PROBLEMATIKA
UMAT
Oleh : Akh. Hasan Saleh
A. Orientasi Pemikiran
Meneropong
perjalanan sejarah peradaban dunia terus mengalami perputaran, adakalanya
mengalami kejayaan dan adakalanya mengalami kemunduran. Mengenang sejarah
peradaban dunia bangsa Arab dan Eropa sangatlah menyakitkan dan menyedihkan.
Bagaimana kehormatan wanita di
injak-injak, dominasi kekuasaan atas dunia (hub
ad dunya) menjadi tujuan utama, perebutan kekuasaan dan kedudukan sebagai
cita-cita, dan berbagai macam kekejian dan amoral yang lain. Arab sebelum Islam
datang menjadi wilayah yang penuh dengan kerakusan akan kekuasaan dan
kehormatan. Sedangkan Eropa sebelum Islam memberikan sumbangsih keilmuwannya
menjadi wilayah yang penuh dengan kemaksiatan, kedzaliman, bahkan mengalami
kegelapan dalam keilmuan.
Perjalanan
sejarah dari waktu ke waktu memberikan perubahan pada bangsa Arab dan Eropa.
Islam datang sebagai pencerah bagi bangsa-bangsa di dunia. Arab sebagai bangsa
yang jahiliyah menjadi bangsa yang beradab. Eropa sebagai bangsa yang mengalami
kegelapan menjadi bangsa yang berengetahuan. Namun perjalanan waktu tidak cukup
berhenti pada masa kejayaan.
Akibat
jatuhnya kekholifahan Turki Utsmani setelah Perang Dunia Pertama (1914-1918), banyak
bangsa-bangsa di dunia mengalami kemerosotan dari segi moral, walaupun dari
sisi ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang pada akhirnya tidak
bisa terbendung. Kebanyakan bangsa Arab berada dalam penjajahan Inggris dan Perancis,
bahkan Istambul Ibukota Turki mengalami perubahan dari segi pemikiran,
menyebarnya pemikiran liberalisme yang menguasai pemerintahan yang dipimpin
oleh Kemal At Tarturk dan Eropa dengan pengetahuannya semakin liberal, demikian
pula kebanyakan negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Setelah Perang Dunia
Kedua (1939-1945) kebanyakan negara-negara Islam merdeka kembali, namun
sisa-sisa kekuasaan kolonialisme masih terus bercokol. Kolonialisme melihat
bahwa kekuatan Islam yang selama itu berhasil mempersatukan berbagi kultur,
etnik, ras dan bangsa dapat dilemahkan. Yaitu dengan cara adu domba dan teknik divide et impire sehingga konflik intern
menjadi tak terhindarkan dan akibatnya negara-negara Islam terfragmentasi
menjadi negara-negara kecil.
Peradaban
Islam yang kokoh selama 700 tahun akhirnya mengalami kemunduran hingga saat
ini, yang disebabkan internalisasi permasalahan dalam tubuh umat Islam.
Sebagaimana pendapat Ibn Khaldun faktor bahwa penyebab runtuhnya sebuah
peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat
runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat
menerapkan gaya hidup malas, yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini
tidak hanya negatif tetapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral.
Lebih jelas Ibn Khaldun menyatakan:
“Tindakan
moral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat
dikalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji
cara-cara mencari nafkah, dan untuk menggunakan segala bentuk penipuan untuk
tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, menipu, menggelapkan, mencuri
melanggar sumpah dan memakan riba.”
Dalam
peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya menfokuskan pada pencarian
kekayaan yang secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas
masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang
mencari harta tanpa berusaha, hal ini sama dengan meniadakan kekuatannya
sendiri untuk semangat, optimis dan keyakinannya secara penuh kepada
Penciptanya, maka akan mengakibatkan destruksi dan kehancuran peradaban. Ibnu
Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan:
“Jika
kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak, kemanusiaannya
juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi hewan.”[1]
Intinya,
dalam pandangan Ibn Khaldun, kehancuran suatu peradaban disebabkan oleh hancur
dan rusaknya sumber daya manusia, baik secara intelektual maupun moral.
