Rabu, 15 April 2015

PERANG PEMIKIRAN ORIENTALIS



PERANG PEMIKIRAN ORIENTALIS
Akhmad Hasan Saleh[1]

Definisi orientalis telah dibahas pada pembahasan sebelumnya How is orientalis. Namun ada yang cukup menarik yang dikatakan oleh Abuya Muhammad ‘Alawi al Maliki dalam kitabnya Manqifu al Muslim min al Dirasat al Istisyraqiyah[2] yang menulis bahwa :
“Orientalisme atau kajian ketimuran, secara terminologis biasanya identik dengan paradigma berfikir. Atau lebih tepatnya pengkajian terhadap peradaban masyarakat Timur secara umum, dan peradaban Islam dan masyarakat Arab secara khusus. Pada mulanya wilayah kajian orientalisme hanya terbatas pada kajian keislaman, peradaban Islam, bahasa dan sastra Arab. Kemudian wilayah kajian ini meluas dan mencangkup seluruh aspek kajian ketimuran (the Orient), yakni mulai dari aspek bahasa ketimuran, agama-agama Timur, adat istiadat, hingga budaya ketimuran. Fokus utama kajian orientalis adalah agama Islam dan bahasa Arab, karena keduanya merupakan faktor terbesar dari ketertarikan orientalis dan menggambarkan kontroversi gagasan, politik dan teologi yang mewarnai kehidupan masa kini”
Para orientalis umumnya adalah keturunan Yahudi, Nasrani dan setiap orang yang mengikuti jejak dan terinspirasi oleh mereka yaitu generasi non-Yahudi dan non-Nasrani, termasuk kaum Muslimin yang kebarat-baratan (westernist), yang keluar dari agama Islam karena sependapat dengan gagasan dan ide-ide orientalis. Kajian orientalisme mulanya hanya dilakukan oleh para pendeta, cendikiawan, dan misionaris. Sebagian dari mereka tertarik pada teologi dan sebagian lagi sangat peduli pada kebangkitan dan pendidikan gereja terutama di abad pertengahan”.
Jadi Istilah Orient tidak hanya digunakan untuk belahan bumi sebelah timur, tapi juga masyarakat, semangat, yang ditakuti dan berbahaya bagi Barat. Orientalisme adalah gaya pemikiran berdasarkan perbedaan analogis antara Orient (Timur) dan Occident (Barat).
Sebagai dasar pengkajian berbagai teori, novel, gambaran sosial dan politik tentang Timur, dan masyarakatnya, tradisinya, mentalitasnya, dan sebagainya, para orientalis memiliki interpretasi terhadap itu semua berdasarkan asumsi-asumsi mereka. Jadi Orientalisme adalah suatu gerakan untuk menyingkap hakekat Timur kepada Barat.
Pemikiran orientalis muncul karena adanya suatu perbedaan peradaban (cash of civilization) dan perbedaan cara pandang (cash of worldviews) yang mengakibatkan terjadinya perbedaan kultur agama, ras kepercayaan, dan pendapat (pemikiran) dan sebagainya. Dengan berbagai perbedaan pola pikir mengakibatkan banyak perbedaan persepsi (Collision of consciousness) yang memunculkan perbedaan pendapat.
Dasar pemikiran terletak pada worldview, ketika worldview keliru dalam memandang fenomena, maka asumsi yang muncul akan keliru pula, seringnya asumsi-asumsi tersebut muncul akan menjadi habbit dalam berfikir (gaya pemikiran), sebagaimana kalangan orient yang mengaplikasikan dalam bentuk teori-teori, novel, gambaran social, politik dan masyarakat, tradisi dan mentalitas dan sebagainya tentang pola ketimuran.
Orientalis menciptakan fitnah berdasarkan opini negative dan penuh permusuhan sebagai warisan dari perang salib. Setiap individu yang berpangku tangan atas segala rekayasa bahkan terjun bersama mereka dalam membantu mengaplikasikan keilmuwan orientalis adalah sama dengan mereka dan bahkan menjadi musuh dalam selimut.
