PERANG
PEMIKIRAN ORIENTALIS
Akhmad Hasan Saleh[1]
Definisi orientalis telah dibahas
pada pembahasan sebelumnya How is orientalis. Namun ada yang cukup
menarik yang dikatakan oleh Abuya Muhammad ‘Alawi al Maliki dalam kitabnya Manqifu
al Muslim min al Dirasat al Istisyraqiyah[2]
yang menulis bahwa :
“Orientalisme atau kajian
ketimuran, secara terminologis biasanya identik dengan paradigma berfikir. Atau
lebih tepatnya pengkajian terhadap peradaban masyarakat Timur secara umum, dan
peradaban Islam dan masyarakat Arab secara khusus. Pada mulanya wilayah kajian
orientalisme hanya terbatas pada kajian keislaman, peradaban Islam, bahasa dan
sastra Arab. Kemudian wilayah kajian ini meluas dan mencangkup seluruh aspek
kajian ketimuran (the Orient), yakni mulai dari aspek bahasa ketimuran,
agama-agama Timur, adat istiadat, hingga budaya ketimuran. Fokus utama kajian
orientalis adalah agama Islam dan bahasa Arab, karena keduanya merupakan faktor
terbesar dari ketertarikan orientalis dan menggambarkan kontroversi gagasan,
politik dan teologi yang mewarnai kehidupan masa kini”
Para orientalis umumnya adalah
keturunan Yahudi, Nasrani dan setiap orang yang mengikuti jejak dan
terinspirasi oleh mereka yaitu generasi non-Yahudi dan non-Nasrani, termasuk
kaum Muslimin yang kebarat-baratan (westernist), yang keluar dari agama
Islam karena sependapat dengan gagasan dan ide-ide orientalis. Kajian
orientalisme mulanya hanya dilakukan oleh para pendeta, cendikiawan, dan
misionaris. Sebagian dari mereka tertarik pada teologi dan sebagian lagi sangat
peduli pada kebangkitan dan pendidikan gereja terutama di abad pertengahan”.
Jadi Istilah Orient tidak hanya
digunakan untuk belahan bumi sebelah timur, tapi juga masyarakat, semangat,
yang ditakuti dan berbahaya bagi Barat. Orientalisme adalah gaya pemikiran
berdasarkan perbedaan analogis antara Orient
(Timur) dan Occident (Barat).
Sebagai dasar pengkajian berbagai
teori, novel, gambaran sosial dan politik tentang Timur, dan masyarakatnya,
tradisinya, mentalitasnya, dan sebagainya, para orientalis memiliki
interpretasi terhadap itu semua berdasarkan asumsi-asumsi mereka. Jadi
Orientalisme adalah suatu gerakan untuk menyingkap hakekat Timur kepada Barat.
Pemikiran orientalis
muncul karena adanya suatu perbedaan peradaban (cash of civilization) dan perbedaan cara pandang (cash of worldviews) yang mengakibatkan
terjadinya perbedaan kultur agama, ras kepercayaan, dan pendapat (pemikiran)
dan sebagainya. Dengan berbagai perbedaan pola pikir mengakibatkan banyak
perbedaan persepsi (Collision of
consciousness) yang memunculkan perbedaan pendapat.
Dasar pemikiran terletak pada worldview,
ketika worldview keliru dalam memandang fenomena, maka asumsi yang muncul akan
keliru pula, seringnya asumsi-asumsi tersebut muncul akan menjadi habbit dalam
berfikir (gaya pemikiran), sebagaimana kalangan orient yang mengaplikasikan
dalam bentuk teori-teori, novel, gambaran social, politik dan masyarakat,
tradisi dan mentalitas dan sebagainya tentang pola ketimuran.
Orientalis menciptakan fitnah berdasarkan
opini negative dan penuh permusuhan sebagai warisan dari perang salib. Setiap
individu yang berpangku tangan atas segala rekayasa bahkan terjun bersama
mereka dalam membantu mengaplikasikan keilmuwan orientalis adalah sama dengan
mereka dan bahkan menjadi musuh dalam selimut.
