PLURALISME
SEBAGAI GLOBAL THEOLOGY
Oleh: Akhmad Hasan Saleh[1]
A.
PENDAHULUAN
Sejarah
telah membuktikan bahwa peradaban terbangun dan tegak berbasiskan ilmu
pengetahuan, maka untuk membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris
lumpuh adalah dengan menegakkan kembali ilmu-ilmu yang telah lama ditinggalkan.
Asal muasal ilmu adalah karena tidak berhentinya berfikir dalam menyelesaikan
sekian banyak permasalahan yang dihadapi umat. Berfikir adalah prasyarat untuk
menghidupkan ilmu. Karena dengan ilmu dunia akan terkuasai, akhirat dan dunia
akhirat sekaligus, maka adalah wajar jika umat islam “dikuasai dunia” alias
mundur karena krisis ilmu atau dengan kata lain malas berfikir.
Menegakkan
peradaban ilmu berarti mengarahkan kembali framework
(cara pandang) pemikiran manusia agar sejalan dengan aturan-aturan Allah. Istilah
framework ini menurut Dr. Hamid Fahmi
Zarkasyi disebut sebagai worldview.
Jadi membangun peradaban Islam sejatinya bukanlah membangun sarana prasarana
fisik dengan label Islam, tapi mereorientasikan wordview pemikiran umat Islam yang
mulai mengalamai “kebingungan”, sebagai dasar pandangan dan berfikir.[2]
Masalah ini harus kita pikirkan bersama, karena kompleksnya permasalahan pemikiran,
khususnya tentang ilmu dan keagamaan saat ini.
Kekeliruan
worldview menjadikan kekeliruan dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul
dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi sasaran serangan dahsyat Barat
terhadap umat Islam saat ini. Sehingga muncul sebutan-sebutan baru untuk umat
Islam yang tsiqoh terhadap aqidahnya,
sebut saja ekstrim kanan, radikal, fundamental dan terakhir yang sangat
memojokkan umat adalah teroris. Sehingga berawal dari sebutan-sebutan itulah
umat Islam bersembunyi dibalik tirai abu-abu bahkan berkolaborasi dengan Barat.
Bahkan tidak sedikit yang terseret arus westernisasi dengan dalih globalisasi,
modern dan segala macam bentuknya.
Sejak
Islam menguasai dunia dan ilmu pengetahuan segala bidang, Barat merasa
tersingkirkan, sehingga banyak cara yang dilakukan untuk mengusik umat Islam,
mulai dari fitnah, kolonialisme, perang dingin, pelabelan dan sebagainya.
Penjajahan yang dilakukan oleh Barat tidak akan pernah berhenti selama ada umat
Islam yang tidak berprinsip terhadap ajaran-ajaran Islam. Serangan Barat
terhadap Islam tentunya menyangkut masalah hukum Islam (wahyu) yang dihadapkan
dengan realitas social yang plural, dengan kata lain Barat akan membenturkan
prinsip-prinsip Islam misalkan membenturkan wahyu dan akal, nash dan waqi’,
antara aqidah dan syariah.
Problematika
dalam islam ketika umat terpengaruh dengan prinsip dikhotomi Barat yang
membedakan secara ekstrim antara kebenaran subjektif dan objektif, historis-normatif,
tekstual-kontekstual, subjektif-objektif,dan lain-lain. Pengaruh ini menyebabkan kecenderungan untuk
menarik realitas wahyu kedalam realitas sosial yang objektif, artinya bahwa al
Qur’an harus ditafsirkan sesuai dengan situasi dan keadaan zaman. Sehingga
tidak ada dari kalangan ulama’ yang benar, bahkan imam syafi’i di gugat
otoritasnya sebagai ulama ahli fiqh. Hal ini karena telah terjadi liberalisasi
pemikiran (kebebasan berfikir), dimana worldview yang bangun tidak memiliki
kerangka berfikir yang benar sesuai dengan ajaran Islam dan menjadikan rasionalitas
sebagai patokan utamanya. Untuk menghadapi dikotomi yang bangun oleh Barat maka
umat Islam harus kembali menggunakan hirarki dan sumber yang berdasarkan
otoritas.[3]
B.
Asal
Usul Barat Menjadi Sekuler-Liberal
Liberal
secara harfiah artinya “bebas” (free), artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). Kemunculan Barat
menjadi sekuler tidak terlepas dari sejarah kaum Kristen yang sejak awal
mulanya diajarkan untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dengan pemahaman
adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya sebagaimana ungkapan Bernard Lewis[4].
Arend Theodor van Leeuwen dalam bukunya Christianity
in Word History mencatat, bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa kesan
sekularisasi. Persentuhan antara kultur secular Barat dengan kultur tradisional
religious di Timur Tengah dan Asia, adalah bermulanya babak baru dalam sejarah
kekuasaan sejarah sekularisasi. Sebab kultur secular adalah hadiah Kristen
kepada dunia (Christianity’s gift to the
world)[5].
