Sabtu, 27 September 2014

PLURALISME SEBAGAI GLOBAL THEOLOGY



PLURALISME SEBAGAI GLOBAL THEOLOGY
Oleh: Akhmad Hasan Saleh[1]

A.   PENDAHULUAN
Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban terbangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan, maka untuk membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali ilmu-ilmu yang telah lama ditinggalkan. Asal muasal ilmu adalah karena tidak berhentinya berfikir dalam menyelesaikan sekian banyak permasalahan yang dihadapi umat. Berfikir adalah prasyarat untuk menghidupkan ilmu. Karena dengan ilmu dunia akan terkuasai, akhirat dan dunia akhirat sekaligus, maka adalah wajar jika umat islam “dikuasai dunia” alias mundur karena krisis ilmu atau dengan kata lain malas berfikir.
Menegakkan peradaban ilmu berarti mengarahkan kembali framework (cara pandang) pemikiran manusia agar sejalan dengan aturan-aturan Allah. Istilah framework ini menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi disebut sebagai worldview. Jadi membangun peradaban Islam sejatinya bukanlah membangun sarana prasarana fisik dengan label Islam, tapi mereorientasikan wordview pemikiran umat Islam yang mulai mengalamai “kebingungan”, sebagai dasar pandangan dan berfikir.[2] Masalah ini harus kita pikirkan bersama, karena kompleksnya permasalahan pemikiran, khususnya tentang ilmu dan keagamaan saat ini.
Kekeliruan worldview menjadikan kekeliruan dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi sasaran serangan dahsyat Barat terhadap umat Islam saat ini. Sehingga muncul sebutan-sebutan baru untuk umat Islam yang tsiqoh terhadap aqidahnya, sebut saja ekstrim kanan, radikal, fundamental dan terakhir yang sangat memojokkan umat adalah teroris. Sehingga berawal dari sebutan-sebutan itulah umat Islam bersembunyi dibalik tirai abu-abu bahkan berkolaborasi dengan Barat. Bahkan tidak sedikit yang terseret arus westernisasi dengan dalih globalisasi, modern dan segala macam bentuknya.
Sejak Islam menguasai dunia dan ilmu pengetahuan segala bidang, Barat merasa tersingkirkan, sehingga banyak cara yang dilakukan untuk mengusik umat Islam, mulai dari fitnah, kolonialisme, perang dingin, pelabelan dan sebagainya. Penjajahan yang dilakukan oleh Barat tidak akan pernah berhenti selama ada umat Islam yang tidak berprinsip terhadap ajaran-ajaran Islam. Serangan Barat terhadap Islam tentunya menyangkut masalah hukum Islam (wahyu) yang dihadapkan dengan realitas social yang plural, dengan kata lain Barat akan membenturkan prinsip-prinsip Islam misalkan membenturkan wahyu dan akal, nash dan waqi’, antara aqidah dan syariah.
Problematika dalam islam ketika umat terpengaruh dengan prinsip dikhotomi Barat yang membedakan secara ekstrim antara kebenaran subjektif dan objektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual, subjektif-objektif,dan lain-lain.  Pengaruh ini menyebabkan kecenderungan untuk menarik realitas wahyu kedalam realitas sosial yang objektif, artinya bahwa al Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan situasi dan keadaan zaman. Sehingga tidak ada dari kalangan ulama’ yang benar, bahkan imam syafi’i di gugat otoritasnya sebagai ulama ahli fiqh. Hal ini karena telah terjadi liberalisasi pemikiran (kebebasan berfikir), dimana worldview yang bangun tidak memiliki kerangka berfikir yang benar sesuai dengan ajaran Islam dan menjadikan rasionalitas sebagai patokan utamanya. Untuk menghadapi dikotomi yang bangun oleh Barat maka umat Islam harus kembali menggunakan hirarki dan sumber yang berdasarkan otoritas.[3]
B.   Asal Usul Barat Menjadi Sekuler-Liberal
Liberal secara harfiah artinya “bebas” (free), artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). Kemunculan Barat menjadi sekuler tidak terlepas dari sejarah kaum Kristen yang sejak awal mulanya diajarkan untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dengan pemahaman adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya sebagaimana ungkapan Bernard Lewis[4]. Arend Theodor van Leeuwen dalam bukunya Christianity in Word History mencatat, bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa kesan sekularisasi. Persentuhan antara kultur secular Barat dengan kultur tradisional religious di Timur Tengah dan Asia, adalah bermulanya babak baru dalam sejarah kekuasaan sejarah sekularisasi. Sebab kultur secular adalah hadiah Kristen kepada dunia (Christianity’s gift to the world)[5].
