teks arab gundul.
Kalimat “Mengapa kita tidak langsung kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah saja?” seakan-akan menghakimi bahwa ulama madzhab itu tidak kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Penggunaan kalimat “Mengapa kita tidak kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah saja?” tersebut telah menyebabkan sebagian orang memandang remeh ijtihad dan keilmuan para ulama, terutama ulama terdahulu yang sangat dikenal kesalehan dan keluasan ilmunya.
Memang benar umat Islam harus mengikuti Nabi Saw, melalui hadis-hadisnya. Akan tetapi sebuah hadis boleh diamalkan setelah dipahami maksud dan hukum yang dikandungnya. Sebuah hadis tidak cukup diketahui status keabsahannya saja.
Jika ditemukan sebuah hadis shahih, tidak bisa langsung dipakai. Bahkan, hadis shahih ada yang tidak diamalkan ulama (didiamkan). Sebabnya banyak. Misalnya diketahui hadis shahih itu telah dimansukh, makna masih dzanni sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak tunggal.
Contohnya hadis berbunyi: “Zaid bin Tsabit pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apakah yang dilakukan seseorang jika berjima’ dengan istri tetapi tidak keluar mani? Utsman bin Affan menjawab: Berwudhu sebagaimana wudhu’ akan shalat dan memcuci kemaluannya, hal itu saya dengar dari Rasulullah. (HR. Bukhari). Maksudnya, jika suami-istri berhubungan tidak sampai mengeluarkan sperma, maka bagi mereka cukup berwudhu’ dan mencuci kemaluannya.
Meski hadis tersebut masih termaktub dalam kitab paling shahih, Bukhari, akan tetapi para ulama tidak mengamalkannya. Karena hadis tersebut dinasakah (dihapus hukumnya) dengan hadis berbunyi:”Ketika seorang duduk diantara empat cabang kaki wanita dan kedua khitan saling bersentuhan, maka dia harus mandi besar” (HR. Bukhari-Muslim). Yaitu, wajib mandi janabah bagi suami istri yang berhubungan, baik keluar sperma atau tidak.
Tidak sekedar hadis shahih langsung diamalkan, bisa keliru. Kekeliruan karena tidak utuh pengetahuan hadis dan fikihnya. Di sinilah pentingnya mengikuti jejak ulama untuk mengikuti Nabi.
Dalam hal ini seorang murid imam Malik, Ibnu Wahab, berkata: Kalau saja saya  tidak bertemu dengan Imam Malik  dan al-Laits bin Saad, maka celakalah saya.Dahulu saya menyangka segala sesuatu yang datang dari Nabi itu pasti harus diamalkan. (Tarikh Dimasyq, h. 50/ 359).
Dalam benak Ibnu Wahab, ia selamat dari kesesaatan karena mengikut Imam Malik. Bagaimana jika ia tidak ikut siapa-siapa, tapi langsung ‘mengamalkan’ semua hadis yang ia dapatkan?
Kembali itu ada jalan dan metodenya. Jika tidak tahu jalan dan cara, kita tersesat. Seperti kita mau kembali pulang ke kota Jakarta, ada jalan dan kendaraanya. Jika tidak tahu, maka bisa tersesat ke Banten. Ketika tidak tahu jalan, apakah bisa kembali sendirian tanpa dituntun?
Jika setiap orang langsung merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah dalam setiap masalah,apa yang akan terjadi? Maka, setiap orang akan menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah menurut pikirannya sendiri.
Padahal setiap orang berbeda-beda kemampuan memahami al-Qur’an. Bahkan, yang banyak awam terhadap isi al-Qur’an. Bagi yang awam tidak mungkin bisa langsung merujuk, tanpa melalui ulama (madzhab). Merujuk langsung tanpa melalui ulama berpotensi menjadi liberal. Bebas memaknai.
Ulama Ikut Nabi
Ikut madzhab, berarti kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, sesuai tuntunan sesuai metode yang benar. Kita tidak bisa langsung loncat kepada al-Qur’an. Tetapi melalui jalan metodologis. Metodologi itulah yang termaktub dalam madzhab.
Para pemuka madzhab kita adalah orang-orang yang sangat paham tentang Al-Qur’an dan Sunnah. Bisa dicek, hasil ijtihad yang mana dalam suatu madzhab dari madzhab yang empat, yang tidak kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits?