Rusaknya moral penguasa dalam sebuah bangsa akan menurunkan kegiatan keilmuan
dan kepedulian masyarakat terhadap ilmu, dan bahkan berakhir dengan hilangnya
kegiatan keilmuan. Secara ringkas dalam pandangan Ibn Khaldun, jatuhnya suatu
peradaban ada 10, yaitu: 1) rusaknya moralitas penguasa; 2) penindasan penguasa
dan ketidakadilan; 3) Despotisme atau kezaliman; 4) orientasi kemewahan masyarakat;
5) egoisme; 6) opportunisme; 7) penarikan pajak secara berlebihan;
8)keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat; 9) rendahnya komitmen
masyarakat terhadap agama; 10) penggunaan pena dan pedang secara tidak tepat.
Dari sepuluh
point tersebut mengarah pada moral masyarakat, khususnya penguasa. Asumsinya
bahwa karena kondisi moral diatas itulah maka kekuatan politik, ekonomi dan
sistem kehidupan hancur dan pada gilirannya membawa dampak terhadap terhentinya
pendidikan dan kajian-kajian keislaman, khsususnya ilmu pengetahuan.
B. Tantangan
Pemikiran dan Dampaknya
Islam didatangkan oleh
Allah untuk manusia sebagai agama rahmat, pembawa kedamaian, keselamatan tidak
hanya untuk sebagaian umat, wilayah, atau kondisi, namun untuk seluruh alam di
segala zaman. Islam telah menunjukkan kejayaannya selama 700 tahun dengan
menghasilkan banyak ilmuwan dan karyanya. Karena Islam memiliki sumber rujukan
al Qur’an dan Hadits yang dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu (unifying force) yang tidak dimiliki peradaban
lain. Von Grunebaum dengan nada heran menulis,
“Bangsa-bangsa datang dan pergi.
Kerajaan-kearajaan bangun dan jatuh. Tapi Islam bertahan dan dapat terus
mengayomi pengembara (nomads) dan penghuni tetap (settlers), pembangun
peradaban dalam Islam dan perusaknya. Jadi apa faktor-faktor yang mempersatukan
mereka menjadi satu ummah; yaitu mereka yang secara sadar atau tidak cenderung
untuk mempertahankan individualitas mereka, sedangkan disisi lain berupaya
untuk mengikat diri mereka dengan Islam yang universal sebagai kekayaan
spiritual mereka yang sangat berharga.”[2]
Jadi secara optimis,
sebenarnya umat Islam akan bertahan dalam kondisi apapun ketika spiritualitas
menjadi pegangan dalam perubahan dunia yang semakin tidak terkendali.
Spiritualitas sebagai motor penggerak dari pencerah pemikiran dalam gerakan
seorang muslim, sehingga ketika seorang muslim mulai kehilangan penggerak
utamanya maka akan mengalami stagnan dan kehancuran dalam segala bidang.
Umat Islam mengalami
kemunduran karena intern umat yang mulai salah konsep dalam memandang perubahan
dunia. Setiap individu berfikir terpisah terhadap kompleksitas permasalahan
umat. Cara pandang di dunia atau yang dikenal dengan worldview hanya ada dua macam, yaitu Islam dan Barat.
Cara pandang Islam sudah jelas
memiliki sandaran pada Al Qur’an dan Hadits, yang didalamnya mencantumkan
tentang cara menghadapi perubahan dunia, yang diperjelas dengan ijma’ sahabat
dan tafsir ulama’. Permasalahan ushul sudah
finish diperbincangkan oleh para sahabat dan ulama’, namun hal yang menyangkut furu’ terus berkembang sesuai perubahan
zaman yang tetap bersandar kepada ulama’-ulama’ klasik.
Berbeda dengan pemikiran
Barat yang terus melakukan dekontruksi pemikiran sesuai dengan kondisi zaman
dan pengetahuan yang berkembang, sehingga tidak ada finalisasi hal-hal yang
fundamental termasuk masalah keagamaan didalamnya. Dominasi Barat terhadap
dunia semakin besar, dan mulai menggrogoti wordview seorang muslim. Banyak dari
kalangan Barat mencoba untuk memberikan sumbangsih terhadap Islam dengan
wordview mereka, misalkan umat Islam mulai diajak untuk berfikir kritis
terhadap agama, bahkan melakukan dekontruksi terhadap kitab suci, dan
hukum-hukum yang sudah menjadi ijma’ sahabat dan ulama’.