Setelah ditelaah kenapa Barat menjadi sekuler? Minimal ada tiga factor penting yang melatarbelakangi, yaitu: trauma sejarah, problematika teks bible, dan problematika teologis Kristen. Tiga hal ini yang menjadi masalah sensitive dalam agama Kristen.
Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages) atau “zaman pertengahan” (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuk pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi yang dominan dalam masyarakat abad ke-14 yang dikenal dengan zaman baru “renaissance” yang artinya “rebirth” (lahir kembali). Gereja mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi, sehingga apapun yang dilakukan oleh gereja adalah benar termasuk dalam memberikan hukuman (persekusi) kejam dan brutal bagi penentang gereja. Di akhir masa kekaisaran Romawi, ketika institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami kehancuran, institusi Gereja semakin kuat dan keanggotaannya semakin meningkat. Namun, dengan dominasi inilah penganut gereja semakin ketakutan ketika metode inquisisi diterapkan untuk melakukan persekusi dan control terhadap masyarakat pada masa itu. Sebagaimana yang ditulis oleh Karen Amstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal [6], yaitu
Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrument terror dalam gereja katolik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh gereja protestan untuk melakukan persekusi dan krontrol terhadap kaum katolik di Negara-negara mereka”.
Dengan kekuasaan inquisisi itulah, beberapa dari kalangan gereja bertentangan dengan persekusi yang diterapkan, kemudian mencoba untuk memisahkan diri dengan kaum gereja fanatic. Terjadinya pertentangan dikalangan gereja melahirkan permasalahan-permasalahan yang kompleks, sehingga muncul untuk berfikir bebas (liberal).
C.    Pengaruh Sekuralisasi-Liberalisasi pada Islam
Pemikiran liberal yang dikembangkan oleh kelompok gereja telah memberikan sumbangan terbesar pada permasalahan dunia saat ini, khususnya pada agama-agama. Permasalahan liberalism yang muncul saat ini lebih mengantarkan manusia pada kesatuan transenden (ketidakjelasan) semua agama. Yang didasarkan pada berbagai kebenaran yang diyakini memiliki tingkat keshahihan yang sama. Liberalisme ini pula yang menjadikan manusia untuk tidak lagi fanatic terhadap agama dan memiliki pemahaman relative terhadap aspek luar yang terdapat pada agama. Para kaum transenden selalu akan memberi pemahaman bahwa aspek-aspek ritual keagamaan yang berbeda tidak terlalu penting karenanya merupakan tingkatan yang paling rendah dari pengalaman seseorang, namun yang lebih penting adalah persamaan akan keyakinan terhadap suatu tingkatan yang paling tinggi yaitu sama-sama menuju dan menyembah pada Tuhan. Pemahaman ini telah banyak mempengaruhi umat agama-agama di dunia, sehingga banyak dari mereka yang tanpa sadar telah mengkaburkan pemahaman dirinya terhadap agama yang dianut, hal ini juga dialami oleh kebanyakan umat Islam, baik kalangan awam maupun para sarjana-sarjana muslim (baca: sekuler).
Sadar atau tidak disadari mereka tengah memasarkan paham relativisme, hedonisme dan kebebasan (liberalisme). Ketika Aminah Wadud menjadi imam Jumat di sebuah gereja di Amerika, ia tidak sedang mengaplikasikan ijtihad Fiqhiyyahnya. Ia tengah memasarkan paham gender dan feminisme. Pernyataan seorang anak muda Muslim “semua agama sama benarnya”, “tidak ada syariat Islam, tidak ada hukum Tuhan”, bukan pernyataan tentang teologi atau syariat Islam, tapi pelaksanaan proyek globalisasi biaya tinggi. Buku berjudul “Fiqih Lintas Agama” yang terbit beberapa tahun yang lalu, bukan buku bacaan tentang Fiqih, tapi buku “pesanan” untuk proyek pluralisme agama.
Betulkah mereka bermaksud begitu? Tentu tidak menurut mereka. Tapi betul menurut teori pemikiran Barat postmodern. Dalam bahasa Gadamer itu disebut effective historical consciousness (kesadaran kesejarahan yang efektif). Mereka memahami realitas segala sesuatu sebatas ruang dan waktu kekinian saja. Mungkin, secara pejoratif bisa disebut ghirah tarikhiyyah, yang tidak sejalan bahkan menggeser dan menggusur ghirah diniyyah..