Teks (nash) Hadis misalnya tidak bisa secara ‘mentah’ langsung dipakai secara bebas oleh semua orang sebagai dalil. Para fuqaha’ (ahli fikih) yang bertugas menggali makna, maksud dan kandungan hukumnya. Karena mereka memiliki metodogi pakem.
Mempertentangkan antara hadis Nabi dan pendapat ulama sering memakai perkataan popular imam Syafi’i yang berbunyi: “Jika kamu menemukan dalam tulisanku berbeda dengan sunnah Rasulullah Saw yang shahih, maka pilihlah sunnah Rasulullah dan abaikan perkataanku” (Imam Nawawi,Muqaddimah Majmu’, hal. 117).
Ternyata statemen imam Syafi’i tersebut ada konteksnya. Imam Nawawi telah menjelaskan apa maksud dan konteks perkataan imam Syafi’i tersebut. Diterangkan imam Nawawi – yang dijuluki juru bicara madzhab Syafi’i pada zamannya – bahwa statemen imam Syafii tersebut bukan untuk tiap-tiap orang yang menjumpai hadis shahih lalu berkata ‘ini madzhab imam Syafii’ dapat diamalkan dzahir hadisnya’.
Akan tetapi, lanjut imam Nawawi,  perkataan imam Syafii tersebut berkenaan dengan orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam madzhab. Atau yang telah memenuhi syarat berijtihad. Yaitu, orang yang telah menelaah seluruh kitab-kitab imam Syafii serta meyakini ada suatu hadis yang belum diketahuinya (Imam Nawawi,Muqaddimah Majmu’, hal. 118).
Di sinilah harus kita sadari, terhadap perkataan imam Syafii saja kita terkadang tidak tahu maksud dan konteksnya apa. Kita masih butuh penjelasan para murid-muridnya atau ulama pengikutnya yang dikenal pakar fikih imam Syafii. Bisa keliru jika kita mengabaikan maksud dan konteks sebuah perkataan.
Apalagi al-Qur’an dan hadis Nabi, memiliki struktur bahasa Arab yang khas. Perkataan Nabi Saw sering disebut-sebut dengan ‘jawami’ kalim. Kalimatnya pendek, tapi kandungan maknanya dalam.
Makna teks-teks al-Qur’an dan hadis ada yang bersifat qa’ti dan ada yang dzanni. Qath’i adalah lafadz-lafadz yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Zhanni adalah lafadz lafadz yang dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk di ta’wilkan.Bagaimana kita mengetahui qat’i dan dzanni jika bahasa Arab saja kita tidak bisa?
Sebagai salah satu sumber hukum, hadits senantiasa digunakan oleh para ulama Islam dalam konteks disiplin yang lain (fiqih, ilmu kalam, tashawwuf dll). Dalam arti, hadis dalam pemikiran para ulama dahulu tidak dapat berdiri sendiri. Ia salah satu bahan baku untuk mengeluarkan fatwa. Fikih itu bisa kita sebut produk fatwa, yang ‘siap saji’, untuk diamalkan kaum muslimin.
Logika mempertentangkan hadis Nabi dan pendapat imam Madzhab sebaiknya tidak digunakan lagi. Apalagi fikihnya para imam Madzhab itu memiliki sanad yang bersambung kepada Nabi Saw.
Al-Allamah Qalyubi menyebutkan sanad fiqih imam Syafi’I yaitu: Muslim bin Khalid al-Zanji dari Ibnu Juraij dari Atha’ bin Abi Rabah dari Ibnu Abbas dari Rasulullah Saw (Hasyiyatani al-Qalyubi wa Amirah, 1).
Imam Dzahabi mengatakan: “Aku tidak melihat seorang pun yg shalatnya sebaik al-Syafii. Hal itu karena ia mengambilnya dari Muslim bin Khalid, dan Muslim mengambil dari Ibnu Juraij dan Ibnu Juraij mengambil dari Atha dan  Ibnu Atha mengambil dari Ibnu zubair dari Abu Bakar ra (Siyar Alam al-Nubala, 10/90).
Ketika tabi’in mengakatan sesuatu perintah agama, menurut imam al-Ghazali, maka bisa jadi itu merupakan perintah Nabi Saw atau perintah seluruh ummah. Sehingga bisa menjadi hujjah. (Imam Nawawi,Muqaddimah Majmu’, hal. 111). Artinya, amalan tabi’in itu ada sandaran, dalil dan transmisi yang terhubung dengan Nabi Saw. Maknanya juga, ijtihad imam madzhab tidak lepas dari sandaran, dan dalil dari Nabi Saw.
Kita tidak boleh menyangka bahwa imam mazhab yang empat tidak tahu hadits atau ilmu hadits. Kita juga tidak boleh menyangka bahwa para pengikut (muqallid) imam-imam ini tidak tahu hadits dan ilmunya. Jika kita sebut salah satu dari mereka tidak tahu hadis, pertanyaannya, lalu siapa kita?