Dalam memandang Islam tidak akan pernah
bersikap objektif dalam memberikan penilaian (penelitian), karena worldview yang digunakan bukanlah worldview kebenaran (Islam), tetapi worldview Barat yang digunakan pijakan dalam berfikir
untuk pengolahan data atau pembuatan opini. Dimana peradaban Barat (The occident) berpijak pada materialistic teologis dan
berdiri diatas runtuhnya peradaban Romawi dengan segala bentuk kesyirikannya
(menyembah berhala). Bahkan Barat menjadikan Yesus sebagai tameng untuk
menutupi realitas yang terjadi.
Oleh karena itu, pada saat ini Timur (The orient) secara tidak sadar merupakan bagian integral
dari pemikiran dan peradaban dan kebudayaan material Barat berdasarkan
birokrasi-birokrasi colonial dan gaya hidup kolonialisme. Bahkan menjadi budaya
keilmuwan akademis dalam pengkajian keislaman itu sendiri. Sehingga banyak
terjadi kerancuan berfikir dan bersikap dalam melaksanakan ajaran agama.
Tragisnya masuknya orientalisme mulai banyak bermunculan sebagai budaya
berfikir pada perguruan-perguruan tinggi keislaman, yang harusnya meluruskan
orintalis maka menjadi sebaliknya mengikuti jejak, pikir dan perilaku
orientalis dalam menilai agama sendiri (Islam). Pengajaran orintalisme yang
teraplikasi pada buku pengajaran menjadi sangat dominant dan diminati untuk
dipelajari dan diajarkan yang dianggap sebagai sebuah khazanah ilmu. Kajian
keilmuwan dapat dianggap khazanah apabila memuat dan mengkaji keilmuwan secara
benar dan menilai suatu kebenaran secara objektif, tidak karena maksud dan
tujuan menghancurkan sesuatu yang benar adanya.
Justifikasi penghancuran Islam yang dilakukan
orientalis dengan mendistorsi fakta dan berfikir salah dikatakan oleh Darwin,
Freud dan lain-lain[3] dalam
pandangan eksistensi matrealistiknya, yaitu:
“Bahwa orientalisme adalah praduga baru yang
berkedok disiplin keilmuwan dan kependetaan dalam kajian yang sangat berbeda
dari setting keilmuwan dan independensi. Mayoritas orientalis dibayar untuk
menghina Islam, mendeformasi kebajikan, dan merekayasa kebenaran”.
Intelektual
muda Islam mulai banyak terlibat dalam aktifitas orientalis dengan mengadakan
kajian-kajian keilmuwan dan penulisan buku dengan maksud memberikan pencerahan
tentang Islam di masa modern, namun tanpa sadar atau tidak telah menggrogoti
Islam bagai ulat pemakan rumahnya sendiri. Orientalisme yang banyak digunakan
refrensi oleh generasi Islam salah satunya adalah Goldziher, Snouck Hugronje, Arthur
Jeffry, Edward Sa`id, Rudi Paret, Samuel Zwemer dan lain-lain. Dikalangan
orientalis, Goldziher dikenal sebagai ilmuwan yang cerdas dalam kajian bahasa
dan sastra Arab. Dalam penuangan ide dan gagasannya tidak mempedulikan
kebenaran dan kevalitan data, bahkan ia menolak data-data objektif yang
validitasnya telah disepakati oleh para intelektual dan seringkali melakukan
manupulasi beberapa manuskrip atau melakukan kesalahpahaman dan memberikan
statement tanpa argumentasi logis. Penolakan tersebut dengan menggunakan
data-data yang telah terhimpun dalam buku Al Haywan karya al Damiri, Al
‘Aqdu al Farid, Al Aghani dan kitab-kitab lainnya. Pemikiran orientalis
memberikan sugesti, sehingga umat Islam tidak melakukan otokritik terhadap
kajian keilmuwan Barat.
Orientalis dapat merubah wajahnya menjadi
banyak ragam dan bentuk yang dinamis dari masa kemasa, dari satu kondisi menuju
kondisi lainnya. Namun orientalis tidak terlepas dari tujuan utamanya sebagai
bentuk pelestarian warisan berfikir yaitu menghancurkan Islam dan
masyarakatnya.