Menurut bacaan Habermas memang betul begitu. Sebab segala sesuatu harus dipahami berdasarkan motif kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest). Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak dikalangan aktifis liberal dan postmodernis. Mereka sendiri memahami Islam dengan cara yang sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan dan kekuasaan. Dan karena itu mereka tidak merasa bersalah jika memahami Islam juga untuk kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh saya katakan, politik pemikiran.
Benarkah pemikiran liberal itu sarat kepentingan? Benar ! sebab liberal adalah posmodernis, tulis Akbar S Ahmed, adalah pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes terhadap tradisi, dan cara berfikirnya eklektik (Akbar S. Ahmed, Postmodernism). Pemikiran bukan untuk pengetahuan, tapi untuk kepentingan (kekuasaan atau politik). Buktinya dari pemikiran mereka tiba-tiba menggalang komunitas, gerakan sosial dan bahkan menjelma menjadi pressure group. Demi “memasarkan” paham pluralisme agama, misalnya, pertama-tama mereka menolak adanya kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran relatif. Kepentingannya adalah untuk menghilangkan fundamentalisme dan sikap merasa benar.[7]
Pemahaman yang muncul dengan konsep liberalisasi pemikiran adalah penyamaan kebenaran atas agama-agama, dengan dalih bahwa toleransi terhadap kebenaran yang dianut oleh agama-agama. Hal ini kemudian dinamakan dengan pluralism agama. Namun menurut pakar pluralism Barat Diana L.Eck seorang direktur The Pluralism Project dari Universitas Harvard bahwa pluralism lebih dari sekedar toleransi, karena penekanan pluralism lebih pada kesamaan atau kesetaraan (equality).[8] Dalam konsep ini manusia dipaksa untuk mengakui kesamaan terhadap segala hal termasuk beragama, setiap pemeluk agama harus memandang sama terhadap semua agama dan pemeluknya.
Jika seorang muslim berfikir demikian inilah yang menurut penulis dinamakan dengan qouvadis pemikiran. Sedangkan Islam dalam pemahamannya juga telah memberikan dikotomi: halal-haram, iman-kufur, suci-najis dan sebagainya. Namun dalam dikotomi Islam telah memiliki makna yang jelas sesuai dengan criteria yang telah dijelaskan dalam Al Quran dan Hadits. Dalam hubungannya dengan agama, Islam telah memberikan rambu-rambu bahwa lakum dinukum wal yadin. Artinya tidak ada kesamaan dalam agama masalah tentang kebenaran. Pemahaman ketuhanan yang dianut Islam tentunya bersifat absolute, termasuk dalam hokum-hukum ritual tertentu, seperti iman pada malaikat, kitab, Rasul, sholat, puasa dan lainnya.
Sedangkan pemahaman terhadap hal-hal diluar aqidah bisa jadi banyak penafsiran-penafsiran berbeda dikalangan para ulama selama tidak bertentangan dengan qowaid fil islamiyah. Namun saat ini banyak kalangan “ilmuwan muda Islam” mengikuti pemikiran yang dikembangkan oleh Barat dengan mengedepankan rasionalitas sebagaimana yang telah lama ditanam oleh para filsof Barat dalam mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi pada lingkungannya, yaitu dengan mengedepankan keragu-raguan dalam menemukan sebuah kebenaran. Dalam Islam tidak dikenal bahkan dilarang, jika keragu-raguan (syak) yang berada diantara dua kutub yang berlawanan, didalamnya seseorang itu tidak cenderung pada salah satu diantara keduanya, jika cenderung pada yang satu, tetapi ketika yang sama tidak menolak satunya lagi; yang kemudian darinya dijadikan dasar untuk menemukan sebuah kebenaran. Keragu-raguan dapat menggiring manusia pada suatu dugaan (dzaan) atau belantara keragu-raguan yang lebih jauh, maka jelas tidak pernah dapat menemukan suatu kebenaran.