Dalam memandang Islam tidak akan pernah bersikap objektif dalam memberikan penilaian (penelitian), karena worldview yang digunakan bukanlah worldview kebenaran (Islam), tetapi worldview Barat yang digunakan pijakan dalam berfikir untuk pengolahan data atau pembuatan opini. Dimana peradaban Barat (The occident) berpijak pada materialistic teologis dan berdiri diatas runtuhnya peradaban Romawi dengan segala bentuk kesyirikannya (menyembah berhala). Bahkan Barat menjadikan Yesus sebagai tameng untuk menutupi realitas yang terjadi.
Oleh karena itu, pada saat ini Timur (The orient) secara tidak sadar merupakan bagian integral dari pemikiran dan peradaban dan kebudayaan material Barat berdasarkan birokrasi-birokrasi colonial dan gaya hidup kolonialisme. Bahkan menjadi budaya keilmuwan akademis dalam pengkajian keislaman itu sendiri. Sehingga banyak terjadi kerancuan berfikir dan bersikap dalam melaksanakan ajaran agama. Tragisnya masuknya orientalisme mulai banyak bermunculan sebagai budaya berfikir pada perguruan-perguruan tinggi keislaman, yang harusnya meluruskan orintalis maka menjadi sebaliknya mengikuti jejak, pikir dan perilaku orientalis dalam menilai agama sendiri (Islam). Pengajaran orintalisme yang teraplikasi pada buku pengajaran menjadi sangat dominant dan diminati untuk dipelajari dan diajarkan yang dianggap sebagai sebuah khazanah ilmu. Kajian keilmuwan dapat dianggap khazanah apabila memuat dan mengkaji keilmuwan secara benar dan menilai suatu kebenaran secara objektif, tidak karena maksud dan tujuan menghancurkan sesuatu yang benar adanya.
Justifikasi penghancuran Islam yang dilakukan orientalis dengan mendistorsi fakta dan berfikir salah dikatakan oleh Darwin, Freud dan lain-lain[3] dalam pandangan eksistensi matrealistiknya, yaitu:
“Bahwa orientalisme adalah praduga baru yang berkedok disiplin keilmuwan dan kependetaan dalam kajian yang sangat berbeda dari setting keilmuwan dan independensi. Mayoritas orientalis dibayar untuk menghina Islam, mendeformasi kebajikan, dan merekayasa kebenaran”.
Intelektual muda Islam mulai banyak terlibat dalam aktifitas orientalis dengan mengadakan kajian-kajian keilmuwan dan penulisan buku dengan maksud memberikan pencerahan tentang Islam di masa modern, namun tanpa sadar atau tidak telah menggrogoti Islam bagai ulat pemakan rumahnya sendiri. Orientalisme yang banyak digunakan refrensi oleh generasi Islam salah satunya adalah Goldziher, Snouck Hugronje, Arthur Jeffry, Edward Sa`id, Rudi Paret, Samuel Zwemer dan lain-lain. Dikalangan orientalis, Goldziher dikenal sebagai ilmuwan yang cerdas dalam kajian bahasa dan sastra Arab. Dalam penuangan ide dan gagasannya tidak mempedulikan kebenaran dan kevalitan data, bahkan ia menolak data-data objektif yang validitasnya telah disepakati oleh para intelektual dan seringkali melakukan manupulasi beberapa manuskrip atau melakukan kesalahpahaman dan memberikan statement tanpa argumentasi logis. Penolakan tersebut dengan menggunakan data-data yang telah terhimpun dalam buku Al Haywan karya al Damiri, Al ‘Aqdu al Farid, Al Aghani dan kitab-kitab lainnya. Pemikiran orientalis memberikan sugesti, sehingga umat Islam tidak melakukan otokritik terhadap kajian keilmuwan Barat.
Orientalis dapat merubah wajahnya menjadi banyak ragam dan bentuk yang dinamis dari masa kemasa, dari satu kondisi menuju kondisi lainnya. Namun orientalis tidak terlepas dari tujuan utamanya sebagai bentuk pelestarian warisan berfikir yaitu menghancurkan Islam dan masyarakatnya.