Orientalis dan misionaris mempopulerkan
ilmu-ilmu sekuler Barat, kebudayaan Barat, kehidupan ala Barat yang lengkap
dengan atribut dekadensinya, sehingga umat islam mengkultuskan Barat sebagai
gudang ilmu dan pusat segala perkembangan kajian, teknologi, busana, budaya dan
sebagai pembaharu dunia menuju peradaban modern.
Sehingga tidak heran pada saat ini dan
beberapa tahun kedepan akan semakin banyak generasi muda melupakan dan
menghilangkan tradisi keilmuwan sebagai warisan Islam yang seharusnya dijaga.
Dan akan bermunculan keluarga-keluarga (orang tua) yang hidup dalam
keterasingan dirumah sendiri, karena tidak menguasai budaya, bahasa Barat yang
menjadi tolak ukur kemajuan zaman modern.
Hasil kebudayaan Islam akan hilang dinegara
yang umatnya mayoritas Islam. Kalau kita lihat kebelakang, kejayaan Islam
tentunya akan membuka mata dan fikiran kita – sebenarnya Islam telah menguasai
¾ dunia sejak datangnya Islam, Barat yang notabenenya sebagai negara yang baru
berdiri telah banyak relajar dari kejayan Islam pada saat terjadi renaisan
sebagai awal kemajuan Barat yang menjajah dan menghancurkan peradaban Islam di
Eropa. Sebut saja Cordova sebagai pusat perpustakaan dan keilmuwan dunia saat
itu, yang memiliki segudang literatur ilmu yang sangat lengkap. Namur sejarah
emas itu, hilang bagai tertelan bumi saat terjadi perang salib yang
menghanguskan pusat keilmuwan dunia dengan segala macam peradabannya.
Sejarah yang lain membuktikan, bahwa Islam
telah banyak melahirkan pemikir-pemikir seperti, Al Ghazali, shalahuddin al
ayyubi, nuruddin zanki, Quthbuddin an Naisaburi, Baha’uddin Qaraqusy, dan
banyak lanilla yang tak terhitung jumlahnya, mereka adalah ulama’ sekaligus
ahli dalam bidang pemerintahan pada detik-detik dan masa terjadinya perang
salib.
Dari ilmuwan Islam-lah para kaum orientalis
belajar tentang Islam, namun sayangnya mereka hanya belajar cara untuk
menghancurkan Islam sehingga tidak mampu untuk menerangi alam fikiran dan
hatinya. Sehingga yang muncul adalah kesalah pahaman terhadap Islam. Begitu
pula umat Islam yang bangga terhadap keilmuwan Baratnya, sehingga merasa
mendalami Islam, maka yang terjadi adalah anggapan bahwa ajaran-ajaran para
ulama’ Islam (salafus sholeh) perlu di dekontruksi, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam masa
kini. Umar bin Khattab ra. menyatakan:
“Sesungguhnya kekuatan jaringan Islam akan
terburai satu persatu, ketika ada orang yang tumbuh sebagai muslim, namun tidak
mengetahui hakikat jahiliyah”[4]
Oleh karena itu, sebagai umat islam yang
mengaku beriman dan beraqidah islam haruslah menjaga tradisi keilmuwan islam
dengan menjadikan worldview Islam
sebagai pijakan dalam menilai dan mengkaji fakta kehidupan yang bersandarkan
pada Al Qur’an dan Hadist. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Jumu’ah:
2-4.
“Dia-lah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan
Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan
dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikianlah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah
mempunyai karunia yang besar.”
[1]Pegiat ITCON Malang
[2]Dr.Adnan M.Wizan, Al Istisyraq wa
alMustasyriqun, terjemahan A. Rofiq Z.M, Fathur R.,2003 Akar Gerakan
Orientalisme: Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, Yogyakarta, Fajar
Pustaka Baru, hal.1-2
[3]lihat Dr.Ibrahim Khalil Ahmad, Al
Mustasyriqun Wal Mubassyirun FilAlamil Arabi Wal Islam, terjemahan oleh
Zeyd Aly Amar, 1999, Siasat Misi Kristen dan Orientalis, Jakarta, GIP,
hal 7
[4]Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa; ‘Ilm
as Suluk,vol.10, hlm.300-304, dalam Misteri kelam Islam dan kemenangan
perang salib, penerjemah Asep Sobari Lc. Kalam Aulia Mediatama, 2007, hlm.234.