Pemikiran yang dikembangkan Barat dikenal dengan quovadis dan relativisme. Jika qouvadis pemikiran dianut akan memunculkan sikap relativisme yang pada akhirnya pluralism agama yang berkembang. Maka semua pemikiran keagamaan akan menjadi relatif, yang mutlak hanyalah agama dan yang tahu agama hanya Tuhan. Siapapun boleh berfikir tentang apapun dalam soal agama. Tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada yang berhak menyalahkan pemikiran orang lain, tidak ada yang bisa mencegah kemunkaran. Tidak ada lembaga atau kelompok yang boleh mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Baik buruk, salah benar tergantung kepada individu. Semua bebas. Inilah politik pemikiran. Jika target ini tercapai, maka paham teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) akan menemukan jalannya menembus semua agama. Inilah kepentingan Barat untuk melakukan confusion (pengkaburan) pemikiran terhadap umat Islam.
Jika dibaca dengan cermat buku-buku seperti Clash of Civilizations, karya S.Huntington, Who Are We, karya Bernad Lewis, When Religions Become Evil, karya Richard Kimbal, The End of History, karya Fukuyama, Islam Unveiled: Disturbing Question About the World’s Fastest-Growing Faith, karya Robert Spencer dan lain-lain mengandung fakta-fakta pemikiran yang berimplikasi pada worldview. Jika pembaca kurang kritis terhadap buku-buku tersebut, maka akan menilai positif. Mungkin alasannya karena asumsinya baru, analisanya tajam, argumentasinya valid, pertanyaan-pertanyaannya menantang untuk dijawab dan lain sebagainya. Tapi jika ia mencermati implikasinya dalam semua asumsi, analisa dan argumentasinya maka ia akan menilai dengan sikap sebaliknya.[9]
Karena tidak semua orang dapat menemukan hubungan antara pemikiran dan tujuan dibaliknya, maka tidak heran jika diantara umat Islam ada yang bersikap apatis terhadap wacana-wacana pemikiran yang dikenal “liberal” itu.  Padahal pemikiran yang demikian yang kemudian akan membawa pada worldview yang salah (baca: Barat).
Faktanya yang terjadi adalah muslim pendukung Barat dipromosikan media masa menjadi tokoh baru. Kini istilah civil socity (masyarakat beradab) sudah sering keluar mulut cendekiawan Muslim dan akrab ditelinga mahasiswa.  Konsep civil socity pun dianggap sepadan dengan konsep masyarakat madani. Modernis dan Liberal Muslim pendukung Barat adalah pembela aliran “sesat”, atau aliran-aliran sempalan. Muslim yang tidak sejalan dengan liberal, sekuler, demokrasi Barat, akan segera dicap teroris, fundamentalis dan anti Barat. LSM-LSM kini tidak lagi berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, tapi lebih kepada pembaratan masyarakat. Proposal proyek untuk “mengekspor” kemiskinan masyarakat ke Negara-negara Barat tidak laku lagi.[10] Sementara  proposal, kajian, penelitian untuk menjual paham masyarakat sipil, demokrasi, gender, liberalisme, pluralisme agama, multikulturalisme dan semacamnya tidak lagi mencari bantuan Barat, tapi dicari-cari Barat untuk dibantu melalui foundation-foundation yang menjadi sekutunya. Bahkan yang paling keras mengkritik ajaran Islam dan tradisi pemikiran Islam serta membawa gagasan-gagasan “aneh”, kini mudah mendapat dana dan beasiswa dari Barat. Inilah barangkali yang disindir al-Baqarah (Q.S. 2:41, 79, 173), Ali Imran (Q.S. 3:77,187, 199), al-Mai’dah (Q.S. 9:44),  al-Tawbah (Q.S. 9:9) dan al-Nahl (Q.S. 16: 95).  Meraka telah “menjual” ayat-ayat Tuhan dengan harga murah. Wallahu a’lam bissawaf.


[1] Pegiat ITCON Malang
[2] Framework adalah cara pandang. Epistemologi Islam dan Problem Pemikiran Muslim Kontemporer, Islamia, Jakarta, Thn II No.5 April-Juni 2005.
[3] Ibid.
[4] Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Midlle Eastern Response, London, Phoenix, 2002.
[5] Kumpulan makalah diskusi sabtuan Insists, Jakarta, 2007.
[6] Karen Amstrong, Holy War….lihat, Ibid.
[7] Hamid Fahmi Zarkasyi, Politik Pemikiran, www.insistsnet.com
[8] Anis Malik Toha, Pluralisme: Kerancuan Istilah dan Pemahaman, www.insistsnet.com
[9] Opcid
[10] Ibid.