Minggu, 29 Mei 2016

SOAL UAS 2015-2016 (FILSAFAT ISLAM)

KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN KEDIRI
JURUSAN: USHULUDDIN – TARBIYAH – SYARI’AH
Tahun 2015/2016



Mata Kuliah                         : Filsafat Islam
Dosen  Pengasuh                  : Akhmad Hasan Saleh, S.Pd., MPI.
Prodi                                     : Psikologi
SifatUjian                             : Take Home
Waktu                                                : -
                       

Baca soal dengan seksama dan kerjakan sesuai dengan perintah soal!
1.Teori emanasi mengenalkan kita pada hubungan alam dengan pencipta (Allah), Filsof  Barat kebanyakan berpendapat bahwa munculnya alam merupakan pancaran bukan karena ciptaan. Bagaimana pendapat anda? (10)
2.   Deskripsikan hakikat jiwa menurut Ibnu Sina dan apa perbedaannya dengan Mulla Sadra? (20)
3.   Bagaimana konsep ruh menurut perspektif Tasawuf ? (10)
4.  Adakah hubungan Aklaq, Ilmu dan Tauhid menurut Imam al Ghazali, Jelaskan! (30)
5.  Epistomologi merupakan hal mendasar dalam membentuk cara pandang seseorang, tentunya akan berbeda epistemologi seorang muslim dan epistemologi seorang sekuler (barat). Sebutkan dan Jelaskan perbandingan Epistemologi Islam dan Epistemologi Barat! (30)

Catatan:
·    Setiap Jawaban Mohon MENCANTUMKAN REFERENSInya.
·    Apabila ada jawaban dengan kata-kata yang sama akan berpengaruh terhadap penilaian.
·    kata yang sama akan berpengaruh terhadap penilaian.


SEBELUM MENGERJAKAN ..... JANGAN LUPA BACA BASMALAH !

Semoga ALLAH Memberikan Keluasan Ilmu...Aamiiin

Kamis, 11 Februari 2016

Ma'rifah an Nafs (Mengenal Diri Lebih Dekat)



MENGENAL LEBIH DEKAT DIRI SENDIRI
(MA’RIFAH AN NAFS)
 Hasil gambar untuk ma'rifat mengenal diri
Akhmad Hasan Saleh, MPI.