Setelah
ditelaah kenapa Barat menjadi sekuler? Minimal ada tiga factor penting yang
melatarbelakangi, yaitu: trauma sejarah, problematika teks bible, dan
problematika teologis Kristen. Tiga hal ini yang menjadi masalah sensitive
dalam agama Kristen.
Dalam
perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western
Civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut “zaman
kegelapan” (the dark ages) atau
“zaman pertengahan” (the medieval ages).
Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuk pada tahun 476 dan mulai
munculnya Gereja Kristen sebagai institusi yang dominan dalam masyarakat abad ke-14
yang dikenal dengan zaman baru “renaissance”
yang artinya “rebirth” (lahir
kembali). Gereja mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi,
sehingga apapun yang dilakukan oleh gereja adalah benar termasuk dalam
memberikan hukuman (persekusi) kejam dan brutal bagi penentang gereja. Di akhir
masa kekaisaran Romawi, ketika institusi-institusi kenegaraan Romawi mengalami
kehancuran, institusi Gereja semakin kuat dan keanggotaannya semakin meningkat.
Namun, dengan dominasi inilah penganut gereja semakin ketakutan ketika metode
inquisisi diterapkan untuk melakukan persekusi dan control terhadap masyarakat
pada masa itu. Sebagaimana yang ditulis oleh Karen Amstrong, mantan biarawati
dan penulis terkenal [6],
yaitu
“Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa
salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang
merupakan instrument terror dalam gereja katolik sampai dengan akhir abad ke-17.
Metode inquisisi ini juga digunakan oleh gereja protestan untuk melakukan
persekusi dan krontrol terhadap kaum katolik di Negara-negara mereka”.
Dengan
kekuasaan inquisisi itulah, beberapa dari kalangan gereja bertentangan dengan persekusi
yang diterapkan, kemudian mencoba untuk memisahkan diri dengan kaum gereja
fanatic. Terjadinya pertentangan dikalangan gereja melahirkan
permasalahan-permasalahan yang kompleks, sehingga muncul untuk berfikir bebas
(liberal).
C.
Pengaruh
Sekuralisasi-Liberalisasi pada Islam
Pemikiran
liberal yang dikembangkan oleh kelompok gereja telah memberikan sumbangan
terbesar pada permasalahan dunia saat ini, khususnya pada agama-agama.
Permasalahan liberalism yang muncul saat ini lebih mengantarkan manusia pada
kesatuan transenden (ketidakjelasan) semua agama. Yang didasarkan pada berbagai
kebenaran yang diyakini memiliki tingkat keshahihan yang sama. Liberalisme ini
pula yang menjadikan manusia untuk tidak lagi fanatic terhadap agama dan
memiliki pemahaman relative terhadap aspek luar yang terdapat pada agama. Para
kaum transenden selalu akan memberi pemahaman bahwa aspek-aspek ritual
keagamaan yang berbeda tidak terlalu penting karenanya merupakan tingkatan yang
paling rendah dari pengalaman seseorang, namun yang lebih penting adalah
persamaan akan keyakinan terhadap suatu tingkatan yang paling tinggi yaitu sama-sama
menuju dan menyembah pada Tuhan. Pemahaman ini telah banyak mempengaruhi umat
agama-agama di dunia, sehingga banyak dari mereka yang tanpa sadar telah
mengkaburkan pemahaman dirinya terhadap agama yang dianut, hal ini juga dialami
oleh kebanyakan umat Islam, baik kalangan awam maupun para sarjana-sarjana
muslim (baca: sekuler).
Sadar atau tidak disadari
mereka tengah memasarkan paham relativisme, hedonisme dan kebebasan
(liberalisme). Ketika Aminah Wadud menjadi imam Jumat di sebuah gereja di
Amerika, ia tidak sedang mengaplikasikan ijtihad Fiqhiyyahnya. Ia tengah
memasarkan paham gender dan feminisme. Pernyataan seorang anak muda Muslim
“semua agama sama benarnya”, “tidak ada syariat Islam, tidak ada hukum Tuhan”,
bukan pernyataan tentang teologi atau syariat Islam, tapi pelaksanaan proyek
globalisasi biaya tinggi. Buku berjudul “Fiqih Lintas Agama” yang terbit beberapa
tahun yang lalu, bukan buku bacaan tentang Fiqih, tapi buku “pesanan” untuk
proyek pluralisme agama.