BARAT DAN LIBERALISME ISLAM



BARAT DAN LIBERALISME ISLAM
Oleh: Akhmad Hasan Saleh[1]

A.   PENDAHULUAN
Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban terbangun dan tegak berbasiskan ilmu pengetahuan, maka untuk membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali ilmu-ilmu yang telah lama ditinggalkan. Asal muasal ilmu adalah karena tidak berhentinya berfikir dalam menyelesaikan sekian banyak permasalahan yang dihadapi umat. Berfikir adalah prasyarat untuk menghidupkan ilmu. Karena dengan ilmu dunia akan terkuasai, akhirat dan dunia akhirat sekaligus, maka adalah wajar jika umat islam “dikuasai dunia” alias mundur karena krisis ilmu atau dengan kata lain malas berfikir.
Menegakkan peradaban ilmu berarti mengarahkan kembali framework (cara pandang) pemikiran manusia agar sejalan dengan aturan-aturan Allah. Istilah framework ini menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi disebut sebagai worldview, yang memiliki makna mendalam daripada hanya sekedar framework. Worldview merupakan padangan menyeluruh segala aspek kehidupan yang bersandarkan pada ilmu, adab dan ilahiyah. Masih menurut Dr. Hamid, jadi membangun peradaban Islam sejatinya bukanlah membangun sarana prasarana fisik dengan label Islam, tapi mereorientasikan wordview pemikiran umat Islam yang mulai mengalami “kebingungan”, sebagai dasar pandangan dan berfikir.[2] Masalah ini harus kita pikirkan bersama, karena kompleksnya permasalahan pemikiran, khususnya tentang ilmu dan keagamaan saat ini.
Kekeliruan worldview menjadikan kekeliruan dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi sasaran serangan dahsyat Barat terhadap umat Islam saat ini. Sehingga muncul sebutan-sebutan baru untuk umat Islam yang tsiqoh terhadap aqidahnya, sebut saja ekstrim kanan, radikal, fundamental dan terakhir yang sangat memojokkan umat adalah teroris. Sehingga berawal dari sebutan-sebutan itulah sebagian umat Islam bersembunyi dibalik tirai abu-abu bahkan berkolaborasi dengan Barat. Bahkan tidak sedikit yang terseret arus westernisasi dengan dalih globalisasi, modern dan segala macam bentuknya.
Sejak Islam menguasai dunia dan ilmu pengetahuan segala bidang, Barat merasa tersingkirkan, sehingga banyak cara yang dilakukan untuk mengusik umat Islam, mulai dari fitnah, kolonialisme, perang dingin, pelabelan dan sebagainya. Penjajahan yang dilakukan oleh Barat tidak akan pernah berhenti selama ada umat Islam yang tidak berprinsip terhadap ajaran-ajaran Islam. Serangan Barat terhadap Islam tentunya menyangkut masalah hukum Islam (wahyu) yang dihadapkan dengan realitas social yang plural, dengan kata lain Barat akan membenturkan prinsip-prinsip Islam misalkan membenturkan wahyu dan akal, nash dan waqi’, antara aqidah dan syariah.
Problematika dalam islam ketika umat terpengaruh dengan prinsip dikhotomi Barat yang membedakan secara ekstrim antara kebenaran subjektif dan objektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual, subjektif-objektif, dan lain-lain.  Pengaruh ini menyebabkan kecenderungan untuk menarik realitas wahyu kedalam realitas sosial yang objektif, artinya bahwa al Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan situasi dan keadaan zaman. Sehingga tidak ada dari kalangan ulama’ yang benar, bahkan imam syafi’i di gugat otoritasnya sebagai ulama ahli fiqh. Hal ini karena telah terjadi liberalisasi pemikiran (kebebasan berfikir), dimana worldview yang bangun tidak memiliki kerangka berfikir yang benar sesuai dengan ajaran Islam dan menjadikan rasionalitas sebagai patokan utamanya. Untuk menghadapi dikotomi yang bangun oleh Barat maka umat Islam harus kembali menggunakan hirarki dan sumber yang berdasarkan otoritas.[3]
B.   Asal Usul Barat Menjadi Sekuler-Liberal
Liberal secara harfiah artinya “bebas” (free), artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). Kemunculan Barat menjadi sekuler tidak terlepas dari sejarah kaum Kristen yang sejak awal mulanya diajarkan untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dengan pemahaman adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya sebagaimana ungkapan Bernard Lewis[4]. Arend Theodor van Leeuwen dalam bukunya Christianity in Word History mencatat, bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa kesan sekularisasi. Persentuhan antara kultur secular Barat dengan kultur tradisional religious di Timur Tengah dan Asia, adalah bermulanya babak baru dalam sejarah kekuasaan sejarah sekularisasi. Sebab kultur secular adalah hadiah Kristen kepada dunia (Christianity’s gift to the world)[5].