Dalam sebuah penciptaan tentunya sudah dipersiapkan perangkat yang mendukung terhadap ciptaan itu, misalkan seseorang yang membuat robot pastinya menjadikan robot itu bisa bergerak, bersuara bahkan sesuai dengan kebutuhan dari pembuatnya. Ketika robot mengalami kerusakan, perangkat (sparepart)nya sudah dipikirkan sebelumnya, mudah di dapat atau tidak, ketangguhan robot pun juga menjadi pertimbangan dan segala macamnya, sehingga menjadikan robot tersebut tangguh dan sempurna.
Begitu pula yang terjadi dalam penciptaan manusia, Allah telah menciptakan manusia dengan segala kesempurnaanya, mulai dari penggerak sampai dengan perbaikannya saat mengalami kerusakan, sehingga tetap terlihat fresh kembali. Manusia diciptakan dengan segala macam kebutuhannya baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan non fisik. Dibalik penciptaan manusia, Allah juga memberikan potensi luar biasa pada manusia. Potensi itu dimiliki manusia sejak awal diciptakan dan terlihat pertama kali pada proses penciptaan manusia dengan kualitas dan kemampuan terdahsyat, sampai manusia dilahirkan ke muka bumi dengan wujud kesempurnaan penciptaan.
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:” Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah yang  liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Al Hijr: 28-29).
Potensi dasar kehidupan yang Allah berikan pada manusia yaitu diri kita berupa materi (jasad/fisik) dan non materi (ruh/ruhani). Dalam perjalanan kehidupannya potensi yang Allah berikan pada manusia membutuhkan asupan untuk mampu terus bertahan. Pemenuhan kebutuhan atas kedua potensi sesuai dengan fungsinya masing-masing.  
Jasmani (jasad/fisik) sebagai bentuk materi tentunya membutuhkan asupan sesuai dengan wujudnya yaitu asupan yang berbentuk materi (hajatun adlawiyah). Kebutuhan jasmani secara umum timbul sebagai reaksi dari dalam tubuh dan merupakan reaksi otomatis yang termasuk bagian dari mekanisme tubuh manusia,  baik mendapat rangsangan dari luar atau reaksi alami yang sesuai dengan kebutuhan badan atau yang terkait dengn materi. seperti kebutuhan makan, minum, buang air besar atau kecil  dan lain-lain. Pemenuhan secara materi harus dipenuhi secara pasti, karena jika tidak terpenuhi akan berdampak pada kematian. Pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani terdorong secara otomatis, tidak dibutuhkan latihan (riyadhoh) tetapi dengan sendirinya akan melakukan pemenuhan terhadap kebutuhannya masing-masing, misalkan jika haus maka dengan sendirinya manusia akan minum, jika lapar maka akan makan, jika lelah maka akan istirahat, jika ngantuk maka akan tidur dan sebagainya.
Sedangkan jiwa (ruh/ruhani) berbentuk non materi yaitu berupa naluri (gharizah). Kebutuhan dari naluri harus pula dipenuhi, karena setiap potensi memiliki haknya masing-masing. Kebutuhan naluri (gharizah),  kebanyakan merupakan hal-hal yang bukan berbentuk materi pula meskipun berawal dari panca indra (dari luar), akan tetapi  lebih kepada sifat-sifat dan makna-makna atau kebutuhan yang bersifat non materi. Seperti kebutuhan biologis, kebutuhan untuk mempertahankan diri, dan lain sebagainya. Tetapi, jika gharizah tidak terpenuhi tidak akan menjadikan manusia mati, hanya saja ia akan merasa resah, bimbang dan bingung tanpa ketenangan dan kebahagiaan. Pemenuhan kebutuhannya berbeda dengan jasmani yang secara otomatis dilakukan, tetapi untuk ruhiyah tidak secara otomatis–dibutuhkan latihan (riyadhoh) sebagai pendorong dari luar  atau penyebabnya dari luar diri manusia yang kemudian masuk dalam gharizah memberikan dorongan sehingga menjadi amal perbuatan.
Dalam pembahasan nidzamul ijtima’i (system pergaulan) dijelaskan bahwa gharizah merupakan fitrah dan menjadi kebutuhan manusia. Gharizah terbagi menjadi tiga bagian yaitu pertama, naluri terhadap lawan jenis/libido/sex (gharizah an nau’) yaitu naluri yang cenderung pada kebutuhan biologis. manusia dan hewan/binatang memiliki gharizah an nau’. Munculnya gharizah an nau’ karena kebutuhannya atas pasangan kehidupan atau juga bisa dimunculkan dengan cara berfikir tentang wanita-wanita cantik, melihat film atau gambar porno dan lain-lain yang berhubungan dengan seksualitas. maka untuk memenuhinya dengan cara melakukan pernikahan/perkawinan sesuai aturan syari’at. jika gharizah an nau’ dibiarkan akan menyebabkan tidak terkendalinya nafsu seksualitas sehingga terjadi pelanggaran syariat berupa perzinaan, pacaran, sodomi, lesbian dan sebagainya.