Betulkah mereka bermaksud
begitu? Tentu tidak menurut mereka. Tapi betul menurut teori pemikiran Barat
postmodern. Dalam bahasa Gadamer itu disebut effective historical
consciousness (kesadaran kesejarahan yang efektif). Mereka memahami
realitas segala sesuatu sebatas ruang dan waktu kekinian saja. Mungkin, secara
pejoratif bisa disebut ghirah tarikhiyyah, yang tidak sejalan bahkan
menggeser dan menggusur ghirah diniyyah..
Menurut bacaan Habermas
memang betul begitu. Sebab segala sesuatu harus dipahami berdasarkan motif
kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan
kekuasaan (power interest). Pemahaman seperti ini sudah sangat jamak
dikalangan aktifis liberal dan postmodernis. Mereka sendiri memahami Islam
dengan cara yang sama. Islam bagi mereka adalah produk dari sebuah kepentingan
dan kekuasaan. Dan karena itu mereka tidak merasa bersalah jika memahami Islam
juga untuk kepentingan tertentu. Itulah yang, kalau boleh saya katakan, politik
pemikiran.
Benarkah pemikiran
liberal itu sarat kepentingan? Benar ! sebab liberal adalah posmodernis, tulis
Akbar S Ahmed, adalah pendukung pluralisme, anti fundamentalisme, banyak protes
terhadap tradisi, dan cara berfikirnya eklektik (Akbar S. Ahmed, Postmodernism).
Pemikiran bukan untuk pengetahuan, tapi untuk kepentingan (kekuasaan atau
politik). Buktinya dari pemikiran mereka tiba-tiba menggalang komunitas,
gerakan sosial dan bahkan menjelma menjadi pressure group. Demi
“memasarkan” paham pluralisme agama, misalnya, pertama-tama mereka menolak
adanya kebenaran mutlak, yang ada hanya kebenaran relatif. Kepentingannya
adalah untuk menghilangkan fundamentalisme dan sikap merasa benar.[7]
Pemahaman
yang muncul dengan konsep liberalisasi pemikiran adalah penyamaan kebenaran
atas agama-agama, dengan dalih bahwa toleransi terhadap kebenaran yang dianut
oleh agama-agama. Hal ini kemudian dinamakan dengan pluralism agama. Namun
menurut pakar pluralism Barat Diana L.Eck seorang direktur The Pluralism Project dari Universitas Harvard bahwa pluralism
lebih dari sekedar toleransi, karena penekanan pluralism lebih pada kesamaan
atau kesetaraan (equality).[8]
Dalam konsep ini manusia dipaksa untuk mengakui kesamaan terhadap segala hal
termasuk beragama, setiap pemeluk agama harus memandang sama terhadap semua
agama dan pemeluknya.
Jika
seorang muslim berfikir demikian inilah yang menurut penulis dinamakan dengan qouvadis pemikiran. Sedangkan Islam
dalam pemahamannya juga telah memberikan dikotomi: halal-haram, iman-kufur,
suci-najis dan sebagainya. Namun dalam dikotomi Islam telah memiliki makna yang
jelas sesuai dengan criteria yang telah dijelaskan dalam Al Quran dan Hadits.
Dalam hubungannya dengan agama, Islam telah memberikan rambu-rambu bahwa lakum dinukum wal yadin. Artinya tidak
ada kesamaan dalam agama masalah tentang kebenaran. Pemahaman ketuhanan yang
dianut Islam tentunya bersifat absolute, termasuk dalam hokum-hukum ritual
tertentu, seperti iman pada malaikat, kitab, Rasul, sholat, puasa dan lainnya.
Sedangkan
pemahaman terhadap hal-hal diluar aqidah bisa jadi banyak penafsiran-penafsiran
berbeda dikalangan para ulama selama tidak bertentangan dengan qowaid fil islamiyah. Namun saat ini
banyak kalangan “ilmuwan muda Islam” mengikuti pemikiran yang dikembangkan oleh
Barat dengan mengedepankan rasionalitas sebagaimana yang telah lama ditanam
oleh para filsof Barat dalam mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi pada
lingkungannya, yaitu dengan mengedepankan keragu-raguan dalam menemukan sebuah
kebenaran. Dalam Islam tidak dikenal bahkan dilarang, jika keragu-raguan (syak) yang berada diantara dua kutub
yang berlawanan, didalamnya seseorang itu tidak cenderung pada salah satu
diantara keduanya, jika cenderung pada yang satu, tetapi ketika yang sama tidak
menolak satunya lagi; yang kemudian darinya dijadikan dasar untuk menemukan
sebuah kebenaran. Keragu-raguan dapat menggiring manusia pada suatu dugaan (dzaan) atau belantara keragu-raguan yang
lebih jauh, maka jelas tidak pernah dapat menemukan suatu kebenaran.