Setelah ditelaah kenapa Barat menjadi sekuler? Minimal ada tiga factor penting yang melatarbelakangi, yaitu: trauma sejarah, problematika teks bible, dan problematika teologis Kristen. Tiga hal ini yang menjadi masalah sensitive dalam agama Kristen.
Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman kegelapan” (the dark ages) atau “zaman pertengahan” (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuk pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi yang dominan dalam masyarakat abad ke-14 yang dikenal dengan zaman baru “renaissance” yang artinya “rebirth” (lahir kembali). Gereja mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi, sehingga apapun yang dilakukan oleh gereja adalah benar termasuk dalam memberikan hukuman (persekusi) kejam dan brutal bagi penentang gereja. Di akhir masa kekaisaran Romawi, ketika institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami kehancuran, institusi Gereja semakin kuat dan keanggotaannya semakin meningkat. Namun, dengan dominasi inilah penganut gereja semakin ketakutan ketika metode inquisisi diterapkan untuk melakukan persekusi dan control terhadap masyarakat pada masa itu. Sebagaimana yang ditulis oleh Karen Amstrong, mantan biarawati dan penulis terkenal [6], yaitu
Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrument terror dalam gereja katolik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh gereja protestan untuk melakukan persekusi dan krontrol terhadap kaum katolik di Negara-negara mereka”.
Dengan kekuasaan inquisisi itulah, beberapa dari kalangan gereja bertentangan dengan persekusi yang diterapkan, kemudian mencoba untuk memisahkan diri dengan kaum gereja fanatic. Terjadinya pertentangan dikalangan gereja melahirkan permasalahan-permasalahan yang kompleks, sehingga muncul untuk berfikir bebas (liberal).
C.    Pengaruh Sekuralisasi-Liberalisasi pada Islam
Pemikiran liberal yang dikembangkan oleh kelompok gereja telah memberikan sumbangan terbesar pada permasalahan dunia saat ini, khususnya pada agama-agama. Permasalahan liberalism yang muncul saat ini lebih mengantarkan manusia pada kesatuan transenden (ketidakjelasan) semua agama. Yang didasarkan pada berbagai kebenaran yang diyakini memiliki tingkat keshahihan yang sama. Liberalisme ini pula yang menjadikan manusia untuk tidak lagi fanatic terhadap agama dan memiliki pemahaman relative terhadap aspek luar yang terdapat pada agama. Para kaum transenden selalu akan memberi pemahaman bahwa aspek-aspek ritual keagamaan yang berbeda tidak terlalu penting karenanya merupakan tingkatan yang paling rendah dari pengalaman seseorang, namun yang lebih penting adalah persamaan akan keyakinan terhadap suatu tingkatan yang paling tinggi yaitu sama-sama menuju dan menyembah pada Tuhan. Pemahaman ini telah banyak mempengaruhi umat agama-agama di dunia, sehingga banyak dari mereka yang tanpa sadar telah mengkaburkan pemahaman dirinya terhadap agama yang dianut, hal ini juga dialami oleh kebanyakan umat Islam, baik kalangan awam maupun para sarjana-sarjana muslim (baca: sekuler).
Sadar atau tidak disadari mereka tengah memasarkan paham relativisme, hedonisme dan kebebasan (liberalisme). Ketika Aminah Wadud menjadi imam Jumat di sebuah gereja di Amerika, ia tidak sedang mengaplikasikan ijtihad Fiqhiyyahnya. Ia tengah memasarkan paham gender dan feminisme. Pernyataan seorang anak muda Muslim “semua agama sama benarnya”, “tidak ada syariat Islam, tidak ada hukum Tuhan”, bukan pernyataan tentang teologi atau syariat Islam, tapi pelaksanaan proyek globalisasi biaya tinggi. Buku berjudul “Fiqih Lintas Agama” yang terbit beberapa tahun yang lalu, bukan buku bacaan tentang Fiqih, tapi buku “pesanan” untuk proyek pluralisme agama.