Pemikiran barat dengan
konsep sekularisme dan liberalismenya mampu menghipnotis umat, yang seakan-akan
menganggapnya baik untuk diterapkan terhadap internal umat islam dan mampu
memberikan kemajuan dalam bidang teknologi, budaya, politik bahkan agama.
Kesalahan worldview inilah yang kemudian menjadi dampak terhadap kemunduran
umat Islam dunia.
Dominasi wordview barat
terhadap umat Islam berdampak terhadap keilmuwan. Kalau diperhatikan dengan
adanya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan para ilmuwan menawarkan
pemecahan masalah dengan keilmuwan masing-masing tanpa melakukan integrasi
keilmuwan, sehingga yang terjadi penyelesaian masalah umat terpisah-pisah tidak
terorganisir secara integral. Menurut padangan Sy.Muhammad Naquib Al Attas
dalam Risalah Untuk Kaum Muslimin,
melihat bahwa kebanyakan pemimpin umat Islam hanya memperhatikan kulit luar
dari inti permasalahan yang menggiring umat kedalam kancah ketidak beruntungan
ini, Ia menyatakan:
“Kini sudah jelas bagi kita kaum
muslimin bahwa akar maslaah yang sedang kita hadapi ini sesungguhnya terletak
pada masalah disekitar pengertian ilmu. Akal pikiran kita telah diliputi oleh
masalah sifat dan tujuan ilmu yang salah....orang Islam telah terperdaya dan
secara tidak sadar telah menerima pengertian ilmu yang dianggap sama dengan
pengertian kebudayaan Barat. Mereka telah memberi pengertian ilmu sesuai dengan
sifat dan tabiat kepribadian mereka. Sedangkan makna ilmu itu berbeda-beda
sesuai dengan agama dan kebudayaan berdasarkan pandangan hidup masing-masing.
Islam pun mempunyai pandangan hidup sendiri yang mencerminkan sifat dan tabiat
kepribadiannya sendiri yang berbeda dari pandangan hidup dan kebudayaan lain.”[3]
Pernyataan yang
disampaikan al Attas menunjukkan kebenaran, bahwa kalau di zaman dulu problem
yang dihadapi umat Islam adalah tantangan ekstern dan intern seperti agresi
militer, instabilitas poitik, keterpurukan ekonomi, kerusakan moralitas
masayrakat dan pemimpin, maka dizaman sekarang ini tantangan ektern dan
internnya lebh kompleks dan bermuara pada masalah ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam adalah
peradaban yang memperhatikan ilmu pengetahuan dan bahkan dibangun atas dasar
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Islam dan pandangan hidup Islam berkaitan
erat sekali. Menurut al Attas, “Ilmu itu
mempengaruhi sikap hidup manusia”.
Sehingga tantangan umat
Islam saat ini yang memberikan dampak besar terhadap kehidupannya adalah ilmu
pengetahuan dengan cara pandang Barat yang semakin deras tidak dapat dibendung
masuk dalam alam fikiran umat Islam dengan bentuk konsep-konsep kunci yang
sarat dengan nilai-nilai Barat. Sehingga secara tidak sadar bahwa secara
organisasi Islam, agama keluarga adalah Islam, namun secara pemikiran cenderung
pada pemikiran Barat, sehingga ukhuwah dan ghiroh keislaman serta dakwah tidak
menjadi prioritas gerakan–cenderung untuk menyalahkan dan mendeskriditkan sesama
muslim yang memiliki konsistensi, loyalitas, fundamentalisme atau fanatisme
terhadap Islam.
[1] Ibn
Khaldun, Muqaddimah, terjm.
F.Rosental hal.289 dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, 2010, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya,CIOS-ISID,
Gontor, hal.38
[2]
Grunbaum.G.E.von, Pluralism in the
Islamic World, dalam Islamic Studies,
jilid 5 hal.2:37-59, lihat juga di Hamid Fahmi Zarkasyi, 2010, Peradaban Islam: Makna dan Strategi
Pembangunannya,CIOS-ISID, Gontor; hal.42
[3] Sy.
Muhammad Naquib Al Attas, 2001, Risalah
Untuk Kaum Muslimin, ISTAC, Kuala Lumpur. Hal. 91