Pemikiran
yang dikembangkan Barat dikenal dengan quovadis dan relativisme. Jika qouvadis
pemikiran dianut akan memunculkan sikap relativisme yang pada akhirnya
pluralism agama yang berkembang. Maka semua pemikiran keagamaan akan menjadi
relatif, yang mutlak hanyalah agama dan yang tahu agama hanya Tuhan. Siapapun
boleh berfikir tentang apapun dalam soal agama. Tidak ada kebenaran mutlak,
tidak ada yang berhak menyalahkan pemikiran orang lain, tidak ada yang bisa
mencegah kemunkaran. Tidak ada lembaga atau kelompok yang boleh mengeluarkan
fatwa-fatwa keagamaan. Baik buruk, salah benar tergantung kepada individu.
Semua bebas. Inilah politik pemikiran. Jika target ini tercapai, maka paham
teologi global (global
theology) atau teologi dunia (world
theology) akan menemukan jalannya menembus semua agama. Inilah
kepentingan Barat untuk melakukan confusion
(pengkaburan) pemikiran terhadap umat Islam.
Jika dibaca
dengan cermat buku-buku seperti Clash
of Civilizations, karya S.Huntington, Who Are We, karya Bernad Lewis, When Religions Become Evil, karya
Richard Kimbal, The End of
History, karya Fukuyama, Islam
Unveiled: Disturbing Question About the World’s Fastest-Growing Faith,
karya Robert Spencer dan lain-lain mengandung fakta-fakta pemikiran yang
berimplikasi pada worldview. Jika pembaca kurang kritis terhadap buku-buku
tersebut, maka akan menilai positif. Mungkin alasannya karena asumsinya baru,
analisanya tajam, argumentasinya valid, pertanyaan-pertanyaannya menantang
untuk dijawab dan lain sebagainya. Tapi jika ia mencermati implikasinya dalam
semua asumsi, analisa dan argumentasinya maka ia akan menilai dengan sikap
sebaliknya.[9]
Karena tidak
semua orang dapat menemukan hubungan antara pemikiran dan tujuan dibaliknya,
maka tidak heran jika diantara umat Islam ada yang bersikap apatis terhadap
wacana-wacana pemikiran yang dikenal “liberal” itu. Padahal pemikiran
yang demikian yang kemudian akan membawa pada worldview yang salah (baca:
Barat).
Faktanya yang terjadi
adalah muslim pendukung Barat dipromosikan media masa menjadi tokoh baru. Kini
istilah civil socity (masyarakat
beradab) sudah sering keluar mulut cendekiawan Muslim dan akrab ditelinga
mahasiswa. Konsep civil socity
pun dianggap sepadan dengan konsep masyarakat madani. Modernis dan Liberal
Muslim pendukung Barat adalah pembela aliran “sesat”, atau aliran-aliran sempalan.
Muslim yang tidak sejalan dengan liberal, sekuler, demokrasi Barat, akan segera
dicap teroris, fundamentalis dan anti Barat. LSM-LSM kini tidak lagi
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, tapi lebih kepada pembaratan
masyarakat. Proposal proyek untuk “mengekspor” kemiskinan masyarakat ke
Negara-negara Barat tidak laku lagi.[10]
Sementara proposal, kajian, penelitian
untuk menjual paham masyarakat sipil, demokrasi, gender, liberalisme,
pluralisme agama, multikulturalisme dan semacamnya tidak lagi mencari bantuan
Barat, tapi dicari-cari Barat untuk dibantu melalui foundation-foundation yang menjadi sekutunya. Bahkan yang paling
keras mengkritik ajaran Islam dan tradisi pemikiran Islam serta membawa
gagasan-gagasan “aneh”, kini mudah mendapat dana dan beasiswa dari Barat.
Inilah barangkali yang disindir al-Baqarah (Q.S. 2:41, 79, 173), Ali Imran
(Q.S. 3:77,187, 199), al-Mai’dah (Q.S. 9:44), al-Tawbah (Q.S. 9:9) dan
al-Nahl (Q.S. 16: 95). Meraka telah “menjual” ayat-ayat Tuhan dengan
harga murah. Wallahu a’lam bissawaf.
[2] Framework adalah cara
pandang. Epistemologi Islam dan Problem Pemikiran Muslim Kontemporer, Islamia,
Jakarta, Thn II No.5 April-Juni 2005.
[3] Ibid.
[4] Bernard Lewis, What Went Wrong? Western Impact and Midlle Eastern
Response, London, Phoenix, 2002.
[5] Kumpulan makalah diskusi sabtuan Insists, Jakarta, 2007.
[6] Karen Amstrong, Holy War….lihat,
Ibid.
[7] Hamid Fahmi Zarkasyi, Politik
Pemikiran, www.insistsnet.com
[8] Anis Malik Toha, Pluralisme:
Kerancuan Istilah dan Pemahaman, www.insistsnet.com
[9] Opcid
[10] Ibid.