Betulkah mereka bermaksud begitu? Tentu tidak menurut mereka. Tapi betul menurut teori pemikiran Barat postmodern. Dalam bahasa Gadamer itu disebut effective historical consciousness (kesadaran kesejarahan yang efektif). Mereka memahami realitas segala sesuatu sebatas ruang dan waktu kekinian saja. Mungkin, secara pejoratif bisa disebut ghirah tarikhiyyah, yang tidak sejalan bahkan menggeser dan menggusur ghirah diniyyah..
Menurut bacaan Habermas memang betul begitu. Sebab segala sesuatu harus dipahami berdasarkan motif kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest). Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak dikalangan aktifis liberal dan postmodernis. Mereka sendiri memahami Islam dengan cara yang sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan dan kekuasaan. Dan karena itu mereka tidak merasa bersalah jika memahami Islam juga untuk kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh saya katakan, politik pemikiran.
Benarkah pemikiran liberal itu sarat kepentingan? Benar ! sebab liberal adalah posmodernis, tulis Akbar S Ahmed, adalah pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes terhadap tradisi, dan cara berfikirnya eklektik (Akbar S. Ahmed, Postmodernism). Pemikiran bukan untuk pengetahuan, tapi untuk kepentingan (kekuasaan atau politik). Buktinya dari pemikiran mereka tiba-tiba menggalang komunitas, gerakan sosial dan bahkan menjelma menjadi pressure group. Demi “memasarkan” paham pluralisme agama, misalnya, pertama-tama mereka menolak adanya kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran relatif. Kepentingannya adalah untuk menghilangkan fundamentalisme dan sikap merasa benar.[7]
Pemahaman yang muncul dengan konsep liberalisasi pemikiran adalah penyamaan kebenaran atas agama-agama, dengan dalih bahwa toleransi terhadap kebenaran yang dianut oleh agama-agama. Hal ini kemudian dinamakan dengan pluralism agama. Namun menurut pakar pluralism Barat Diana L.Eck seorang direktur The Pluralism Project dari Universitas Harvard bahwa pluralism lebih dari sekedar toleransi, karena penekanan pluralism lebih pada kesamaan atau kesetaraan (equality).[8] Dalam konsep ini manusia dipaksa untuk mengakui kesamaan terhadap segala hal termasuk beragama, setiap pemeluk agama harus memandang sama terhadap semua agama dan pemeluknya.
Jika seorang muslim berfikir demikian inilah yang menurut penulis dinamakan dengan qouvadis pemikiran. Sedangkan Islam dalam pemahamannya juga telah memberikan dikotomi: halal-haram, iman-kufur, suci-najis dan sebagainya. Namun dalam dikotomi Islam telah memiliki makna yang jelas sesuai dengan criteria yang telah dijelaskan dalam Al Quran dan Hadits. Dalam hubungannya dengan agama, Islam telah memberikan rambu-rambu bahwa lakum dinukum wal yadin. Artinya tidak ada kesamaan dalam agama masalah tentang kebenaran. Pemahaman ketuhanan yang dianut Islam tentunya bersifat absolute, termasuk dalam hokum-hukum ritual tertentu, seperti iman pada malaikat, kitab, Rasul, sholat, puasa dan lainnya.
Sedangkan pemahaman terhadap hal-hal diluar aqidah bisa jadi banyak penafsiran-penafsiran berbeda dikalangan para ulama selama tidak bertentangan dengan qowaid fil islamiyah. Namun saat ini banyak kalangan “ilmuwan muda Islam” mengikuti pemikiran yang dikembangkan oleh Barat dengan mengedepankan rasionalitas sebagaimana yang telah lama ditanam oleh para filsof Barat dalam mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi pada lingkungannya, yaitu dengan mengedepankan keragu-raguan dalam menemukan sebuah kebenaran. Dalam Islam tidak dikenal bahkan dilarang, jika keragu-raguan (syak) yang berada diantara dua kutub yang berlawanan, didalamnya seseorang itu tidak cenderung pada salah satu diantara keduanya, jika cenderung pada yang satu, tetapi ketika yang sama tidak menolak satunya lagi; yang kemudian darinya dijadikan dasar untuk menemukan sebuah kebenaran. Keragu-raguan dapat menggiring manusia pada suatu dugaan (dzaan) atau belantara keragu-raguan yang lebih jauh, maka jelas tidak pernah dapat menemukan suatu kebenaran.