Orientalis dan misionaris mempopulerkan ilmu-ilmu sekuler Barat, kebudayaan Barat, kehidupan ala Barat yang lengkap dengan atribut dekadensinya, sehingga umat islam mengkultuskan Barat sebagai gudang ilmu dan pusat segala perkembangan kajian, teknologi, busana, budaya dan sebagai pembaharu dunia menuju peradaban modern.
Sehingga tidak heran pada saat ini dan beberapa tahun kedepan akan semakin banyak generasi muda melupakan dan menghilangkan tradisi keilmuwan sebagai warisan Islam yang seharusnya dijaga. Dan akan bermunculan keluarga-keluarga (orang tua) yang hidup dalam keterasingan dirumah sendiri, karena tidak menguasai budaya, bahasa Barat yang menjadi tolak ukur kemajuan zaman modern.
Hasil kebudayaan Islam akan hilang dinegara yang umatnya mayoritas Islam. Kalau kita lihat kebelakang, kejayaan Islam tentunya akan membuka mata dan fikiran kita – sebenarnya Islam telah menguasai ¾ dunia sejak datangnya Islam, Barat yang notabenenya sebagai negara yang baru berdiri telah banyak relajar dari kejayan Islam pada saat terjadi renaisan sebagai awal kemajuan Barat yang menjajah dan menghancurkan peradaban Islam di Eropa. Sebut saja Cordova sebagai pusat perpustakaan dan keilmuwan dunia saat itu, yang memiliki segudang literatur ilmu yang sangat lengkap. Namur sejarah emas itu, hilang bagai tertelan bumi saat terjadi perang salib yang menghanguskan pusat keilmuwan dunia dengan segala macam peradabannya.
Sejarah yang lain membuktikan, bahwa Islam telah banyak melahirkan pemikir-pemikir seperti, Al Ghazali, shalahuddin al ayyubi, nuruddin zanki, Quthbuddin an Naisaburi, Baha’uddin Qaraqusy, dan banyak lanilla yang tak terhitung jumlahnya, mereka adalah ulama’ sekaligus ahli dalam bidang pemerintahan pada detik-detik dan masa terjadinya perang salib.
Dari ilmuwan Islam-lah para kaum orientalis belajar tentang Islam, namun sayangnya mereka hanya belajar cara untuk menghancurkan Islam sehingga tidak mampu untuk menerangi alam fikiran dan hatinya. Sehingga yang muncul adalah kesalah pahaman terhadap Islam. Begitu pula umat Islam yang bangga terhadap keilmuwan Baratnya, sehingga merasa mendalami Islam, maka yang terjadi adalah anggapan bahwa ajaran-ajaran para ulama’ Islam (salafus sholeh) perlu di dekontruksi, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam masa kini. Umar bin Khattab ra. menyatakan:
“Sesungguhnya kekuatan jaringan Islam akan terburai satu persatu, ketika ada orang yang tumbuh sebagai muslim, namun tidak mengetahui hakikat jahiliyah”[4]

Oleh karena itu, sebagai umat islam yang mengaku beriman dan beraqidah islam haruslah menjaga tradisi keilmuwan islam dengan menjadikan worldview Islam sebagai pijakan dalam menilai dan mengkaji fakta kehidupan yang bersandarkan pada Al Qur’an dan Hadist. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al Jumu’ah: 2-4.
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar.”



[1]Pegiat ITCON Malang
[2]Dr.Adnan M.Wizan, Al Istisyraq wa alMustasyriqun, terjemahan A. Rofiq Z.M, Fathur R.,2003 Akar Gerakan Orientalisme: Dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, hal.1-2
[3]lihat Dr.Ibrahim Khalil Ahmad, Al Mustasyriqun Wal Mubassyirun FilAlamil Arabi Wal Islam, terjemahan oleh Zeyd Aly Amar, 1999, Siasat Misi Kristen dan Orientalis, Jakarta, GIP, hal 7
[4]Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa; ‘Ilm as Suluk,vol.10, hlm.300-304, dalam Misteri kelam Islam dan kemenangan perang salib, penerjemah Asep Sobari Lc. Kalam Aulia Mediatama, 2007, hlm.234.