Kedua, naluri mempertahankan diri (gharizah al baqo’) yaitu naluri untuk membela atau bertahan dari segala macam ancaman atau serangan dari luar dirinya. Naluri  mempertahankan diri muncul sebagai reaksi terhadap sesuatu yang ditakuti,  dengan bermacam wujud dan cara ia bertahan, terkadang dalam bentuk perlawanan atau sebaliknya ia menjadi “ngatok”. bentuk lain dari gharizah al baqo’ adalah ketakutan terhadap sesuatu yang sifatnya keduniawian, loyal terhadap atasan, ambisi terhadap jabatan, atau bahkan mengejar-ngejar jabatan atau pangkat, gila hormat atau takut tidak dihormati dan sebagainya. sehingga dalam memenuhi kebutuhan gharizah al baqo’ dengan cara bekerja, menjabat, dihormati/menghormati dan sebagainya.
Gharizah an nau’ dan gharizah baqo’ sangat banyak dimiliki oleh kebanyakan manusia saat ini, sehingga dengan gharizah tersebut tidak mengenal waktu, tempat atau bahkan menyalahi aturan untuk sedemikian rupa memenuhi kebutuhannya. jika pemenuhan kebutuhan terhadap gharizah tersebut terpenuhi seakan-akan dunia sudah dirangkulnya dan kebahagiaan menjadi miliknya. namun ada satu gharizah yang kemudian banyak orang melupakannya, sedangkan gharizah ini menjadi kunci dasar orang menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat yaitu gharizah yang ketiga, naluri beragama (gharizah tadayyun) yaitu naluri akan kebutuhan terhadap agama (aturan). Gharizah tadayyun juga bisa dikatakan sebagai gharizah kebertuhanan (artinya kebutuhan atas Tuhan). Gharizah ini merupakan kebutuhan dasar dalam diri manusia, karena telah melekat sejak awal penciptaan manusia yaitu perjanjian antar ruh dan Allah di Arsy. Kesepakatan dari perjanjian tersebut berbunyi “alastu birabbikum?, qolu ”bala syahidna” (Apakah aku ini adalah Tuhanmu, berkata ruh “benar aku bersaksi Engkau Tuhanku). gharizah tadayyun yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya dan menjadikan kesempurnaan dalam dirinya.
Pemenuhan kebutuhan terhadap gharizah tadayyun dengan cara melakukan pensucian terhadap jiwa/ruh melalui sesuatu yang dianggap Pencipta atau Agung bagi persepsi manusia, maka dari itu dalam diri manusia ada kecenderungan untuk beribadah kepada Allah, perasaan kurang, lemah dan membutuhkan kepada yang lainya. Hanya saja diantara manusia banyak yang keliru dalam rangka memenuhi kebutuhan naluri yang satu ini. Contohnya diantara manusia ada yang menyembah berhala, mensucikan pohon keramat, dijawa ada khurafat “Dewi Sri, Nyi roro kidul”, menyembah sesama manusia dan lain-lain. Ada kisah orang atheis pun yang katanya tidak mengakui adanya tuhan, toh mereka juga mensucikan orang-orang tertentu semacam Lenin dan Stelin. Semua itu sebenarnya wujud kebutuhan dari naluri yang memang diberikan oleh Allah SWT sebagai sang Penciptanya. Adanya kebutuhan ini dalam AL-quran telah di isyaratkan. Allah SWT berfirman:
“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan ni’mat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah ia berdo’a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglahlah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka”. (QS Az Zumar 8).
Pemenuhan kebutuhan gharizah tadayyun sangat fundamental, karena akan membentuk pribadi seseorang baik atau buruk, masuk syurga atau neraka (walaupun bukan menjadi jaminan, namun minal menjadi stardartnya). Jika kebutuhan Gharizah tadayyun terpenuhi dengan baik melalui konsumsi dzikir, sholawat, sholat, puasa, zakat dan amalan-amalan lainnya, maka akan menjadikan manusia hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebaikan akan didapatkan tidak hanya untuk dirinya, namun juga akan terpancar pada orang lain dan lingkungannya, yaitu akan lebih baik dari sebelumnya secara integral, baik dari segi amal perbuatan maupun ekonomi dan social kemasyarakatannya.