Pemikiran yang dikembangkan Barat dikenal dengan quovadis dan relativisme. Jika qouvadis pemikiran dianut akan memunculkan sikap relativisme yang pada akhirnya pluralism agama yang berkembang. Maka semua pemikiran keagamaan akan menjadi relatif, yang mutlak hanyalah agama dan yang tahu agama hanya Tuhan. Siapapun boleh berfikir tentang apapun dalam soal agama. Tidak ada kebenaran mutlak, tidak ada yang berhak menyalahkan pemikiran orang lain, tidak ada yang bisa mencegah kemunkaran. Tidak ada lembaga atau kelompok yang boleh mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan. Baik buruk, salah benar tergantung kepada individu. Semua bebas. Inilah politik pemikiran. Jika target ini tercapai, maka paham teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) akan menemukan jalannya menembus semua agama. Inilah kepentingan Barat untuk melakukan confusion (pengkaburan) pemikiran terhadap umat Islam.
Jika dibaca dengan cermat buku-buku seperti Clash of Civilizations, karya S.Huntington, Who Are We, karya Bernad Lewis, When Religions Become Evil, karya Richard Kimbal, The End of History, karya Fukuyama, Islam Unveiled: Disturbing Question About the World’s Fastest-Growing Faith, karya Robert Spencer dan lain-lain mengandung fakta-fakta pemikiran yang berimplikasi pada worldview. Jika pembaca kurang kritis terhadap buku-buku tersebut, maka akan menilai positif. Mungkin alasannya karena asumsinya baru, analisanya tajam, argumentasinya valid, pertanyaan-pertanyaannya menantang untuk dijawab dan lain sebagainya. Tapi jika ia mencermati implikasinya dalam semua asumsi, analisa dan argumentasinya maka ia akan menilai dengan sikap sebaliknya.[9]
Karena tidak semua orang dapat menemukan hubungan antara pemikiran dan tujuan dibaliknya, maka tidak heran jika diantara umat Islam ada yang bersikap apatis terhadap wacana-wacana pemikiran yang dikenal “liberal” itu.  Padahal pemikiran yang demikian yang kemudian akan membawa pada worldview yang salah (baca: Barat).
Faktanya yang terjadi adalah muslim pendukung Barat dipromosikan media masa menjadi tokoh baru. Kini istilah civil socity (masyarakat beradab) sudah sering keluar mulut cendekiawan Muslim dan akrab ditelinga mahasiswa.  Konsep civil socity pun dianggap sepadan dengan konsep masyarakat madani. Modernis dan Liberal Muslim pendukung Barat adalah pembela aliran “sesat”, atau aliran-aliran sempalan. Muslim yang tidak sejalan dengan liberal, sekuler, demokrasi Barat, akan segera dicap teroris, fundamentalis dan anti Barat. LSM-LSM kini tidak lagi berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, tapi lebih kepada pembaratan masyarakat. Proposal proyek untuk “mengekspor” kemiskinan masyarakat ke Negara-negara Barat tidak laku lagi.[10] Sementara  proposal, kajian, penelitian untuk menjual paham masyarakat sipil, demokrasi, gender, liberalisme, pluralisme agama, multikulturalisme dan semacamnya tidak lagi mencari bantuan Barat, tapi dicari-cari Barat untuk dibantu melalui foundation-foundation yang menjadi sekutunya. Bahkan yang paling keras mengkritik ajaran Islam dan tradisi pemikiran Islam serta membawa gagasan-gagasan “aneh”, kini mudah mendapat dana dan beasiswa dari Barat. Inilah barangkali yang disindir al-Baqarah (Q.S. 2:41, 79, 173), Ali Imran (Q.S. 3:77,187, 199), al-Mai’dah (Q.S. 9:44),  al-Tawbah (Q.S. 9:9) dan al-Nahl (Q.S. 16: 95).  Meraka telah “menjual” ayat-ayat Tuhan dengan harga murah. Wallahu a’lam bissawaf.


[1] Pegiat ITCON Malang
[2] Framework adalah cara pandang. Epistemologi Islam dan Problem Pemikiran Muslim Kontemporer, Islamia, Jakarta, Thn II No.5 April-Juni 2005.
[3] Ibid.
[4] Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Midlle Eastern Response, London, Phoenix, 2002.
[5] Kumpulan makalah diskusi sabtuan Insists, Jakarta, 2007.
[6] Karen Amstrong, Holy War….lihat, Ibid.
[7] Hamid Fahmi Zarkasyi, Politik Pemikiran, www.insistsnet.com
[8] Anis Malik Toha, Pluralisme: Kerancuan Istilah dan Pemahaman, www.insistsnet.com
[9] Opcid
[10] Ibid.